KALA 23 KORUPTOR DIBEBASKAN BERSYARAT, KORUPSI TAK LAGI JADI KEJAHATAN LUAR BIASA?

Empat Narapidana Korupsi Terima Pembebasan Bersyarat di Lapas Klas II A Tangerang, Ada Ratu Atut Chosiyah Hingga Jaksa Pinangki, Dokumentasi Kemenkumham Banten

JAKARTA, KOMPAS.com – Sebanyak 23 narapidana korupsi menghirup udara segar pada Selasa, 6 September setelah mendapatkan pembebasan bersyarat (PB).

Beberapa dari mereka telah mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Namun, di antaranya baru menjalani pidana singkat seperti mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti mengatakan 23 napi itu sebelumnya mendekam di dua lapas.

“23 narapidana Tipikor yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari dua Lapas, yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang,” ujar Rika dalam keterangan resminya, Rabu (7/9/2022).

Tidak sedikit narapidana yang bebas itu terlibat kasus korupsi berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah.

Beberapa di antaranya seperti, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menyuap hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alat kesehatan.

Kemudian adiknya, Tubagus Chaeri Wardana yang disebut sebagai “Pangeran Banten” yang terjerat empat kasus korupsi.

Kemudian, Anang Sugiana Sudihardjo dan Sugiharto selaku pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi e KTP.

Rika mengatakan, 23 terpidana korupsi itu merupakan bagian dari 1.368 yang mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB), cuti bersyarat (CB), maupun cuti menjelang bebas (CMB).

“Sepanjang tahun 2022 sampai bulan September Ditjen Pas telah menerbitkan 58.054 SK PB/CB/CMB narapidana semua kasus tindak pidana di seluruh Indonesia,” ujar Rika.

Rika mengatakan, narapidana yang mendapatkan bebas bersyarat telah memenuhi syarat administratif dan substantif.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan.

Lebih Untung Korupsi daripada Risikonya

Merespons fenomena ini, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.

Sebab, hanya dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas.

Hal ini salah satunya terlihat dari masa hukuman eks Jaksa Pinangki yang hanya mendekam sekitar 2 tahun penjara.

Padahal, ia divonis 10 tahun di pengadilan tingkat pertama. Hukuman itu kemudian dipotong menjadi 4 tahun pada pengadilan tingkat kedua.

Setelah dieksekusi, Pinangki hanya menjalani satu tahun di Lapas. Ditambah masa tahanan saat proses hukum berjalan, ia hanya menjalani kurungan sekitar 2 tahun.

Di sisi lain, kata Zenur, program pemiskinan koruptor tidak berjalan. Sebab, hingga saat ini undang-undang yang merampas hasil kejahatan belum juga disahkan.

“Tidak adanya disinsentif secara ekonomi yang keras itu menyebabkan pelaku pidana korupsi itu, potensi keuntungan melakukan korupsi itu lebih tinggi, daripada risikonya,” ujar Zaenur.

Peringatan KPK

Menanggapi hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan agar terpidana korupsi tidak diperlakukan khusus, sebab rasuah merupakan extra ordinary crime. Karena itu, semestinya hukuman yang dijatuhkan harus membuat menimbulkan efek jera.

“Sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakkan hukum tindak pidana korupsi,” kata Ali.

Ali mengatakan, KPK telah berupaya untuk membuat efek jera pada pelaku korupsi melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi.

Namun, setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap koruptor berada di bawah wewenang Ditjen Pas.

“Korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extra ordinary crime, sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang ekstra,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan persoalan wewenang membebaskan narapidana korupsi sepenuhnya berada di tangan Ditjen Pas Kemenkumham.

Penyebabnya, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang membatasi hak narapidana korupsi pada 2021.

Dalam putusan itu, ditentukan bahwa narapidana korupsi tidak lagi harus mendapat rekomendasi KPK untuk mendapat remisi maupun pembebasan bersyarat.

“Dulu kalau itu tahanan perkaranya dari KPK, itu dari Rutan minta rekomendasi KPK. Sekarang itu kan dibatalkan PT itu oleh MA,” ujar Alex.

Menurut Alex, hak narapidana korupsi mendapat remisi bisa dicabut. Salah satunya dengan putusan pengadilan.

Karena itu, KPK akan menambahkan permohonan agar hak mendapatkan remisi terpidana korupsi dicabut pada saat penuntutan.

“Bisa nggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang bisa mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU,” tutur Alex.
sumber: kompas

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.