KUHORMATI PILIHANMU…..

Cerpen Kehidupan

“Rumah tangga bukan hanya sekedar legitimasi lewat pernikahan yang sakral. Tetapi adalah menjaganya sepanjang usia. Itu akan terus diuji oleh waktu sampai tak lagi terpisahkan kecuali oleh maut. Sahabat juga. Kalau terus bergandengan tangan, itu bukan proses tawa dan canda semata. Tetapi lewat ujian berproses lewat waktu yang tidak sebentar. Saling bekorban tanpa bertanya alasan dibalik itu.”

“ Waktu remaja saya tidak percaya dengan pernikahan. Saya dibesarkan oleh keluarga broken home” Kata Florence satu waktu ketika tahun 1984. Itu alasan sederhana dia menolak kunikahi. Saat itu aku tidak dalam posisi menilai sikapnya. Terlalu jauh kujangkau oleh otak masa mudaku. Aku juga tidak bicara atasnama moral agama. Aku serius mencintai dia. Serius ingin terus dia bersamaku. Aku hanya sedih. Mengapa dia menggodaku untuk menidurinya. Apakah kekuranganku sehingga tidak pantas menjadi suaminya. Padahal aku tidak ingin mengubah dia seperti aku mau. Aku hanya ingin dia ada untukku. Tapi itulah keputusannya. Kami akan terus bersahabat.

“ Ren, sepertinya saya harus menerima keputusan orang tua untuk menikahi sepupu saya” Kataku setelah setahun dia membuat keputusan menolak menikahi denganku. “ Terimalah saran orang tua kamu. Itu jalan terbaik.” Kata Florence. Saat itu aku yakin bahwa dia tidak pernah punya keberanian berkomitmen. Itu hak dia. AKu hargai. Setidaknya kami sepakat untuk tidak sepakat. Tidak perlu ada yang terluka. Kami akan baik baik saja sebagai sahabat.

tahun 1989, aku bangkrut. AKu kehilangan segala galanya. Istri dan anak aku titip di rumah mertua. Kami berpisah sementara. Karena keluarga istri tidak bisa menerima keadaanku yang bangkrut. Saat itu aku tahu Florence sedang di Singapore. Dia kerja di PMA sambil kuliah. Aku juga tahu dia sedang dekat dengan putra pengusaha pabrik kimia.

Florence tahu aku bangkrut. Dia memberi bantuan uang. Jumlah cukup untuk aku bangkit lagi. Tidak lebih 4 bulan aku terpuruk. Sehingga aku bisa jemput anak dan istri di rumah mertuaku. Saat itu aku ceritakan kepada istri siapa yang membantuku. “ Papa lebih memilihku daripada Florence .Padahal disaat papa bangkrut tidak ada yang peduli. Hanya florence yang peduli” kata istri. Tapi saat itu aku justru jatuh cinta kepada istri. Kerendahan hatinya tentang sebuah keluarga. Dia tahu diri. Dia memang bukan sahabatku, tetapi dia bersikap lebih dari seorang sehabat. Dia memaklumi arti berterimakasih daripada paranoia tentang mantan pancarku.

Tahun 1993, Dia punya anak dari hubungan dengan pacarnya. Tetapi hubungan tidak berlanjut kepernikahan. Aku tidak terkejut. Itu memang sikap hidupnya. Tidak percaya dengan lembaga perkawinan. “ Dari awalnya aku tahu hubungan itu akan gagal. Aku tidak menyesali perpisahan. Karena aku tidak bisa mencintainya dengan sempurna seperti aku mencintai kamu. Ini akan jadi hubungan terakhir aku kepada pria selain dirimu. Cased closed. “ Katanya. Saat itu dia sudah menetap di Jakarta. Tinggal di bilangan Pluit.

Saat itu juga aku sedang bangkrut dan Florence sedang berjaya, Dia punya perusahaan keagenan di Singapore untuk spare part mesin pabrik pupuk dan kimia. Dia bermitra dengan temannya orang Kanada. Kembali dia memberiku modal dan peluang bisnis mengerjakan proyek Data Center di Malaysia. Karena itu aku bisa bangkit lagi dari keterpurukan. Istriku tahu akan peran Florence itu. “ Terimakasih sudah bantu suamiku. Dia tidak punya banyak sahabat untuk menolongnya. Hanya kamu sahabat yang dia percaya” Kata istri. Dia sampaikan secara pribadi kepada Florence.

Tahun 2000 aku bangkrut lagi. Saat itu aku tahu Florence sudah punya pabrik alat berat di Batam. Dia bermitra dengan temannya dari Korea. “ Padang, jangan menyerah, Kamu tidak gagal. Kamu sedang berproses. Tetap focus cari peluang lain. Kalau karena krismon, kamu tidak dapat peluang. Datanglah ke Batam. Bawa keluargamu. Kerjalah dengan saya dulu. Nanti kalau keadaan normal, kamu bisa mulai lagi berbisnis “ Katanya.

Aku menolak tawarannya itu. Dia bisa maklum. Tetapi setiap bulan dia kirimi uang. Istriku tahu itu. Itu berlangsung selama setahun. Tahun 2001 aku dapat peluang berbisnis sebagai konsultan fundraising di Singapore.

Tahun 2002

Florence datang kepadaku. Saat itu dia cerita bahwa dia terkena prahara. Mitranya dari Korea menipunya. Dia tidak ada cara lain untuk lepas dari jeratan hutang. “ Saya tidak ingin memberatkan kamu dengan keadaan saya. Tetapi saya tidak punya siapa siapa untuk tempat bersandar” kata Florence dengan airmata berlinang. Kami bertemu di Singapore.

Saat itu aku ada uang sebesar USD 1,5 juta hasil dari komisi sebagai konsultant keuangan. Entah mengapa, saat itu utangnya percis sama dengan uang komisi yang aku terima. Tanpa pikir panjang. Aku kirim semua uang itu ke Florence sehingga dia bisa selamat dari hutang bank. “ Istri kamu tahu soal uang ini? Saya diam saja. Tapi belakangan Florence sendiri memberi tahu kepada Istriku. Ketika aku akan hijrah ke China tahun 2004 “ Berkali kali Papa bangkrut, Florence selalu ada untuk papa. Dan aku bangga ketika Florence bangkrut papa jadi tongkat dia dan penyelamat dia. Dan papa tetap memilihku sebagai istri. Aku percaya papa. Pergilah. Engga perlu ragu dalam hijrah di negeri orang. Papa tetap heroku.” Kata istri saat mengantarku di Bandara

2015

Setelah Pilpres 2014 aku ke Medan bersama istri untuk ninjau proyek. “ Masih ingat Florence? “ kata sahabatku di Medan waktu makan siang.

” Ingatlah. Gua masih sering komunikasi via telp. “

” Sekarang dia di Medan”

“ Medan? bukannya tinggal di Riau sama anaknya. Kenapa dia engga cerita pindah ke Medan.?

“ Tiga bulan lalu dia pindah” Kata sahabatku. Aku segera telp Florence. “ Ya hallo.” terdengar suara khas.

“ Hai Ubi. ..” Kataku.

“ Lue pindah ke Medan? Kok engga bilang kegua ?

“ Panjang ceritanya. Tapi engga apa. Bisnis di Batam jalan terus. Lancar semua. Kan tiap tiga bulan gua buat laporan keuangan ke lue“

“ Oh gitu. Aku di Medan, bini ikut gua. “ Kataku menyebutkan bahwa aku datang bersama istri.

“ Hah. ” Florence terkejut senang. ” Bini ikut elu?. Gua kangen dia, Padang. Ajaklah ke rumah gua.” Florence antusias. Aku sudahi telp itu setelah berjanji sore akan ke rumahnya.

Malam hari aku datang ke rumah Florence bersama istri. Rumahnya di kawasan real estate di Medan. Sampai di rumahnya yang luas. Florence merangkul istriku. Istriku sudah mengenal Florence sejak sebelum kami menikah. Hubungan mereka semakin dekat, disaat aku terpuruk. Istriku tahu Florence selalu ada untuk kami. Dia sahabat kami. Malam itu aku hanya diam saja. Menyaksikan keakraban mereka berdua. Rencana keluar makan malam batal. Istriku dan florence memutuskan makan di rumah. Mereka masak bersama untuk kami makan malam.

Dua tahun kemudian Florence hijrah ke Jakarta. Itupun atas saran istri agar dia dekat dengan kami. “ Kalau dia sakit kita bisa rawat dia” Kata Istri. Karena usianya udah diatas 50 tahun. Dia seusia dengan ku. Kini dia jadi preskom di group perusahaan yang aku dirikan tahun 2004. Dia sangat menghormati keluarga sebagai pilihanku. Dia jaga jarak sebaik mungkin. Dia tak ingin istriku menjadi the second. Dan aku menghormati pilihannya tidak ingn berkeluarga. Kami tetap bersahabat dan saling menjaga. Kami menua bersama.

Rumah tangga bukan hanya sekedar legitimasi lewat pernikahan yang sakral. Tetapi adalah menjaganya sepanjang usia. Itu akan terus diuji oleh waktu sampai tak lagi terpisahkan kecuali oleh maut. Sahabat juga. Kalau terus bergandengan tangan, itu bukan proses tawa dan canda semata. Tetapi lewat ujian berproses lewat waktu yang tidak sebentar. Saling bekorban tanpa bertanya alasan dibalik itu.
sumber: Erizeli Bandaro & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.