OTOPSI ULANG KEMATIAN BRIGADIR K, BENARKAH SEBAGAI BUKTI ADANYAB SKENARIO PALSU?

Ruskandi Anggawiria – 27 Juli 2022, hari Rabu ini publik akan menyaksikan dengan waswas, bagaimana tim forensik akan mengungkap fakta tentang peristiwa yang menarik perhatian masyarakat, yakni tembak menembak, setidaknya demikian yang digambarkan penyidik Polda Metro Jaya, antara dua anggota polisi di rumah dinas Kadiv Propam non aktif, Irjen Ferdy Sambo.

Peristiwa ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat, juga santer dikaitkan dengan konsekwensi pertaruhan citra Polri, mengingat ada isu rekayasa di balik peristiwa ini.

Tak mengherankan jika tak kurang dari Presiden sendiri meminta pihak Polri mengungkapnya secara transparan dan tuntas. Tentu saja publik harus percaya bahwa demi citra insttusi yang bersih, tim penyidik sudah mendapat pengarahan tentang itikad profesionalitas Polri dalam mengungkap kasus ini.

Disamping keinginan kita bersama bahwa siapa salah dan siapa benar harus ditempatkan secara proporsional, publik pun harus percaya bahwa periode ini Polri sudah sangat berubah. Tak lagi menghadapi situasi dilematis antara kewajiban penegak hukum yang objektif versus tuntutan dari kekuasaan politik yang menuntutnya tak selalu sesuai aspek hukum itu sendiri.

Menarik untuk dicermati, seiring tersebarnya berita tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat, muncul pula cerita versi fiksi yang dari alurnya diduga kuat merupakan sindiran kepada pihak-pihak yang terlibat kasus brigadier J ini. Kita yakini bahwa cerita versi fiksi ini akan cukup mengganggu objektifitas proses hukum. Karenanya pihak-pihak terkait perlu kita dorong agar prosesnya tetap terjaga dari intervensi pihak lain.

Ada unsur pengawasan yang tergambar dari susunan tim terpadu penyelidikan kasus tersebut, sehingga objektifitas dari proses hukum diyakini akan terjaga. Meskipun tak boleh diabaikan pula bahwa opini yang beredar sudah sedemikian mengganggu, sehingga ketika fakta yang ditemukan tak sepenuhnya sejalan dengan opini dimaksud, tim terkait akan dituding tak objektif.

Para pemegang kendali di tubuh Polri tentu sudah sangat paham, bagaimana cara dan teknis memastikan bahwa hanya melalui SOP yang baku yang boleh dijalankan, termasuk pengawasannya, sehingga objektifitasny terjaga sepenuhnya.

Pertaruhan nama baik pemerintah dan insttusi terkait juga ada dalam perjalanan kasus ini, maka cukup melegakan ketika Panglima TNI menyatakan tim forensik akan melibatkan kedokteran militer. Lalu adakah yang masih meragukan dengan kelengkapan tim ini? Sebagai manusia, tentu kita tak boleh berpuas diri, khususnya jika kita mengacu kasus serupa di masa lalu. Maka jaminan dari Presiden harus dijaga benar, bahwa transparansi harus benar-benar ditunjukkan kepada publik.

Nurani kita akan terusik, jika proses hukum cenderung menyudutkan satu pihak, sementara pihak lain mendapatkan privilege berlebihan. Barangkali keluarga korban harus dijamin, mereka mendapatkan rasa keadilan sesuai hukum yang berlaku.

Kekhawatiran publik selama ini, bahwa pihak tertentu yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, memaksakan scenario terjadinya kadus yang menyudukan korban. Seakan-akan Brigadir J lah pihak yang bersalah, sementara lawannya dipaksa membela diri. Jika scenario ini memang benar, tentu harus merujuk kepada bukti dan fakta hukum. Sayangnya bukti-bukti itu ternyata berusaha disamarkan.

Informasi CCTV dalam kondisi rusak, dan perkembangan berikutnya ternyata berhasil ditemukan fakta berbeda, menunjukkan indikasi bahwa penggiringan scenario itu sudah dimulai. Dan ketika Komnas HAM melibatkan diri, kita mulai percaya bahwa objektifitasnya akan terjaga.

Bravo Kapolri yang sudah bertindak tegas, yakni mencopot jabatan para pihak yang diduga mengintervensi proses hukum. Publik harus mengapresiasi tindakan Kapolri ini. Pertama, demi menjaga citra institusi yang ipimpinnya agar tetap bersih. Kedua, menjaga objektifitas hokum itu sendiri. Sebagaimana azas yang berlaku, hukum harus dianggap urutan tertinggi dalam menjaga marwah kebangsaan, upaya Kapolri sungguh mencerminkan dirinya berkomitmen kuat menjaga marwah dimaksud.

Dampak berikutnya dari tindakan dimaksud, bahwa tidak ada satupun pihak yang boleh mengintervensi proses hukum. Jika mereka mencobanya, harus menghadapi konsekwensi sebagaimana berlaku kepada mereka yang terbukti melakukannya.

Kita harus yakin bahwa proses otopsi ulang yang akan dilakukan tim forensik, akan berjalan sesuai kaidah hukum yang berlaku. Namun yang tak kalah pentingnya, sesiapa yang berupaya mengaburkan fakta, harus pula mendapatkan konsekwensi memadai, khususnya jika mereka berasal dari penegak hukum sendiri.
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.