APA YANG AKAN TERJADI PADA NEGARA BANGKRUT SEPERTI SRI LANKA?

Ekonom menilai kebangkrutan Sri Lanka akan berimbas pada semakin buruknya kondisi perekonomian dan membuatnya sulit untuk bangkit. Ilustrasi. (REUTERS/ADNAN ABIDI).

Jakarta, CNN Indonesia — Krisis ekonomi tengah melanda Sri Lanka hingga membuatnya bangkrut. Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Selain Sri Lanka, kebangkrutan sebenarnya pernah dialami sejumlah negara. Bahkan, kebangkrutan terjadi jauh sebelum ketidakpastian ekonomi global akibat perang dan pandemi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan negara yang bangkrut akan mengalami kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Pasalnya, belanja pemerintah yang menjadi bantalan merosot tajam.

“Kalau bangkrut ekonominya akan semakin buruk drastis,” ujar Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/6)

Pengeluaran pemerintah yang berkurang membuat stimulus ke ekonomi menurun drastis.

Negara yang bangkrut juga akan kesulitan melakukan perdagangan ekspor dan impor karena tak memiliki devisa. Negara bangkrut kemudian akan mengandalkan pajak. Namun, kondisi ekonomi yang buruk akan membuat masyarakat sulit membayar pajak.

“Otomatis dia harus menurunkan pajaknya sendiri agar orang-orang yang mampu bisa bayar,” ujar Tauhid.

Negara bangkrut juga akan mengalami inflasi gila-gilaan. Bahkan, inflasinya bisa di atas 30 persen karena persediaan barang yang semakin sedikit.

Tauhid menjelaskan krisis yang sedang dialami Sri Lanka tidak berpengaruh terlalu besar terhadap Indonesia. Pasalnya, Sri Lanka bukan mitra perdagangan utama Indonesia.

“Setahu saya kecil untuk kita punya mitra hubungan dengan Sri Lanka karena buka mitra dagang utama. Kalau mitra dagang utama, pasar ekspor kita di negara dia besar, otomatis berdampak ” ujar Tauhid.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan negara bangkrut akan mengalami krisis pangan yang membuat masyarakat melakukan panic buying dan penimbunan yang memberikan efek kelangkaan di berbagai tempat.

Kemudian, mata uang negara tersebut tidak lagi memiliki nilai dan kehilangan kepercayaan dari pelaku usaha dan masyarakat.

“Maka proses barter atau pertukaran barang akan menggantikan transaksi dengan mata uang. Muncul transaksi di pasar gelap dan di perbatasan dengan negara lain,” ujar Bhima.

Selain itu, kepercayaan kreditur yang hilang akan membuat suku bunga naik signifikan sehingga mempersulit pelaku usaha dan pemerintah mendapat pendanaan baru.

Sementara itu, masyarakat akan berbondong-bondong mengungsi ke perbatasan. Gelombang pengungsian akan berdampak permanen ke masa depan ekonomi karena hilangnya talenta untuk membangun kembali perekonomian.(fby/sfr)
sumber: cnnindonesia

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.