“Nak, main ke sini. Saya mau cerita-cerita..”
Begitu bunyi pesan yang datang ke saya. Eh, siapa ini ? Pikirku. Dibawahnya tertera nama Syafii Maarif. Buya Syafii.
Bayangkan girangnya diriku ? Orang yang kukagumi sejak dulu karena kesederhaannya, karena pemikirannya yang moderat, karena prinsipnya, memanggilku datang secara personal. Aku bergegas meluncur ke sebuah apartemen sederhana di Jakarta yang kabarnya disediakan oleh seorang simpatisan buya untuk ditinggali selama beliau ada disini.
Dan bertemulah seorang murid kepada gurunya. Saya jarang mencium tangan seseorang, selain kepada orang yang kuhormati karena integritasnya. Kucium tangan buya berkali-kali dan dia berusaha keras menariknya. Ow, tidak. Tidak boleh, buya. Tangan ini harus kucium sebagai ungkapan rasa cinta, karena kutemukan seorang ulama yang perilakunya mengikuti inti dari agama.
Lama kami berbincang dan semua tentang Indonesia. Buya memintaku menjaga diri karena goncangan akan semakin keras.
“Angin tidak berhembus kuat untuk menggoncang dahan, tetapi justru untuk menguji akarnya..” kata Buya mengutip perkataan Ali bin abu thalib. Ah, pesan yang dalam dari seorang tokoh nasional yang sering ditemui warganya di puskemas sedang menunggu antrian, di angkringan sambil ngopi sachetan, di pasar sedang belanja untuk makan.
Bahkan ada video yang viral, dimana seseorang sedang bermobil dan di depannya ada Buya Syafii sedang bersepeda, orang bermobil ini bahkan tidak berani menyalipnya karena saking hormatnya. Luar biasaaa..
Pagi ini kudengar berita beliau telah pergi. Langsung lemas badan ini. Mutiara itu sudah tiada. Orang yang berbisik padaku, “Disaat kamu punya kekuatan, pakai itu untuk lindungi yang lemah..” Guru bangsa itu sedang melanjutkan perjalanan kedua. Tuhan sayang padanya dan memanggilnya pulang.
Ah, Buya. Gak tau harus kuucapkan apalagi. Aku seperti tahu bahwa engkau sebentar lagi pergi, tapi tetap saja aku tidak rela.
Selamat jalan, cinta. Selamat jalan, bapak bangsa. Selamat jalan, panutan. Doakan kami disini yang bisa menjadi bijak sepertimu saat itu.
Selamat jalan, Buya Syafii Maarif. Ijinkan aku selalu mengenangmu.
Denny Siregar & fb