Niha Alif – Kepanikan luar biasa rupanya melanda salah satu kader partai Demokrat yang terkenal dengam ikon “maling panci”. Siapa lagi kalau bukan Roy Suryo, seorang pakar telematika terkenal yang justru dalam perjalanannya seakan mengubur kepakarannya sendiri. Ini lantaran unggahan Roy Suryo mengenai candi borobudur di mana salah stupa diedit dengan foto Jokowi.
Mungkin banyak kasus editan foto para tokoh pokitik di media sosial yang dibiarkan begitu saja. Namun, kalau editan tersebut bersentuhan dengan kesakralan agama lain, akan beda lagi ceritanya. Bukannya Ahok dan Ferdinand dan lainnya merupakan contoh nyata korban pasal penistaan agama? Harusnya hal ini juga berlaku bagi agama lain yang merasa telah dinistakan. Dalam kasus cuitan yang disertai editan foto candi borobudur dengan kepala Jokowi, pelaku jelas melukai umat Budha. Makanya kemarin ketua Dharmapala Nusantara, salah satu organisasi umat Budha melaporkannya ke kepolisian.
Kalau aparat mau adil, Roy Suryo harusnya bisa dijerat hukum layaknya Ahok maupun Ferdinand. Karena kedua orang terdahulu dianggap melukai penganut agama lain. Ahok disebut menyinggung kitab suci lewat pidatonya, sedang Ferdinand dianggap melukai perasaan umat islam terkait cuitan “Allahmu lemah”. Kini Roy Suryo yang notabene seorang muslim tak sepatutnya menodai tempat ibadah umat hindu budha sedunia. Maka wajar kalau dirinya merasakan hukuman setimpal layaknya Ferdinand.
Apalagi Ferdinand Hutahaean dan Roy Suryo notabene berasal dari partai yang sama yakni Demokrat. Rasanya kepolisian bisa menjemput kapanpun tanpa menunggu kemarahan umat hindu budha lainnya. Apalagi menunggu pidato SBY mengenai lebaran kuda yang posisinya jelas ingin menjungkalkan Ahom waktu itu. Bagi mereka, hukum harus tegak jika kelompoknya didzolomi. Sebaliknya hukum sebaiknya diabaikan kalau pelakunya berasal dari golongannya sendiri.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepolisian bisa memeriksa konten yang disebarluaskan oleh Roy Suryo apakah sama dengan foto editan yang telah lebih dahulu viral. Jika memang ditemukan kesamaan, maka Roy Suryo bisa dijerat hukum karena ikut menyebarluaskan dengan disertai cuitan provokasi. Meski cuitan tersebut telah dihapus, tapi rekam jejaknya sudah tersebar luar dan discreenshot banyak pihak. Roy Suryo harus bisa menjelaskan motif uanggahannya di media sosial yang menyebabkan kegaduhan dan menyakiti umat beragama lainnya.
Saat ini saking paniknya ia karena mengetahui dirinya dilaporkan umat Budha, tiba-tiba Roy Suryo malah melaporkan pengunggah foto editan Jokowi di stupa borobudur ke kepolisian. Bukannya dengan laporan tersebut semakin menjelaskan kalau dirinya bersalah? Kecuali kalau cuitannya dari awal memang mempermasalahkan foto editan tersebut. Tapi, nayatanya Ruy Suryo malah mengapresiasi foto editan stupa tersebut dan ikutan mengolok Jokowi. Jadi lucu kalau kini dirinya playing victim, apalagi menawarkan ke kepolisian untuk mencari akun pertama yang mengunggah.
Melihat kemunafikan kader-kader Demokrat belakangan seperti Andi Arief, Benny K Harman dan Roy Suryo, pantas kalau Jokowi kembali meletakkan Demokrat sebagai oposisi. Kita tahu kalau presiden dikelilingi para intelejen yang harusnya tahu siapa kawan dan siapa lawan. Demokrat yang awalnya sempat melakukan pertemuan dengan Golkar dan Nasdem, kini posisinya kembali ditegaskan untuk berada di luar. Bisa dibayangkan kalau partai-partai yang kemarin diundang Jokowi duduk bersama di meja makan bersatu melawan PKS dan Demokrat, jelas bisa ditebak siapa yang menang.
Semoga saja kepolisian cepat bertindak sebelum kemarahan umat hindu budha memuncak. Jangan sampai hukum kita ada tatkala umat mayoritas merasa tersakiti, tapi menghilang saat minoritas diperlakukan buruk. Bukannya dari dulu yang berbeda agama sangat dilarang untuk melecehkan agama lainnya? Hanya saja ketika kasus serupa menimpa Abdul Somad saat melecehkan agama kristen rasanya hukum sukar ditegakkan. Padahal kalau mau adil layaknya Ahok dulu, setidaknya Somad bisa dipanggil beberapa kali untuk kalrifikasi. Hal ini bisa sedikit memberi efek jera ketimbang tidak sama sekali.
Kedepannya juga harus dibuat aturan ketat dalam bermedia sosial. Harus ada batasan tegas antara mengkritik dan menghina. Hal ini juga berlaku bagi para penceramah yang sedang berkhotbah. Tak peduli dengan gelar ustadz, pendeta dan lainnya, jika dalam ceramahnya mengandung unsur SARA dan provokasi, aparat tak perlu segan meminta klarifikasi. Kalau sudah beberapa kali dipanggil tetap membuat heboh, harus ada sanksi tegas yang berupa hukuman penjara.
Rasanya banyak diberitakan media kalau kalangan menengah ke bawah terkena ciduk lantaran unggahan provokatif dan melanggar UU ITE. Namun, kenapa aparat sukar menindak tatkala hal tersebut bersinggungan dengan alit politik. Apakah karena jaringan mereka kuat sehingga bisa lolos begitu saja? Kita tahu kalau undang-undang dibuat sebagai aturan bagi setiap warga negara, bukan sebagain golongan saja. Lantas apa yang memberatkan jika orang seperti Roy Suryo jelas diketahui melabrak aturan yang ada.
Sebagai kader parpol senior dan mantan menteri, harusnya konten yang diunggah Roy Suryo bersifat mengedukasi masyarakat. Bukan sebaliknya mengandung unsur provokatif, hasutan dan penuh kebencian. Mungkin bagi kita yang masih waras bisa menganggap Roy Suryo sebagai tokoh yang tak layak dijadikan panutan. Tapi, bisa jadi bagi kader partai Demokrat dan keluarganya di daerah, Roy adalah panutan yang harus dicontoh tiap langkahnya. Apalagi tokoh senior yang followernya jutaan, tak seharusnya menimbulkan kegaduhan seperti saat ini.
Meski sebagai oposisi merasa harus menjadi terdepan dalam mengkiritk pemerintah, bukan berarti bebas menghina apalagi secara fisik di media sosial. Termasuk mengaitkan dengan salah satu tempat ibadah yang harusnya disakralkan. Kalau memang tak suka dengan kebijakan pemerintah, silahkan saja narasikan bagian mana yang perlu diperbaiki. Seperti aturan tiket naik candi borobudur yang awalnya dipatok seharga 750 ribu. Kalau dirasa hal ini membuat ketidakadilan pada masyarakat, sah-sah saja disurakan. Toh, pemerintah bukan Tuhan yang maha sempurna.
Justru dari kritikan itulah mereka belajar menyusun kebijakan yang tepat tanpa membuat kegaduhan di masyarakat. Bisa juga mengkritik aturan pemakai sandal jepit tak boleh mengendari sepeda motor. Kalau ini dirasa melemahkan industri sandal jepit, harusnya aturan tersebut dibicarakan lagi. Bisa jadi masyarakat enggan membeli sandal jepit karena tak bisa digunakan berpergian. Lantas bagaimana dampaknya pada industri tersebut ke depan. Adu pemikiran seperti ini sangat dibutuhkan saat inu sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan.
Bukan sebaliknya main hajar sana sini. Unggah semua konten berbau SARA dan editan foto pemerintah termasuk presiden tanpa mau mekikirkan dampak ke depan. Jangan sampai tokoh senior politik dianggap tak bisa berpikir kritis karena konten bobrok di media sosialnya. Semua norma baik agama, sosial dan lainnya harus menjadi landasan baik dalam bertindak maupum berbicara, termasuk mencuitkan suatu perkara. Karena kalau norma dan aturan hukum bisa ditabrak sesukanya, akan ada kegaduhan luar biasa imbas kesemana-menaan tersebut. Akhirnya kita berharap akan ada sanksi setimpal yang akan diterima Roy Suryo ke depannya. Begitulah kura-kura
sumber: seword