Erizeli Bandaro – Akhirnya pemerintah tidak berdaya dengan kebijakan larangan ekspor CPO. Terpaksa larangan ekspor itu dicabut lagi. Sama dengan larangan ekspor batubara. Dari awal sudah bisa ditebak akan begini jadinya. Karena memang keputusan yang tidak didukunga agenda yang jelas dan visioner. Hanya pragmatis saja. Keliatan sekali memang politik harus patuh kepada realita bahwa yang berkuasa sesungguhnya adalah oligarki bisnis. Pemerintah yang kita pilih dengan harapan tidak ada berarti apapun di hadapan kekuatan kartel bisnis. Itulah realitasnya.
Saya ingin memberikan solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk keadilan dan pertumbuhan industri dalam negeri. Walau saya sendiri tidak yakin solusi ini akan diterapkan oleh pemerintah. Tetapi sekedar upaya anak bangsa yang tak pernah kehilangan harapan dan tidak pernah lelah mencintai negeri ini, saya sampaikan tulisan ringan yang mencakup tiga hal, yaitu tata niaga, logistik dan insentif.
Tata niaga.
Kebaradaan business sawit sudah ada sejak era Soeharto dengan program PIR yang merupakan sinergi antara rakyat dan perusahaan. Ini sudah established. Melahirkan konglomerat masuk dalam datar 50 orang terkaya di Indonesia. Jadi apakah kita akan terus memperkaya mereka itu atau kita juga perlu memberi kesempatan luas orang lain menikmati kemelimpahan sumber daya Sawit? kalau pilihan untuk kepentingan konglomerat ya sudah. Selesai sampai disini. Tetapi kalau ingin melaksanakan misi Pancasilan sila ke lima, ya kita harus melakukan perubahan. Bukan sekedar perubahan tetapi perubahan struktural. Apa itu? perubahan tata niaga.
Tetapkan pajak tinggi untuk ekspor CPO. Bila perlu pajak diatas 50% dari harga ekspor. Hapus saja soal ketentuan DPO dan DMO. Jadi biarkan pengusaha upstream menentukan sikap atas kebijakan pajak itu. Ini lebih adil. Karena dengan pajak tinggi itu, sistem lebih transfarance. Semua masuk APBN dan dikelola diawasi oleh DPR. Negara punya tambahan sumber pendapatan untuk trade off atas kenaikan harga downstream seperti minyak goreng di pasaran. Artinya kalaupun harus subsidi minyak goreng dalam jangka pendek, tidak menganggu belanja rutin APBN.
Logistik.
Pemerintah bisa gunakan keberadaan BULOG ( Badan Usaha Logistik) sebagai penyangga produksi CPO dengan harga domestik tanpa pajak. Untuk itu BULOG harus bangun pusat logistik yang terintegrasi dengan kawasan industri downstream CPO. Saat sekarang pemerintah sudah bangun KEK di Sei Mangke dengan luas 2000 hektar. Sementara untuk logistik sudah pula dibangun di Kualan Tanjung. Jadi pusat logistik CPO dan kawasan industri downstream itu sudah ada. Tinggal pemerintah selanjutnya keluarkan regulasi tata niaga Sawit dengan dukungan kelembagaan BULOG dan KEK.
Agar sistem ini bisa berjalan dengan baik dan cepat, BULOG bisa terapkan sistem IT supply chain resource Entreprise. Sehingga sumber daya atas stok CPO bisa diakses oleh publik yang ingin masuk ke dowsntream CPO. Karena berada di Kawasan Ekonomi Khusus, ekosistem financial untuk mendukung likuiditas stok akan terbentuk dengan sendirinya.
Insentif.
Pendirian usaha di KEK downstream CPO, mendapatkan insentif bebas pajak ekspor dan PPN. Yang keluarkan izin cukup pengelola KEK. Tidak perlu lagi minta izin kepada pemda dan pusat. Dengan adanya insentif ini tentu akan mendorong relokasi dowstream yang ada di luar negeri seperti China, dan lain lain untuk masuk ke KEK. Pengusaha lokal juga akan antusias dirikan industri downstream. Karena engga perlu lagi invest stok untuk kelanjutan produksi.
Artinya pengusaha UKM bisa dirikan industri downstream. Karena modal terbesar untuk downstream ada pada bahan baku dan stok barang jadi. Dengan adanya sistem IT supply chain resource Entreprise biaya stok bisa diatasi lewat ekosistem financial sebagaimana UU Sistem Resi Gudang.
***
Saya datang ke tempat seminar terbatas. Saya di Undang bukan sebagai pendengar tetapi sebagai pembicara. Saya sempat bingung. Ada apa ? saya tidak kenal lembaga penelitian itu. Tetapi ternyata itu rekomendasi dari lembagan keuangan di Eropa yang jadi sponsor, yang minta saya jadi pembicara. Seminar diadakan di hotel bintang V. Di dalam ruangan itu hanya ada 30 orang saja. Mereka yang datang itu umumnya adalah analis investasi dan pejabat pemerintah.
Tadi di dalam kendaraan menuju tempat seminar, saya sempatkan baca summary topik seminar lewat smartphone. Ini tentang Supply Chain and sustainability. Saya datang acara sudah berlangsung. Saya menanti 30 menit. Kemudian dapat kesempatan bicara. Awalnya bingung juga. Darimana saya mulai. Mereka yang hadir jelas semua sarjana. Mungkin S3. Kalau saya bicara dengan pendekatan akademis, jelas diketawain. Saya engga tahu referensinya. Jadi lebih bak saya bicara secara praktis saja. Soal mereka paham atau tidak , bukan urusan saya.
“ Bapak dan ibu sekalian. Silahkan dengar lagu ini sebelum saya bicara. ” Saya putarkan lagu lewat smartphone yang berjudul “Gebyar gebyar. “ Saya perbesar volume. Mereka mendengar. Ada yang serius dan ada yang senyum. Saya bersikap sempurna saat mendengar lagu itu. Usai lagu itu. Saya tatap mereka semua.
Bapak bapak ibu ibu, kalau saya dengar lagu itu saya malu kepada diri saya sendiri. Sebagai putra ibu saya. Saya gagal menjadi putra yang dibanggakan. Kita kaya SDA, tapi SDA yang tidak mensejahterakan. Yang tidak berkeadilan. Kadang SDA itu seperti kututukan.Membuat kita saling curiga dan saling serang. Kita kuat itu karena TNI dan POLRI, bukan karena mental kita sebagai bangsa. Andaikan TNI lemah, saya tidak tahu, mungkin kita saling baku hantam. Itulah kutukan SDA.
Padahal masalah SDA yang tidak memakmurkan itu bukan hal rumit. Itu karena kita engga punya sistem tataniaga, yang secara ekosistem mendukung proses produksi, distribusi, yang berkeadilan dari segi sumber daya. Ini tidak terjadi disemua sektor. Akibatnya kita hanya sibuk rebutan papasan perang. Yang kuat yang dapat banyak. Yang lemah engga dapat apa apa. Akibatnya terjadi ketimpangan agraria, sampai kepada ketimpangan kekayaan. Untuk lebih jelasnya baik saya uraikan secara sederhana apa yang saya maksud itu.
Saya kembali kepada topik seminar ini. Supply Chain and sustainability. Saya perlu koreksi sedikit. Supply chain itu bukan hanya focus kepada IT, tetapi yang esensinya adalah berkaitan dengan 3 sumber daya. Apa saja itu ? Bahan baku, logistik ( termasuk gudang/ tanki) , dan financial. Kalau tiga hal tersebut dipenuhi maka proses berkelanjutan ( sustainable ) akan terjadi dengan sendirinya. “ Kata saya. Saya menatap kesemua yang hadir.
Nah “ lanjut saya. “ Contoh sederhana yang yang hot sekarang. Sawit. Kalau kita punya sistem Supply chain yang didukung tiga sumber daya itu, tidak mungkin sampai ada laranga ekspor dari pemerintah. Larangan itu adalah intervensi pasar karena sistem tidak bekerja, dan berdampak merugikan negara dan konsumen. Solusinya yang menguntungkan semua pihak dan negara tidak perlu intervensi, yaitu pemerintah harus membangun pusat logistik CPO yang terhubung dengan ekosistem bisnis sawit dan ini pasti didukung ekosistem financial.
Akibatnya dari sistem supply chan itu, kelebihan stok tidak jadi beban pabrik dan tidak menghalangi pemilik kebun untuk menjual TBS tanpa ada kemungkinan permainan harga akibat demand and supply yang diatur kartel. Kalau logitisk tertata baik itu akan jadi magnit besar bagi investor dalam dan luar negeri, itu akan mendorong pengusaha membangun downstream. Karena bahan baku terjamin. Otomatis ekosistem financial terbentuk. Mengapa ! Karena kita adalah produsen sawit terbesar di dunia. We served the world and we are the world. Relokasi industri downstream dari China, Korea, Jepang, India akan terjadi secara natural tanpa perlu diundang segala. “ Kata saya.
Saya kembali putar lagu “ Kulihat ibu pertiwi” Setelah usai lagu di kumandangkan. “ Cukup sampai disini. Saya bukan akademisi. Kalau ada kata saya salah, anggap angin lalu. Terimakasih. “ kata saya. Mereka yang hadir berdiri bertepuk tangan. Saya malah bingung. Apanya yang hebat ? Saya permisi pergi untuk meeting di jalan Thamrin.
sumber: fb Erizeli Jely Bandaro