KEBAYORAN BARU DULU DAN SEKARANG: KISAH PERUMAHAN PERURI, RUMAH JENGKI, HINGGA CSW

SUMBER GAMBAR,SAHABAT MUSEUM
Keterangan gambar,
Rumah Jengki di Kebayoran Baru, seperti terekam dalam film ‘Tiga Dara’ (1956).

Kebayoran Baru, salah-satu kawasan permukiman dan pusat bisnis di selatan Jakarta, adalah kota satelit pertama di Indonesia.

Dibangun pada akhir 1940-an, Kebayoran Baru disiapkan sebagai kota berfasilitas lengkap, mulai perumahan, pendidikan, tempat hiburan, taman, hingga kompleks pekuburan.

Saat ini, berbagai fasilitas umum itu masih bisa dijumpai jejak-jejaknya, meskipun wajah lamanya banyak yang berubah, seiring perubahan pesat di ibu kota.

Itulah sebabnya, sebagian bangunan dan lanskap yang dulu menjadi ciri Kebayoran Baru, sekarang telah berganti wajah dan fungsi.

Namun demikian, masih ada struktur bangunan lama yang tersisa, dan kini ada upaya dari sejumlah orang dan para pihak yang peduli guna melestarikannya.

Seperti apa wajah Kebayoran Baru pada awal pembangunannya, dan bagaimana keadaannya sekarang?

Mengapa upaya pelestarian bangunan lama dan bersejarah di kawasan itu dianggap penting?

Di awal pembangunannya, pada akhir 1940an, kawasan Kebayoran Baru terletak ‘di luar’ Jakarta.

Pada April lalu, saya mewawancarai tiga orang yang memiliki kepedulian atas kawasan itu. Sesuai latar belakang profesinya, mereka memiliki “cara sendiri” untuk terlibat di dalamnya.

Saya juga mendatangi bekas kompleks perumahan Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), tidak jauh dari Blok M, yang telah ‘disulap’ menjadi pusat jajanan M Bloc Space.

Mengapa ‘kota satelit’ Kebayoran Baru dibangun?

Di awal pembangunannya, pada akhir 1940-an, kawasan Kebayoran Baru terletak ‘di luar’ Jakarta.

Lokasinya berjarak sekitar 4,5km dari batas selatan ibu kota Jakarta – kini di sekitar Dukuh Atas, di dekat Stasiun KJalan menuju Kebayoran Baru, 1945.

Awalnya, proyek kota satelit Kebayoran Baru disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1948, lalu dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.

Dibangun di atas lahan sekitar 730 hektar, Kebayoran Baru dirancang sebagai kota berfasilitas lengkap.

“Saat itu kota Jakarta kekurangan lahan untuk perumahan rakyat. Mereka merencanakannya sebagai kota yang lengkap,” kata Nadia Purwestri, pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), Selasa (26/04).

PDA pernah melakukan penelitian dan mendokumentasikan bangunan-bangunan lama di Kebayoran Baru.

Dari peta perencanaan Kebayoran Baru, pemerintah – menggandeng swasta – menyiapkan berbagai model perumahan, mulai lahan untuk instansi pemerintah (kelas rumah kecil, sedang, besar), perusahaan swasta, hingga perkantoran pemerintah.

Di Kebayoran Baru, pemerintah menyiapkan berbagai model perumahan, termasuk perumahan untuk instansi pemerintah, baik rumah kecil, sedang, serta besar.

“Ada pula lahan yang disiapkan untuk pasar, tempat hiburan, keagamaan, taman, hingga kompleks pekuburan,” ungkap Nadia.

Disebutkan, proyek pembangunan ini dibidani oleh perusahaan swasta bernama Yayasan Pemugaran Pusat atau Centrale Stichting Wederopbouw (CSW).

Jalan Hanglekir XI di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, semula dirancang untuk perumahan pegawai negeri.

Dalam konsepnya, kota Satelit pertama di Indonesia itu dibuat dengan sistem blok, dari Blok A hingga Blok S, kata Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum.

“Blok M dan A mungkin sudah banyak dikenal, tapi banyak juga yang tidak begitu populer, seperti Blok B, Blok C. Nah, Blok E itu Pasar Mayestik sekarang,” paparnya.

Seperti apa wajah Kebayoran Baru sekarang?

Seiring perubahan pesat di ibu kota Jakarta, wajah kota satelit Kebayoran Baru, kini, sudah banyak berubah.

Walaupun tidak memiliki data secara persis, Nadia Purwestri, pimpinan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), menduga bangunan ‘asli’ di kawasan itu tinggal “antara 5% dan 30% yang tersisa”.

“Lokasi kantor CSW itu sekarang berada di Sekretariat ASEAN sampai ke Kantor Wali Kota Jaksel,” ungkap Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum, Kamis (14/04).

“Karena begitu masifnya pembangunan di kawasan itu, dan Kebayoran Baru sudah masuk di tengah kota Jakarta, sebagai kawasan yang menjadi perlintasan,” papar Nadia.

Sebagai kawasan perlintasan, Nadia memberikan contoh, kawasan Kebayoran Baru ‘dilintasi’ jalan layang, jalur MRT serta jalur layang busway.

“Kalau menurut saya, itu yang merusak Kebayoran Baru,” ujarnya.

Garden Hall Theatre, yang terletak di kawasan Blok M, sudah dirobohkan.

Ade Darmawan, pendiri komunitas Sahabat Museum, mencontohkan Pasar Blok A yang “sudah dihancurkan” untuk kepentingan pembangunan stasiun MRT di kawasan itu.

Masyarakat juga tidak akan pernah tahu seperti apa wujud fisik bangunan kantor pusat CSW (Centrale Stichting Wederopbouw) alias Yayasan Pemugaran Pusat – perusahaan swasta yang membidani proyek pembangunan kota satelit Kebayoran Baru.

“Lokasi kantor CSW itu sekarang berada di Sekretariat ASEAN sampai ke Kantor Wali Kota Jaksel,” ungkap Ade Purnama, pendiri komunitas Sahabat Museum, Kamis (14/04).

Rumah ‘Jengki’, bangunan lama yang tersisa di Kebayoran Baru

Tentu saja, ada bangunan lama peninggalan kota satelit Kebayoran Baru yang saat ini masih dapat dinikmati.

“Masih bisa ditemukan, walaupun lokasinya berjauhan, tersebar,” kata Nadia Purwestri.

“Antara lain, rumah Jengki yang sangat ikonik itu.”

Rumah Jengki, yang menjadi tren pada 1950-an, masih dapat dijumpai, antara lain, di Jalan Martimbang, Jalan Pakubuwono VI dan Jalan Wijaya di Jakarta Selatan.

Rumah Jengki, yang menjadi tren pada 1950-an, masih dapat dijumpai, antara lain, di Jalan Martimbang, Jakarta.

Dalam film “Tiga Dara” (diproduksi 1956) dan foto-foto lama, masyarakat dapat melihat wujud asli bangunan berarsitektur Jengki.

“Walaupun sudah beberapa diubah, tetapi kita bisa melihat gaya arsitekturnya [rumah Jengki],” ujar Nadia Purwestri.

“Walaupun sudah beberapa diubah, tetapi kita bisa melihat gaya arsitekturnya,” ujarnya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.