AS TIDAK WARAS

Erizeli Bandaro – Tahun kemarin ada film Dont Look up di Netflix. Kate Debiasky (Jennifer Lawrence), mahasiswa pascasarjana astronomi  mengingatkan akan potensi komet menabrak bumi. Itu bisa membuat kiamat. Hitungannya terkonfirimasi oleh Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) bahwa komet tersebut berpotensi menabrak Bumi dalam waktu enam bulan ke depan. Bumi berpotensi akan hancur. Tapi peringatan itu jadi bahan lelucon para elite dan politisi AS. Akibatnya memaksa Kate Debiasky membocorkan ancaman itu lewat media massa. Keadaan jadi kacau. Publik jadi takut dan kawatir atas berita tersebut.

Apa yang terjadi kemudian?  issue itu dimanfaatkan oleh Gedung Putih sebagai cara meningkatkan rating politik dihadapan rakyat. Bahwa berita soal komet itu bohong. Sementara Dr. Randall Mindy dan Kate ngotot bahwa itu bukan rumor tapi sains. Tambah ramai, issue itu juga dijadikan cara meningkatkan value saham di bursa atas perusahaan yang dapat misi untuk mengalihkan orbit komet tersebut. Padahal program perusahaan itu tidak masuk akal secara sains. Namun anehnya didukung presiden. Karenanya sikap rakyat terbelah atas issue tersebut. Ada yang percaya, dan ada yang tidak.

Film Dont Look up jenis drama satire. Walau cerita fiksi namun cukup menggambarkan betapa kehebatan sains ( akal sehat) tidak berarti sama sekali kalau sudah bicara politik kekuasaan yang diharuskan culas. Saya nonton film ini seperti membayangkan suasana batin dari Scott McClellan, juru bicara Gedung Putih Era Geoge Bush, yang menulis buku Inside The bush White House and Washington’s Culture of deception. Tahun 2005  dia sampai dapat curhat dari Alan Greenspan. Betapa renta system perbankan AS. Mungkin saat itu Alan Greenspan seperti lakon Dr. Randall Mindy dan Kate pada Film Dont Look up tidak tahu bagaimana lagi meyakinkan Presiden AS akan bahaya yang mengancam.

Saat itu AS sedang menghadapi ancaman, bubble price di Wallstreet. Paling lama 6 bulan gelembung itu akan meledak. Dampaknya bisa menggerus 1/3 PDB AS. Scott McClellan sebagai orang dekat  George Bush berusaha menyampaikan peringatan Alan Greenspan dan minta dukungan Presiden untuk melakukan antisipasi. Apa sikap George Bush? malah yang terjadi tahun 2006, Alan Greenspan mundur sebagai Chairman the Fed, digantikan oleh Ben Shalom Bernanke.  Subprime mortgage, yang pertama kali terdeteksi tahun 2006, telah menyebar ke seluruh dunia pada musim panas 2007. Itu adalah pinjaman predator kriminal yang hipoteknya yang tidak berharga dikemas ulang agar terlihat seperti investasi yang aman dan dijajakan di seluruh dunia.

Orang Amerika kehilangan tabungan pensiun 50%. Kekayaan bersih rumah tangga AS anjlok hingga $11 triliun — dalam satu tahun. Ini adalah angka yang sama dengan output tahunan gabungan Jerman, Jepang dan Inggris. Mereka saling menjarah dengan kejam. Tahun 2006 itu sudah terasa goncangan ekonomi. Tetapi tetap saja presiden AS tidak menyadari atau ignore atas gejala itu.   Barulah tahun 2008, setelah Lehman Brother delisting di bursa, semua terkejut. Ibarat teori domino. Satu jatuh yang lain ikut jatuh. Sistemik sekali.

Lucunya Henry Merritt “Hank” Paulson, Menteri keuangan AS saat krisis itu terjadi, dia  sendiri tidak paham apa yang  sedang terjadi. Dia sempat bertanya kepada stafnya apa yang dimaksud CMO ( collateralized mortgage obligation). Mengapa sampai jadi pemicu crisis wallstreet? . Padahal semua tahu dia  mantan Boss Goldman Sachs, investment banker first class. Sampai kini proses recovery tidak kunjung terjadi. Bahkan semakin membuat ekonomi AS dan dunia menghadapi krisisl. Semakin engga waras.

***
Mengapa kamu sebut AS itu tidak waras? tanya teman setelah membawa tulisan saya yang di share lewat WAG. Saya senyum aja. Tetapi karena dipaksa jawab maka saya jelas secara sederhana. “ Cobalah bayangkan. Setiap kampanye presiden selalu digaungkan janji menaikan upah. Sementara proses perubahan struktural bisnis kan engga bisa cepat terhadap adanya kenaikan upah itu. Akibatnya, pertumbuhan upah lebih cepat dari pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dibawah 5% sementara upah meningkat 6,6 % setahun. Padahal di AS, 2/3 ongkos ekonomi terkait dengan upah.”

“ Tapi AS kan sudah pengalaman melewati krisis, setidaknya selama  60 tahun terakhir, termasuk pada tahun 1965, 1984 dan 1994, AS The Fed sangat perkasa mengendalikan pesawat ekonomi AS. Sehingga walau digoncang turbulensi, the fed tetap bisa soft landing”  kata teman.

“ Tahu sebabnya ?

” Apa ?

” saat itu inflasi rendah, dan pertumbuhan upah rendah. Jadi walau the fed menaikan suku bunga tidak berdampak buruk terhadap ekonomi. Tetapi sekarang? Upah sudah tinggi, inflasi juga tinggi. Naikan suku bunga itu sama  saja membunuh sektor real.

“ Jadi itu yang kamu maksud tidak waras? tanya teman saya.

“ Ya. Upah yang naik tidak berdasarkan alasan rasional, tetapi lebih karena alasan politik populis,  itu sudah tidak waras. “

“ Pastilah ada alasan politik yang masuk akal ? bisa jelaskan.”

“ Secara Ekonomi AS itu sudah keok dengan China. Banyak industri dan manufaktur AS yang pindah ke China. Karena alasan upah rendah di China. Anehnya ini tidak disadari oleh pemerintah AS. Mereka masih aja menjanjikan upah naik pada setiap putaran pemilu.  Sementara mesin bisnis mereka pada hengkang ke China. Yang tersisa hanya industri dan manufaktur yang tidak efisien. Diserbu oleh produk China, ya keok lah. Masih juga engga disadari. Seharusnya mereka restruktur ekonomi mereka. Tetapi malah ajak perang dagang China. Kan konyol. Dampaknya barang kebutuhan jadi naik di pasar retail. Ini memicu inflasi.” kata saya.

“ Ya kenapa mereka naikan terus upah?

“ AS itu kan sama  dengan Eropa. Mereka menganut sistem negara kesejahteraan. Masalah upah itu amanah konstitusi. Yang jadi masalah, upah boleh jadi ukuran kesejahteraan, tetapi kenaikan itu  seharusnya karena memang perusahaan untung. Ekonomi bergairah. Kalau ekonomi lesu, pengusaha banyak yang hengkang ke China, kan engga waras naikan upah”

“ Terus apalagi dasarnya kamu bilang tidak waras ? tanya teman

“ Udah tahu AS itu tergantung energi dan gandum dari impor. Eh dia ajak ribut Rusia yang merupakan salah satu negara produsen minyak dan gandum terbesar di dunia. Ya harga minyak  dan gandum melambung. Ini juga jadi pemicu inflasi. Ditambah lagi,  eh China lockdown alasan covid. Rantai pasokan jadi terganggu. Banyak pabrik di AS kesulitan supply chain dari China. Terpaksa mereka kurangi produksi. Kacau kan.” kata saya tersenyum

“ Benar, kata kamu. AS udah engga waras.” kata teman

***

Setelah The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan pada Rabu (4/5/202). Bursa bereaksi. Saham unggulan berjatuhan. Apple, rontok $220 miliar. Microsoft telah kehilangan sekitar US$ 189 miliar. Tesla menyusut US$ 199 miliar. Amazon jatuh sebesar US$ 173 miliar. Alphabet, (Google), jatuh sebesar US$ 123 miliar, Nvidia kehilangan US$85 miliar. Meta Platforms induk Facebook telah kehilangan US$70 miliar. Kalau ditotal, market telah kehilangan USD 1 triliun. Kejadian seperti ini sudah diprediksi sejak tahun lalu. Terutama dampak dari tapering atau kenaikan suku bunga.

Sebelum invasi Rusia ke Ukrania, saya sudah restruktur rekening ETF saya. Pengalaman krisis 1998 dan 2008 mengajarkan banyak hal kepada saya. Saya juga menulis di blog dengan judul “ Prahara ekonomi, hanya masalah waktu”. Itu saya tulis pada bulan november 2021. Makanya minggu lalu terjadi killing field di Bursa, saya aman saja. Lantas apa penyebab sampai cepat sekali badai turnado itu datang. Apakah hanya karena kebijakan moneter AS ? Mari kita analisa sederhana ala pedagang sempak.

Pertama, terjadinya over capacity di semua sektor produksi dan manufaktur. Terutama sektor tekhnologi. Yang peningkatannya bukan berdampak kepada efisiensi tetapi justru kerakusan yang berlebihan. Sehingga terjadi bubble value. Ini sebenarnya teori dasar keuangan. Semua tahu dampak dari over capacity yang berujung over value. Tetapi para otoritas tidak berdaya menghalangi proses bubble value ini.

Kedua, dampak dari over capaciity dan over value ini, memaksa para fund manager yang mengelola portfolio terjebak dalam bisnis ilusi. Memainkan harga demi menjaga aset agar tidak busuk, walau tahu sebagian besar aset yang mereka kelola sudah deadduck. Tidak ada hope. Ini ongkosnya mahal sekali. Mereka menarik uang dari berbagai sumber dengan berbagai skema dan cerita, sehingga uang tercatat melimpah dalam neraca tetapi tidak mengalir ke sektor produksi. Ini justru mendorong meningkatnya bubble value.

Ketiga, yang paling bahaya adalah kemelimpahan sumber daya disektor moneter itu mendorong terjadinya inflasi. Maklum, sektor real tidak bertambah, uang terus bertambah. Yang jadi korban adalah publik dengan meroketnya harga barang di pasar. Ini yang disebut dengan imbalance economy. Dampaknya sangat sistemik. Karena sudah menyangkut struktural. Proses recovery sangat sulit dan ongkosnya teramat mahal.

Kempat. Para fund manager berkelas dunia sudah berpikir mendekati tahap closed file terhadap peran AS sebagai pendorong pertumbuhan PDB dunia. Bagi mereka mengelola aset berbendera Amerika itu udah no hope dan semakin lama semakin omong kosong. Udah engga waras. Apalagi utang terus meroket, Udah tembuh diatas 100% dari PDB. Sementara kebijakan paket ekonomi Biden di ketawain oleh Kongres. Presiden sudah engga ada reputasi lagi memberikan hope kepada rakyat.

Dengan empat hal tersebut, Indonesia harus cerdas mengantisipasi perubahan global. Hal ini sudah diperingatkan oleh riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada desember tahun 2021, bahwa AS sudah tidak lagi bisa diharapkan. Posisinya sudah bergeser ke China. Tahun 2023 atau 2024, AS akan masuk lubang resesi. Jadi presiden setelah Jokowi harus orang yang bukan pro AS. Harus orang yang jago mensiasati ekonomi China.
sumber: Erizeli Jely Bandoro & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.