MELIHAT JAKARTA DARI DEKAT DAN BERTANYA: “APAKAH JAKARTA BENAR-BENAR SEBURUK ITU?”

Widodo SP – Belum lama ini, saya terpaksa berkunjung ke Jakarta karena harus menghadiri suatu acara yang sangat penting. Saya sebut terpaksa karena kalau SEWORD-ers masih ingat, sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 selesai dengan segala cerita kelamnya seperti yang kita ketahui bersama, saya pernah berjanji kalau tidak akan menginjakkan kaki di Jakarta selama periode kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta yang sekarang … kecuali karena alasan yang sangat penting dan tidak bisa dihindari.

Jadi, bisa dibilang sekalipun terpaksa, kepergian saya ke Jakarta belum lama ini bisa dibilang bukan dalam rangka agenda yang terencana, apalagi disertai niat dan tekad yang bulat. Tidak. Tidak ada cerita seperti itu, meski kepergian saya juga terjadi dalam kondisi sadar, bukan karena paksaan pihak tertentu, juga pastinya tidak dalam pengaruh alkohol. Hahahaha …

Nah, begitu tahu akan pergi ke Jakarta, yang dalam tiga minggu pertama bulan April 2022 ini kita tahu diwarnai demo mahasiswa setidaknya dua kali, sejak awal saya berniat mengajukan pertanyaan penting yang akan saya ajukan kepada teman yang sudah lama tinggal di Jakarta adalah:

”Apakah Jakarta benar-benar seburuk itu, seperti yang banyak diberitakan dan saya lihat di medsos?”

Syukurlah teman saya itu berkata bahwa Jakarta memang benar-benar seburuk itu. Kok syukurlah? Lha iya, berarti perkataan teman saya tadi seperti memberi konfirmasi mengenai keadaan Jakarta di bawah slogan kampanye “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” yang sepertinya hanya sekadar omongan tanpa bukti nyata hingga enam bulan terakhir DKI-1 dan DKI-2 mengakhiri masa jabatan mereka.

Cuma, rasanya kan tidak fair kalau hanya mendengar cerita, meskipun cerita itu terdengar valid, karena disampaikan oleh orang yang selama hampir lima tahun terakhir melihat sendiri keadaan Jakarta sejak beralih tongkat kepemimpinan yang semula dipegang oleh Ahok, lalu sempat diteruskan oleh Djarot.

Jadi, izinkan saya menceritakan hasil pengamatan saya di lapangan selama hampir dua hari saya berada di sana, dengan cukup banyak waktu saya habiskan di jalanan umum, dengan rute mulai dari kawasan Pasar Senin, simpang Joglo di Jakarta Barat, juga sempat menjelajah hingga ke Jakarta Pusat di sekitar Gambir, Monas, dan sempat pula melintas di depan masjid Istiqlal.

Kesan pertama langsung kurang baik ketika saya melihat teman saya harus memanggul sendiri tas kopernya, dengan naik-turun tangga yang cukup curam selama beberapa kali, sejak turun dari kereta api menuju pintu keluar stasiun Pasar Senen.

What? What? What?

Saya cuma bisa berkomentar begitu sambil geleng-geleng kepala melihat kondisi semacam ini kok ya dibiarkan. Memang kondisi stasiun berada di bawah kewenangan PT KAI dan berkaitan erat dengan Kemenhub, tapi apa Gubernurnya nggak berusaha membuat perubahan, setelah melakukan sidak dan kalau perlu langsung memanggul tas koper seperti yang kerap dilakukan para porter stasiun itu?

Bukannya beliau saya lihat beberapa kali ke stasiun untuk mencoba MRT hingga pernah menaikkan sepedanya ke dalam gerbong? Apakah ketidaknyamanan para pengguna stasiun tidak bisa mengusik naluri pencitraan, eh maksudnya hati nuraninya untuk setidaknya mengubah kondisi itu dengan (misalnya saja) memaksa pihak stasiun untuk menyediakan eskalator, bahkan menyediakan lift?

Berikutnya, dari hasil pengamatan langsung di jalanan, saya senang karena melihat “aslinya Jakarta” yang memang selama ini dikenal macet, terutama pada hari Jumat, plus … ketika orang pulang kerja dan kali ini ditambah menjelang waktu berbuka puasa. Saya agak kaget saja sih ketika melihat maps di aplikasi, hanya untuk 6 kilometer saja, memerlukan waktu sampai 30 menit untuk sampai ke lokasi.

Akhirnya, karena ingin mempersingkat tulisan, saya melihat “wajah Jakarta” secara umum rasanya benar-benar tidak pantas untuk disebut sebagai Ibu Kota Indonesia. Saya masih melihat kondisi bangunan, kondisi jalan dan kemacetannya, penampilan secara umum di jalanan protokol, perilaku sebagian pengendara di jalan raya, gampang banjirnya, dan masih banyak lagi catatan yang kalau ditulis rasanya bisa sampai 100 nomor … yang memerlukan kerja keras pemerintah daerahnya, dengan durasi waktu hingga puluhan tahun.

Makanya saya tidak heran jika apa yang sudah dibangun begitu rupa sampai era Jokowi-Ahok-Djarot, lalu seperti dibiarkan terbengkalai selama periode Anies-Sandiaga dan Anies-Riza … memang sudah tepat keputusan Presiden Jokowi untuk segera memulai proses pemindahan Ibu Kota Indonesia ke IKN Nusantara, karena membenahi Jakarta memang membutuhkan waktu panjang, itu juga kalau seluruh komponen masyarakat, termasuk partai politik dan para penguasa di belakang layar bisa bersepakat, sehingga tidak terjadi kegaduhan yang tidak penting seperti yang terjadi lima tahun terakhir.

Ah, Jakarta … untung saya hanya sebentar di sana. Itu pun saya agak kerasa karena situasi kamar hotel yang nyaman, dekat mall dengan banyak kuliner enak, plus ada teman-teman komunitas masa muda dahulu yang tinggal di sekitar Jabodetabek. Kalau tidak ada mereka … tanpa ada acara khusus, bisa-bisa begitu sampai dan turun kereta, saya segera pesan kereta dengan jadwal paling dekat supaya bisa segera pulang. Hahahaha….

Jadi, benar kata teman saya:

“Jakarta memang seburuk itu.”

Nah, jadi kesimpulan saya … rasanya sudah tepat saya “memblokir” Jakarta selama beberapa tahun ini, karena begitu dilihat dari dekat, ternyata benar bahwa slogan “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” hanyalah sebatas slogan. Maju kotanya dari mana, wong kayak begitu tampilannya? Mau bahagia? Bahagia dari Hong Kong … wong parkir dan drop-off semenit saja kena lima ribu, belum lagi macet di mana-mana, plus sempat melihat banjir sekalipun baru sebentar diguyur hujan. Yakin warganya bahagia? Hahahaha…!

Begitulah kura-kura….

sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.