Erika Ebenera – Tepok jidat saya membaca berita tentang seorang profesor, guru besar, dosen FMIPA Universitas Gajah Mada (UGM) yang tak mampu menguasai emosi dan luapan perasaan, entah benci atau bahagia, atas kejadian yang menimpa sekelompok orang, di tempat umum seperti media sosial. Lebih menepok jidat lagi ketika si profesor, guru besar, dosen Universitas Gajah Mada mengeles dalam rangka membela dirinya dengan cara-cara yang tidak beretika. Unggahan yang mengandung unsur ancaman keamanaan jiwa seseorang dan/atau sekelompok orang, dia dalihkan sebagai guyonan. Jika mengancam nyawa sekelompok orang dia anggap guyonan, lalu sikap serius si profesor terhadap ancam mengancam itu akan seperti apa? Sebuah ancaman gerakan genosida?
Saat ini, masalah mempertontonkan dukungan terhadap unsur-unsur radikal dan terorisme sedang menjadi sorotan. Orang yang mendukung tindakan radikal dan terorisme langsung dihakimi oleh Netizen +62. Tidakkah Si profesor, guru besar, dosen FMIPA UGM berkaca pada nasib yang menimpa Emmanuel Ebenezer yang karena solidaritasnya terhadap Munarman, dia kemudian kehilangan jabatan sebagai Komisaris Utama di BUMN? Memang sih, Ade Armando bukan Munarman. Jika Munarman terlibat tindak pidana terorisme, Ade Armando adalah korban radikalisme. Sementara terorisme dan radikalisme dua-duanya adalah hal yang sedang sangat diperangi oleh rakyat Indonesia. Eeeeh ini…. seorang profesor, guru besar, dosen universitas ternama di Indonesia malah memperlihatkan dukungan sampai tega mengancam orang lain mendapatkan perlakuan seperti yang dialami Ade Armando.
Kalau si profesor ini mengatakan, “Kalau sodara Guntur Romli sudah melaporkan saya ke kepolisian, saya kita itu malah lebih baik yah alurnya atau mekanismenya lebih jelas lebih logis yuridis daripada menebarkan isu fitnah atau memframing saya sebagai NI di media sosial, kita tunggu saja gitu yah…” dan wajahnya itu tegang tak mencerminkan kesantaian.
Saya melihat si profesor ibarat orang yang sedang menelan tsunami ludah ketika dia mengetahui dirinya dilaporkan oleh Guntur Romli. Tapi pura-pura santai dan bahkan mengancam lagi akan melaporkan balik Guntur Romli. Apa pasalnya si profesor mau melaporkan balik Guntur Romli? Pencemaran nama baik karena dia sudah dilaporkan? Kalau laporan Guntur Romli ternyata diterima diproses dan naik sidik (dalam artinya polisi menemukan unsur tindak pidananya), bagaimana si profesor akan menuduh hal yang sudah dalam dugaan tindak pidana menjadi sebuah pencemaran nama baik? Tapi dasar orang sedang panik, manuver standar adalah mengancam untuk melapor balik. Dari sini saja sudah menjadi bukti kalau si profesor, guru besar dan dosen FMIPA UGM ini tidak santai alias deg-degan.
Terlebih, jika kita menengok pasal yang bisa dipakai untuk mempidanakan si profesor, guru besar dan dosen FMIPA UGM adalah UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45b yang berbunyi bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”, waaaaah…. celaka 12 coy!!!
Nah, postingan si profesor di Facebook foto 9 orang dimana foto Guntur Romli sendiri menduduki posisi foto kedua, lalu dia menulis caption “Satu per satu dicicil massa” 3 emoticon tertawa dan foto Ade Armando dicakra warna merah, masuk ga tuh unsur pidana pasal 45b UU ITE? Kalau saya bilang “masuk!!!”. Sangat masuk sekali!! Semua kata atau frase dalam pasal 45b UU ITE terpenuhi. Ga percaya? Ayo kita penggal kalimatnya satu-satu :
Pertama : “Setiap Orang yang dengan sengaja”, foto itu tidak mungkin “terposting” atau diposting tanpa sengaja oleh si profesor.
kedua : “… dan tanpa hak”, apakah foto itu milik pribadi si profesor? Bukan! Ah, tapi foto itu tersebar di google. So? Siapa yang memberi dia hak?
Ketiga : “…mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”, ini jelas yah….
Keempat : “…yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”, Guntur Romli melaporkan si profesor atas nama pribadi. Eko Kuntadhi juga bisa melaporkan si profesor secara pribadi untuk postingan yang sama. Ke-9 orang itu semuanya bisa melaporkan si profesor hanya dengan 1 unggahan saja. Karena caption dia menyatakan “SATU per SATU dicicil massa” sambil tertawa. Artinya setelah foto yang dicakra merah, akan ada foto lain yang dicakra merah lagi. Wajar ga kalau 8 orang lain selain Ade Armando merasa takut diri mereka bernasib dipukuli di telanjang?
Tapi di atas itu hanya pandangan saya sebagai seorang awam dan bukan pakar hukum, tapi pernah mengalami dilaporkan dan melaporkan.
Pasal 45b UU ITE itu hukumannya memang kurang dari 5 tahun. Tapi dalam hal ini, lama atau sebentarnya masa hukuman bukan yang utama. Putusan Hakim yang menyatakan “bersalah” itulah yang paling utama. Karena putusan itu mampu mematikan karir si profesor, menstigma dia sebagai orang yang mendukung kekerasan dan orang yang tidak punya empati. Putusan itu membuktikan bahwa si profesor terbukti telah mencemarkan nama baik dirinya sendiri.
Saran saya untuk si profesor sebaiknya berendah hati saja. Minta maaf dan akui salah. Karena semakin dia melawan, semakin keras upaya pihak Guntur Romli mengirimkan dirinya ke penjara. Jika dia seorang muslim yang meyakin bahwa Allah SWT Maha Tahu, niat hakiki dia saat memposting foto itu tak bisa disembunyikan. Tuhan yang telah mengangkat harkat martabat dia dengan menempatkannya sebagai seorang guru besar di sebuah universitas ternama sekelas UGM, seharusnya dijaga dengan sikap. Fokus saja mengajar, jangan sampai ikut-ikutan kayak anak-anak main media sosial.
Saya pikir, semarah apapun seseorang, jika kita tulus meminta maaf, pasti akan dimaafkan. Permasalahnya, pengancaman ini sudah masuk ke ranah pidana, walaupun Guntur Romli memaafkan, ya hukum tetap berjalan, kecuali jika Guntur Romli mencabut laporan.
sumber: seword