KLAIM MALAYSIA ATAS REOG DAN PANDANGAN RENDAH TERHADAP INDONESIA

Papa Dimas – Salah satu kesenian yang identik dengan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, adalah Reog Ponorogo.

Sendratari tersebut bahkan masuk dalam nominasi tunggal untuk diusulkan sebagai warisan budaya tak benda atau Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO 2023. Penyebutan nominasi tunggal untuk Reog lantaran kesenian ini hanya ada di satu wilayah saja, yakni Kabupaten Ponorogo.

Namun, upaya “mematenkan” Reog Ponorogo sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO ternyata tak hanya datang dari Indonesia.

Malaysia juga akan mengklaim Reog sebagai warisan budayanya ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Untuk diketahui wacana Negeri Jiran akan mengajukan Reog ke UNESCO disampaikan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Efendi. Malaysia akan mendaftarkan kesenian Reog Ponorogo sebagai Barongan.

“Untuk Reog, Negara Malaysia rencananya mau ajukan juga, maka dari itu kita harus lebih dulu. Karena ini kan sudah menjadi budaya dan warisan kita,” kata Muhadjir dikutip dari Detik.com.

Sebagai informasi, sendratari Reog di Malaysia, tepatnya di Johor dan Selangor dikenal dengan nama Tari Barongan.

Dilansir dari laman Universitas Krisnadwipayana, barongan dibawa ke Malaysia sekitar tahun 1722 oleh warga Pulau Jawa terutama yang berasal dari Ponorogo ketika sedang merantau di sana sebelum wujudnya negara Indonesia.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengirimkan empat berkas usulan warisan budaya tak benda kepada UNESCO. Keempatnya adalah jamu, tenun, tempe dan reog.

Namun UNESCO meminta satu berkas yang paling prioritas, dan pilihan jatuh kepada jamu sebagai warisan budaya nusantara.

Disinilah kesalahan tim seleksi Kemendikbud Ristek yang menempatkan jamu sebagai prioritas. Seharusnya skala prioritasnya dirubah menjadi reog di urutan teratas.

Kenapa?

Sebab UNESCO lebih mengutamakan warisan budaya yang hampir punah. Sedangkan reog sendiri, dikatakan hampir punah sih tidak. Tapi mengingat adanya pandemi covid 19 yang sudah berjalan selama 2 tahun, layak jika reog ditempatkan sebagai warisan budaya yang nilai urgensi sangat tinggi.

Para pelaku seni Reog Ponorogo jarang tampil dan manggung akibat pandemi. Belum lagi para perajin Reog yang berhenti produksi juga akibat pandemi. Jika berlangsung terus menerus, bisa jadi kesenian ini akan punah. Lebih urgensi lagi ketika Malaysia juga akan mendaftarkan kesenian serupa bernama Barongan.

Bukan hanya kali ini Malaysia main klaim atas warisan budaya Nusantara. Sebelumnya angklung asal Jawa Barat juga diklaim mereka. Lagu Rasa Sayange asal Maluku juga diklaim. Belum lagi rendang yang jelas-jelas khas Sumatera Barat, mau dikalaim juga sama mereka.

Lalu kenapa Negeri Jiran melakukan hal itu? Begini pendapat penulis.

Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun yakni Melayu. Banyak kebudayaan melayu yang hampir mirip. Indonesia selalu menganggap Malaysia sebagai negara serumpun, namun mereka menganggap kita sebagai negara kelas dua. Kenapa demikian?

Banyaknya Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia menjadi penyebabnya. Ribuan Warga Negara Indonesia mengandalkan mata pencaharian mereka dari berbagai sektor. Mulai dari industri hingga rumah tangga.

Dengan demikian, Malaysia merasa posisi mereka lebih tinggi karena mereka sebagai penyedia lapangan kerja, sementara WNI sebagai pencari kerja. Ciri khas feodalisme. Dan mereka menyebut kita sebagai “Indon”. Sebutan yang terdengar merendahkan, meskipun saya nggak tahu artinya.

Kita bisa lihat bagaimana perlakuan warga Malaysia terhadap TKI disana, terutama yang bekerja di sektor industri (buruh) dan sektor rumah tangga. Perlakuan tidak manusiawi sering menjadi pemberitaan di beberapa media. Mulai tidak digaji selama kerja bertahun-tahun, diberi makan hanya sehari sekali, sampai penganiayaan yang berujung hilangnya nyawa sang TKI.

Belum lagi di sektor perikanan dan kelautan. Berapa banyak kapal asing Malaysia berusaha masuk ke wilayah perairan Indonesia dan berusaha mencuri ikan-ikan di laut kita. Hal ini berulang kali terjadi dan mereka sama sekali tidak merasa “sungkan” melakukan itu, meskipun berulang kali diusir oleh TNI AL kita.

Di dunia olah raga terutama sepak bola, Malaysia juga selalu merasa lebih baik secara kualitas permainan dari Indonesia. Setiap kali menjelang pertandingan, baik pemain maupun pendukung Timnas Malaysia selalu melakukan psywar menghina Indonesia di media sosial. Yang jadi bahan hinaan bukan hanya pemain Timnas Indonesia, tapi juga supporter pendukung Timnas.

Meskipun fakta di lapangan Timnas Indonesia berulang kali mengalahkan Malaysia dengan skor telak, tapi mereka tidak pernah mengakui kualitas kita. Hanya bisa ngamuk-ngamuk ketika Timnasnya kalah dari kita. Persis bocah yang kalah main gundu. Hahaha.

Begitulah kura-kura.

sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.