JAKARTA, KOMPAS.com – Dugaan pemalsuan hasil tes PCR kembali terjadi di Indonesia.
Kali ini, kasus tersebut menjerat RM, warga negara asing (WNA) asal India. RM disebut tidak hanya memalsukan hasil tes PCR, tetapi juga menggunakan paspor, surat vaksinasi Covid-19, dan asuransi palsu.
Dokumen-domumen palsu itu digunakan RM saat masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta pada 8 Februari 2022.
Tak hanya itu, menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta Romi Yudianto, RM juga memiliki beberapa kartu tanda pengenal asal Kanada.
PPLN dan Turis Asing Boleh Minta Tes PCR Pembanding Saat Karantina
“Kedapatan memalsukan sertifikat vaksin, surat PCR, asuransi, hingga (memiliki) beberapa kartu (tanda) pengenal Kanada,” kata Romi dalam keterangannya sebagaimana diberitakan Kompas.com, Kamis (10/2/2022).
Menurut Romy, atas perbuatannya, RM disangkakan Pasal 121 huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun serta denda hingga Rp 500 juta.
Perihal pemalsuan dokumen kesehatan sebenarnya telah diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Peraturan itu pernah digunakan pihak kepolisian untuk menjerat pelaku pemalsuan surat PCR pada awal Januari 2021 lalu.
Saat itu, para tersangka dijerat Pasal 93 juncto Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan dan/atau Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 263 dan/atau Pasal 268 KUHP.
Lantas, bagaimana bunyi aturan pidana pelaku pemalsuan surat keterangan tes Covid-19 dalam undang-undang?
Ancaman 4 tahun penjara
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pernah menyampaikan, pelaku penyalahgunaan surat keterangan palsu, termasuk hasil PCR, berpotensi dikenakan sanksi yang termaktub dalam Pasal 267 Ayat (1) dan Pasal 268 Ayat (1) KUHP.
Jeratan hukuman tak hanya mengancam pihak pengguna, tapi juga pembuat surat keterangan.
“Dengan ancaman pidana kurungan selama 4 tahun, baik untuk membuat atau yang menggunakannnya,” kata Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, 21 Januari 2021.
Berikut rincian aturan pemalsuan surat yang diatur KUHP:
Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 267
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Pasal 268
(1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu.
Sanksi dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan:
Pasal 9
(1) Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Pasal 93
Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000
Sanksi dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular:
Pasal 14
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.
sumber: kompas