PENDIDIKAN PAPUA: “TANPA DANA OTONOMI KHUSUS, TAK MUNGKIN SAYA STUDI SAMPAI KE LUAR NEGERI”

Asna Kristina Krebu saat wisuda di Universitas Canberra pada Maret 2012.

Seorang putri asli Papua merasa beruntung menjadi salah satu dari belasan orang pertama yang dikirim ke Australia untuk menempuh kuliah S1 dengan biaya ditanggung pemerintah daerah.

Asna Kristina Krebu dilahirkan dari pasangan yang berprofesi sebagai pendidik tingkat sekolah dasar di Kampung Dosay, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura.

“Kalau tanpa dana otsus, saya tidak akan pernah mendapatkan kesempatan itu karena saya dibesarkan di keluarga yang kedua orang tua saya cuma guru SD.

“Jadi peluang untuk bisa studi sampai di luar negeri itu tidak mungkin, mustahil ya, karena mahalnya biaya pendidikan di luar negeri kalau dengan biaya sendiri,” ungkap Tina, sapaan sehari-hari perempuan berusia 40 tahun itu.

Dana otonomi khusus atau dana otsus yang dimaksud Tina adalah bantuan hibah pemerintah pusat kepada pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat yang menyandang status otonomi khusus.

Tina menuturkan predikat anak guru menimbulkan beban mental yang memacunya giat belajar waktu kecil.

Semula diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, payung hukum itu direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 untuk juga mencakup Provinsi Papua Barat.

Dua puluh tahun sejak diberlakukan Otsus Papua, undang-undang tersebut mengalami revisi lagi yang kini menjadi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021. Alokasi anggaran Otsus Papua dan Papua Barat ditetapkan Rp8,5 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Bidang prioritas dana otonomi khusus adalah menyediakan kebutuhan mendasar pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Belakangan pemerintah pusat juga menggelontorkan alokasi yang bersifat umum, antara lain untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan orang asli Papua dan penguatan lembaga adat.

Dalam pelaksanaannya di bidang pendidikan, dana hibah khusus itu digunakan antara lain untuk membiayai kuliah putra-putri Papua seperti Tina.

“Jadi ini merupakan kesempatan yang sangat luar biasa ketika saya bisa studi di luar negeri dengan biaya otsus ini,” akunya.

Memahami keberagaman di Australia

Tina mengikuti seleksi beasiswa tahun 2007 ketika bupati Jayapura ketika itu, Habel Melkias Suwae, merintis pengiriman mahasiswa ke luar negeri. Karena kemampuan bahasa Inggrisnya kurang memadai, Tina dan peserta lainnya diikutkan kursus intensif di Bali.

Walaupun telah diasah selama berbulan-bulan, tidak semua peserta berhasil melewati batas nilai minimal yang diperlukan untuk studi di luar negeri sehingga mereka dikirim ke perguruan tinggi di Pulau Jawa. Sedangkan sekitar 13 orang yang memenuhi syarat, termasuk Tina, diberangkatkan ke luar negeri tahun 2009 sebagai angkatan pertama.

Dia mengambil jurusan kajian internasional di Universitas Canberra dan mendapat gelar sarjana strata satu dari perguruan tinggi yang berkedudukan di ibu kota Australia itu pada 2011.

Warga di Australia mengenakan masker selama pandemi Covidd-19. Dampak migrasi di negara itu telah lama menjadikannya sebagai masyarakat yang majemuk.

Dunia Pagi Ini BBC Indonesia

BBC Indonesia mengudara pada Pukul 05.00 dan 06.00 WIB, Senin sampai Jumat

Banyak manfaat langsung yang dia dapat dengan berkuliah di luar negeri. Faedah pertama, aku Tina, berasal dari pemahaman perbedaan kebudayaan antara Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya dengan Australia.

“Dengan memahami kebudayaan di sana, kita lebih bisa banyak berpikir positif dalam menerima keberagaman karena di Australia juga ada banyak orang dari negara-negara lain,” jelasnya.

“Saya lebih open minded (berpikiran terbuka) dalam menerima perbedaan dengan setiap orang atau teman-teman di kampus dalam perkuliahan setiap hari. Jadi keberagaman itu justru mengubah pola pikir, pola pikir kita lebih maju.”

Kata Tina, pengalaman positif itu punya dampak praktis dalam kehidupan sehari-hari di Papua yang kian majemuk.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Papua sebanyak 4,3 juta jiwa. Hanya 2,3 juta di antaranya masuk kategori orang asli Papua atau OAP. Sisanya adalah warga dari daerah-daerah lain di Indonesia, serta keturunan mereka.

“Untuk saling menghargai keberagaman, misalnya perbedaan agama atau perbedaan pendapat, kita tidak harus melihat itu sebagai masalah. Ketika kita berbeda pendapat dengan orang lain misalnya di dunia kerja atau di lingkungan tempat kita tinggal, kita bisa mencari solusinya.” Itulah pemikiran Tina.

Di kafe National Art Gallery ini, Tina pernah bekerja paruh waktu ketika menempuh studi di Canberra, Australia.

Faedah langsung lain dari kuliah di Australia dapat dia bawa ke dunia kerja sepulangnya ke Papua.

“Ketika kuliah di sana kita otomatis mengurus segala sesuatu sendiri, jadi lebih mandiri, dan pulang ke sini ini hal itu sangat membantu di dunia kerja, misalnya dalam hal ketepatan waktu, mengumpulkan tugas dan lain-lain, segala sesuatu ada deadline-nya. Jadi ketika di dunia kerja, kita sudah tidak kesulitan,” terangnya.

Tak ingin sekedar mengenyam pendidikan, Tina juga mencari pengalaman bekerja selama kuliah di Canberra. Dia pernah bekerja sebagai pelayan di kafe National Gallery of Australia, museum seni nasional. Sempat pula dia bekerja sebagai petugas kebersihan.

Lebih mudah mencari kerja

Penghasilan tambahan tersebut Tina gunakan untuk mengunjungi kota-kota lain di negara itu sebelum pulang ke Papua. Dia lagi-lagi merasa beruntung.

“Dampak setelah saya kuliah di luar dan kembali pulang itu mencari pekerjaan lumayan mudah. Pertimbangan saya mau ambil gelar postgraduate (S2) tapi waktu melamar di NGO (LSM) waktu itu di Oxfam saya langsung diterima,” tutur perempuan yang kini memiliki dua anak.

Asna Kristina Krebu bersama karyawan Oxfam di Jayapura.

Meniti karier dari bagian administrasi di badan amal yang pertama kali didirikan di Inggris guna membantu mengatasi kemiskinan itu, Tina diangkat menjadi programme officer. Dia bertugas mendampingi mama-mama, sebutan populer untuk ibu-ibu di Papua, mengembangkan usaha sampai mereka bisa mandiri.

Akan tetapi Tina kemudian diminta bekerja di pemerintah kabupaten meskipun sejatinya tidak terikat kontrak.

“Kalau mau memilih, saya lebih memilih kerja di NGO karena kalau melihat dari penghasilan lebih besar di NGO dibanding dengan pemerintah kabupaten tapi saya dengan iklas, dengan tulus saya tetap kembali ke kabupaten untuk mengabdi ke kabupaten karena terima kasih saya sebagai penerima manfaat dari beasiswa otsus tersebut,” Tina beralasan dalam wawancara melalui telepon dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Beasiswa otsus kurang pengawasan

Akan tetapi tidak semua teman seangkatan Tina berada di jalur yang sama dengannya. Beberapa di antara mereka sudah pulang tanpa menuntaskan studi, bahkan sebagian lainnya menetap di Australia setelah tamat kuliah.

Di situlah, menurut Tina, letak titik lemah pemberian beasiswa dana otonomi khusus yang minim pengawasan serta evaluasi. Penerima beasiswa yang gagal merampungkan studi tidak dimintai pertanggungjawaban, misalnya dalam bentuk pengembalian biaya. Begitu pun mereka yang memutuskan tidak kembali ke Indonesia.

Penilaian Tina dikuatkan oleh Petrus K Farneubun, dosen Universitas Cenderawasih. Dikatakan pemberian beasiswa ini amat positif untuk meningkatkan sumber daya manusia, tetapi perlu dibarengi dengan akuntalibas.

“Sejauh ini kita tidak tahu sesudah mereka selesai apakah mereka kembali. Ada yang memang duduk di pemerintahan tapi ada juga yang boleh dibilang punya pekerjaan tidak sesuai dengan keahlian mereka,” jelasnya.

Petrus K Farneubun tengah menuntaskan program doktoral di Belanda.

Selama belum ada data yang solid mengenai berapa jumlah mahasiswa yang dikirim, bidang yang diambil dan berapa yang kembali ke Papua, maka imbuh Petrus K Farneubun, skema beasiswa dana otonomi khusus tak bisa diukur hasilnya secara meyakinkan.

“Agak sulit kita bilang bahwa mereka sudah membawa peningkatan dalam pengertian ada perubahan yang signifikan terhadap pembangunan atau kinerja pemerintah dan lain-lain,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.

Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, Ronald Yaroserai tak memungkiri ada kelemahan dalam skema tersebut pada tahap awal, mengingat kabupaten itu tercatat yang pertama yang mengirim mahasiswa langsung ke luar negeri tanpa melalui pusat.

“Memang program ini menjadi evaluasi bagi program-program berikutnya.

“Karena itu ketika pertama kali dikirim ke sana memang belum ada ikatan yang sangat kuat sekali terhadap mereka yang harus menyelesaikan pendidikan lalu pulang mengabdi kepada daerah. Itu pun dalam pasal-pasal tertentu di kontraknya tidak terlalu mengikat,” kata mantan guru asli Papua yang juga lulusan perguruan tinggi di Australia tersebut.

Lebih lanjut Ronald menjelaskan program pengiriman mahasiswa kini tak lagi ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten/kota, melainkan tingkat provinsi dan pusat.

Yang pasti, tambahnya, pengiriman mahasiswa ke luar negeri amat bermanfaat untuk menggenjot kualitas sumber daya manusia di Papua.

“Pendidikan di luar sangat maju dan mereka punya fasilitas yang lengkap. Bukan saja maju tetapi akses-akses misalnya untuk buku, informasi dan akses teknologinya sangat luas dan mereka berjejaring,” katanya.

Di samping itu, mahasiswa dapat mengembangkan ide secara bebas tanpa sekat. Kesimpulan ini didapat berdasarkan pengalaman mereka yang telah kembali ke Papua.

“Misalnya, ada yang mengembangkan ide penulisan dalam latar belakang tertentu, kalau di negara kita lalu dianggap melenceng. Kalau di luar justru mereka bilang ‘itu kesempatan’ untuk membuka pikiran bahwa ada sisi-sisi lain yang perlu dilihat dari kemajuan atau keterbelakangan suatu daerah,” kata Ronald Yaroserai.

Kendati demikian, guna mengefektifkan skema beasiswa otsus, Petrus K Farneubun yang tengah merampungkan studi S3 di Belanda, menyarankan agar pemerintah membuat analisis kebutuhan mengenai bidang atau ilmu yang memang sangat dibutuhkan di Papua. Dengan demikian mereka dapat diserap di lapangan kerja setempat.

Dana besar, persoalan ada di tata kelola

Soal anggaran di Papua tidak menjadi masalah. Ada begitu banyak skema pendanaan, baik dari APBD murni, dari dana otsus yang memang salah satu fokusnya adalah pendidikan.

Yang menjadi soal adalah bagaimana dana itu digunakan. Aspek yang paling penting untuk diperkuat mulai dari perencanaan. Kalau kita bilang dana otsus untuk pendidikan gagal, gagalnya itu kami melihat sejak perencanaan.

Perencanaan pembangunan gedung SD banyak sekali yang akhirnya tidak digunakan karena, misalnya, dibangun jauh dari pemukiman. Begitu dibangun, diberi perlengkapan. Kami catat beberapa di wilayah pegunungan diberi komputer, misalnya. Tapi mereka tahu betul komputer membutuhkan listrik dan mereka tidak punya listrik untuk menghidupkan komputer itu.

Ini diperparah dengan masalah guru. Kami punya jaringan dengan para peneliti pendidikan di Papua dan kami punya satu pandangan yang sama bahwa infrastruktur pendidikan seperti gedung itu masih bisa ditunda. Yang paling penting adalah justru menghadirkan guru.

Realitasnya sejauh ini yang kami catat ada dua. Pertama, guru sama sekali tidak berada di tempat. Kalau dicek dokumennya lengkap. Masing-masing sekolah memenuhi standar, katakanlah untuk SD ada tujuh guru. Tapi kalau kita cek ke lapangan sama sekali tidak ada.

Kalau pun ada, timbul masalah kualitas. Karena orang tua amat memerlukan guru, tapi karena tidak ada pasokan guru yang memadai dari pemerintah, maka anak-anak di situ yang tamat SMP dan SMA diminta untuk mengajar SD.

Untuk mengatasi persoalan guru sebagaimana dijabarkan Ketua Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Gabriel Lele, Kabupaten Jayapura, misalnya membiayai sekitar 400 guru untuk mengajar di pedalaman dengan sumber dana otonomi khusus.

“Daripada uang yang sebesar ini kita kasih ke anak langsung, tapi tidak ada guru di sekolah, lebih bagus kita kirim guru saja ke sekolah. Uang itu kita gunakan untuk gaji mereka,” kata Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, Ronald Yaroserai.

Terlepas dari beragam kekurangannya, tak sedikit pula warga Papua telah menikmati manfaat langsung dana otonomi khusus, seperti Asna Kristina Krebu atau Tina dengan lompatannya mengambil kuliah S1 di Australia setamat SMA.

Tina bersama kedua buah hatinya. Tina sekarang bekerja di pemerintah kabupaten Jayapura.

Dalam percakapannya dengan BBC News Indonesia, dia kembali menekankan bahwa dirinya hanyalah putri dari sepasang guru SD, predikat yang justru membawa beban.

“Dari SD sampai SMA harus giat belajar agar juara kelas karena kalau tidak akan menjadi cibiran. Hal ini membentuk kami untuk giat belajar dan harus berprestasi, dan bisa sampai kuliah di luar negeri merupakan salah satu prestasi yang membanggakan bagi keluarga besar kami.

“Dan hal ini menjadi motivasi bagi anak-anak/generasi muda baik di keluarga maupun di kampung kami bahwa dengan giat belajar, kita bisa sekolah bahkan sampai ke luar negeri,” pungkas Tina.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *