POLIGAMI DAN MASA DEPAN PLANET BUMI

Panjath H – Kaget juga ketika ada parpol menganjurkan poligami untuk para kadernya. Kebijakan ini tentu hanya untuk kader pria. Sebab dalam ajaran agama tertentu, hanya kepada makhluk berkumis ini yang diberikan keistimewaan untuk memiliki istri lebih dari satu. Maksimal empat?

Lebih menggelitik ketika ingat ceramah UAS beberapa waktu lalu yang sempat viral soal poligami, yang bahkan dia sebut sebagai unlimited(?) Menjawab pertanyaan tertulis jamaah tentang “apakah syarat poligami harus minta izin dengan istri?”

Ustadz kondang yang baru menikah (lagi) beberapa bulan lalu itu, menjawab sambil memberikan semacam ilustrasi: “Tak ada. Saya ke sini, nikah sekali lagi ke sini, istri saya tak tahu, sah! Kemudian besok malam ke Jakarta, nikah sekali lagi, sah. Kemudian habis itu nanti ke Yogyakarta, pengajian di Yogya, nikah sekali lagi, sah. Yang kelima baru tak sah, selama masih 4, sah. Jadi kalau mau tetap “sah” gimana? Ceraikan yang satu nikah lagi, ceraikan satu nikah lagi. Nanti bisa terus, itu namanya unlimited edition.”

Poligami ujung-ujungnya menghasilkan anak atau keturunan. Bayangkan bila ada jutaan pria masing-masing punya istri empat, dan dari setiap istri menghasilkan 2 anak. Betapa cepatnya pertumbuhan penduduk dunia ini.

Berdasarka data Bank Dunia, penduduk Planet Bumi pada tahun 2020 sebanyak 7,753 miliar jiwa. Setahun sebelumnya (2019) sebesar 7,673 miliar. Pada tahun 2018 ada sejumlah 7,592 miliar. Dan pada 2017 “masih” 7,509 miliar. Artinya setiap tahun bertambah kurang-lebih 100 juta jiwa. Jika trend ini berlanjut, maka pada tahun 2030 akan mendekati 9 miliar jiwa?

Sayangnya, persebaran penduduk ini tidak merata. Hal itu dikarenakan tidak semua pelosok planet ini layak huni bagi manusia. Gurun pasir yang mahaluas di berbagai kawasan Asia dan Afrika tidak layak dihuni. Manusia yang sudah terlalu padat di suatu kawasan, pasti akan mencari lahan yang layak huni, seperti memiliki sumber air dan lahan yang subur untuk ditanami.

Di lain pihak, kawasan yang layak huni pun cenderung semakin mengecil karena faktor alam. Pemanasan global misalnya menimbulkan kekeringan di mana-mana. Belum lagi permukaan air laut yang terus-menerus naik sehingga menjadikan daerah-daerah pesisir menjadi laut.

Bahkan Kota Jakarta diperkirakan bakal tenggelam sepuluh tahun mendatang? Tentu bukan cuma Jakarta, namun juga kawasan-kawasan lain yang berada di pesisir. Penduduk pantai pasti berpindah tempat. Sementara jumlah lahan pun semakin sedikit dikarenakan jumlah manusia yang semakin meningkat, dan butuh tempat tinggal.

Maka di masa depan, dalam upaya mencari hunian yang layak ini, perebutan dan perampasan pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Bahkan diperkirakan akan terjadi perang demi perang dalam rangka memperebutkan lahan atau kawasan yang memiiki sumber daya menopang kehidupan.

Mengapa gambaran yang mengerikan bisa terjadi? Karena jumlah penduduk dunia yang semakin banyak. Tingkat kelahiran semakin tinggi di beberapa kawasan atau negara tertentu. Di lain pihak, jumlah manusia yang usianya makin lanjut pun terus meningkat karena kualitas kehidupan yang semakin membaik.

Maka karena dari tahun ke tahun tingkat kelahiran (natalitas) jauh lebih tinggi dibanding tingkat kematian (mortalitas), maka jumlah penduduk dunia pun melesat. Seperti hitungan kasar di atas, bukan tidak mungkin pada tahun 2030 nanti jumlah manusia di dunia ini sudah mencapai 9 miliar orang.

Sementara Planet Bumi juga memiliki keterbatasan, tidak mungkin bisa menyediakan kebutuhan bagi semua orang apabila jumlahnya sudah melebihi kapasitas. Kita pun mengamini kata-kata Mahatma Gandhi bahwa “dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.”

Yang dimaksudkan dengan “keserakahan” tentu tidak cuma menyangkut orang atau pihak-pihak yang menguasai banyak lahan untuk dirinya sendiri. Serakah di sini juga merujuk pada oknum-oknum yang dengan sengaja memenuhi dunia ini dengan cara beranak-pinak, kawin-mawin. Dia tidak sadar bahwa “keserakahan” itu berpotensi membuat dunia semakin sesak dan tidak lagi nyaman dihuni.

Bagaimana cara menghindari kemungkinan buruk ini? Mengurangi populasi. Langkah awal tentu membatasi atau mengurangi tingkat kelahiran. Indonesia di bawah Presiden Soeharto pernah mencanangkan Program Keluarga Berencana, di mana syarat usia nikah dinaikkan, menjadi 20 tahun (wanita), dan 25 tahun (pria). Dan setiap suami-istri keluarga cukup punya dua anak. Di masa itu berpoligami tidak mudah, terutama bagi abdi negara.

Namun upaya Pak Harto sepertinya kurang sukses, sebab nyatanya negeri ini tetap menjadi peringkat empat dari negara berpenduduk terbanyak dunia. Apalagi di era reformasi ini, poligami pun semakin dipermudah, karena ada agama yang memperbolehkannya. Sekarang ini, siapa yang berani melarang poligami? Salah-salah dia bisa dituding menista agama pula. Apalagi ada parpol yang malah menganjurkan. Tapi sudah dicabut lagi?

Ada fenomena menarik di negara-negara maju seperti AS, Eropa, Jepang, Korsel, di mana tingkat kelahiran cenderung menurun. Kabarnya banyak orang yang tidak “suka” berumah tangga dan punya anak? Fenomena ini sungguh berbeda dengan negara-negara tertentu yang justru berlomba-lomba meningkatkan populasi. Bahkan usia masih belasan tahun pun sudah diperbolehkan menikah. Kalau cerai, ya nikah lagi, sebab unlimited.

Uniknya, negara-negara maju itu malah berlomba-lomba meningkatkan teknologi astronomi, menciptakan pesawat-pesawat angkasa luar, menembus dan menjelajahi alam semesta untuk mencari dan menemukan dunia baru yang diperuntukkan bagi ras manusia kelak. Mungkin mereka sadar bahwa suatu saat kehidupan di Bumi akan musnah, maka ras manusia harus dilestarikan ke dunia yang baru?

Sungguh mulia pemikiran ini. Sementara di pihak lain, ada orang yang tidak pernah berpikiran ke sana, malah justru bersemangat untuk menambah populasi dunia, membuat sesak Planet Bumi.
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *