KOMODO DAN PERINGATAN UNESCO: MENGAPA PEGIAT KHAWATIR DAMPAK PARIWISATA DI TAMAN NASIONAL KOMODO?

Peringatan UNESCO agar pembangunan lokasi wisata Taman Nasional Komodo, di NTT, dihentikan, karena dikhawatirkan melanggar prinsip dasar konservasi, membuka kembali polemik seputar desain pembangunan industri wisata di kawasan konservasi itu.

Para pegiat lingkungan meminta agar pemerintah Indonesia merombak total apa yang mereka sebut sebagai rancangan pembangunan industri wisata di kawasan itu yang dinilai telah menyalahi prinsip dasar konservasi, lingkungan dan azas kemanfaatan bagi masyarakat setempat.

“Ketika pemerintah menjadikan ini kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami, maka komodo akan semain rentan terhadap climate crisis (krisis iklim),” kata Cypri Jehan Paju Dale, antrolopog yang pernah meneliti komodo di kawasan itu, Kamis (05/08) sore.

“Karena, habitat alaminya [komodo] yang sangat khusus, intervensi manusia akan sangat tinggi,” tambah Cypri kepada BBC News Indonesia melalui saluran zoom.

Para pegiat lingkungan dan konservasi, serta didukung sebagian masyarakat setempat, telah menyuarakan penolakan terhadap proyek kontroversial itu setidaknya sejak empat tahun lalu.

Namun pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeklaim pemberian izin wisata Taman Nasional Komodo kepada sejumlah perusahaan swasta “dibolehkan” dan berkomitmen untuk tetap melibatkan masyarakat setempat.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, juga mengatakan pembangunan proyek yang sebagian besar telah selesai tetap dilanjutkan, termasuk di Pulau Rinca yang sudah mencapai 95%.

Proyek wisata yang dijuluki “Jurassic Park” di media sosial ini diminta UNESCO dihentikan karena dapat memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.

Wiratno juga mengeklaim pembangunan infrastruktur ‘Jurassic Park Komodo’ seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca – yang dikritik pegiat lingkungan dan konservasi sebagai “kebun binatang” – justru untuk melindungi komodo.

Ia juga mengatakan pembangunan proyek wisata ini melibatkan masyarakat setempat.

“Makanya, di Kampung Komodo, mereka [masyarakat setempat] sekarang juga diajak terlibat semua bisnis turis ini, jangan hanya jadi penonton,” kata Wiratno kepada BBC News Indonesia, Kamis malam.

“Ketika pemerintah menjadikan ini kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami, maka komodo akan semain rentan terhadap climate crisis (krisis iklim),” kata seorang pegiat lingkungan.

Wiratno tak menyebutkan nama perusahaan yang mendapat konsesi di kawasan itu, namun dalam keterangannya kepada media pada Oktober tahun lalu, dia menyebut setidaknya tiga perusahaan swasta yang sudah mengantongi izin.

Disebutkan, PT SKL mendapat izin mengelola 22,1 hektar lahan di Pulau Rinca. Lalu PT KWE memperoleh izin mengelola lahan 151,9 Hektar di Pulau Komodo dan 274 hektar di Pulau Padar.

Pemerintah dilaporkan pula memberi izin kepada PT SN untuk berbisnis di atas lahan seluas 15,3 Ha di Pulau Tatawa.

Wiratno menegaskan pula bahwa renovasi infrastruktur di Loh Buaya “akan terus dilanjutkan”.

“Dan dijadwalkan pada Desember 2021 akan selesai,” tandasnya.

Pembangunan di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, yang saat ini sudah mencapai 95%, pernah menjadi sorotan, setelah beredar foto seekor komodo tengah menghalangi truk pengangkut material bangunan viral di media sosial.

Pemerintah Indonesia mengeklaim pembangunan di Pulau Rinca (foto atas) tidak menimbulkan atau mengakibatkan dampak negatif terhadap Outstanding Universal Value (OUV) Situs Warisan Alam Dunia Taman Nasional Komodo.

Apa isi ‘peringatan’ UNESCO kepada Indonesia?

Sebelumnya, Komite Warisan Dunia United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) meminta pemerintah Indonesia menghentikan sementara semua proyek infrastruktur di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo (TNK).

Kawasan TNK terdiri dari lima pulau besar dengan populasi komodo terbanyak berada di TNK Loh Liang yang terletak di Pulau Komodo, serta TNK Loh Buaya yang berada di Pulau Rinca.

Dalam Dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO Nomor WHC/21/44.COM/7B, yang diterbitkan setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO di Fuzhou, China, 16-31 Juli lalu, mereka beralasan proyek itu berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV).

OUV (Outsanding Universal Values) adalah salah satu kriteria penilaian UNESCO untuk penetapan warisan dunia.

UNESCO kemudian meminta Indonesia menyerahkan revisi amdal proyek itu yang selanjutnya akan ditinjau kembali oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature, IUCN).

Mereka juga memberikan catatan supaya Indonesia memberikan informasi rinci dari rencana induk pariwisata terpadu yang menunjukkan bagaimana properti OUV akan dilindungi, dan bagaimana rencana mewujudkan pariwisata massal itu dapat memastikan perlindungan OUV.

Laporan ini memunculkan tanggapan beragam. Sebagian pegiat lingkungan menyebut peringatan itu “terlambat”, namun sebagian lagi menyebutnya sebagai “kemenangan besar bagi konservasi.”

Sebaliknya, seorang pejabat kementerian terkait mengatakan UNESCO semestinya “melakukan pengecekan” kepada pemerintah sebelum membuat penilaian.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, Senin (02/08), menganggap kemungkinan ada sedikit perbedaan antara yang diberitakan media dan apa yang terjadi di pertemuan UNESCO.

“Bagi kami, fokus pada Labuhan Bajo dan lima destinasi super prioritas ini menghadirkan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan lingkungan,” kata Sandiaga dalam jumpa pers daring.

BBC News Indonesia sudah menghubungi Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, pada Kamis malam, namun belum ada tanggapan dan meminta untuk mengontak lagi Jumat (06/08).

Apa reaksi pemerintah atas peringatan UNESCO?

Dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, mengatakan pembangunan infrastruktur seluas 1,3 hektar di kawasan Loh Buaya, Pulau Rinca, “agar layak sebagai fasilitas wisata premium”.

“Saat ini prosentase pembangunan dermaga telah mencapai 95% dan pembangunan pusat informasi 76%, dan dijadwalkan pada Desember 2021 telah selesai,” kata Wiratno.

Wiratno mengeklaim pembangunan di Pulau Rinca di TN Komodo tidak menimbulkan atau mengakibatkan dampak negatif terhadap Outstanding Universal Value (OUV) Situs Warisan Alam Dunia Taman Nasional Komodo.

“[Dengan pembangunan infrastruktur berupa dek di atasi] turis akan jalan di atas, sehingga pengunjung tidak bersentuhan langsung dengan komodo,” ujarnya.

Bentuk bangunannya nanti seperti “ekor komodo”, ungkapnya dalam wawancara via telepon pada Kamis malam.

Pemerintah Indonesia mengaku proyek di Pulau Rinca tidak akan menganggu populasi komodo dan sumber pakan (rusa, kerbau, babi hutan), ekosistem savana, hingga hutan mangrove.

Menanggapi tuduhan bahwa proyek itu berdampak buruk pada ekosistem dan lingkungan, Wiratno mengaku “tidak menimbulkan atau mengakibatkan dampak negatif terhadap OUV.”

Hal itu dia tekankan setelah pihaknya memperoleh hasil kajian penyempurnaan Environmental Impact Assessment (EIA) yang dilakukan oleh para pakar kehati dan lingkungan.

Dia kemudian menegaskan tujuan pembangunan di Pulau Rinca hanyalah “mengganti sarana dan prasarana yang mana dan tidak layak” dengan “sarpras yang berstandar internasional.”

Itulah sebabnya, dia mengaku proyek di Pulau Rinca tidak akan menganggu populasi komodo dan sumber pakan (rusa, kerbau, babi hutan), ekosistem savana, hingga hutan mangrove.

“Di sekitar lokasi pembangunan sarpras tersebut hanya terdapat 13 individu komodo, dari 60 individu komodo yang terdapat di Lembah Loh Buaya, di Pulau Rinca. Total populasi komodo di TN Komodo adalah 3.100 individu,” akunya.

Menanggapi soal revisi amdal, Wiratno mengaku saat ini sedang dilakukan proses perbaikan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk menyesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh IUCN.

“[Dengan pembangunan infrastruktur berupa dek di atas] turis akan jalan di atas, sehingga pengunjung tidak bersentuhan langsung dengan komodo,” ujar seorang pejabat terkait.

“UKL/UPL ini merupakan satu kesatuan dokumen yang harus disubmit ke WHC (Komite Warisan Dunia) UNESCO,” katanya.

Menurutnya, target untuk menyampaikan keseluruhan dokumen EIA kepada WHC adalah akhir Agustus atau awal September 2021.

“Agar bisa direview oleh IUCN dan WHC sebelum Sidang WHC ke-45 tahun 2022,” jelasnya.

“Tapi sebelum [dokumen EIA] diperiksa, [UNESCO] sudah buat decision [berupa dokumen peringatan kepada Indonesia], dan kita tidak punya hak untuk menjelaskan,” kata Wiratno.

Seharusnya, demikian kata Wiratno, UNESCO bertanya kepada pemerintah Indonesia untuk mencek ulang data yang dia dapatkan dari pihak lain.

Pemerintah pusat harus ubah total ‘grand design’ Taman Nasional Komodo

Gregorius Afioma, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace yang berbasis di Labuan Bajo menganggap klaim pemerintah bahwa mereka mengganti “sarana yang lama”, telah mereduksi persoalan yang sebenarnya.

Menurutnya, pembangunan prasarana di Pulau Rinca telah mengubah “substansi dan paradigma pariwisata alam”, di mana dia khawatir nantinya komodo akan seperti berada di kebun binatang.

“Kalau tidak ada rusa atau kerbaunya tidak bermain di arena itu, bagaimana komodo bisa ke sana. Otomatis nanti ada manipulasi treatment kepada komodo seperti perlakuan di kebun binatang,” kata Gregorius kepada BBC News Indonesia, Kamis (05/08).

Dia juga khawatir pembangunan fisik di atas lahan itu akan mengubah lanskap di TNK yang merupakan ekosistem semua binatang yang ada di sana.

“Di lokasi yang dibangun bangunan itu, banyak komodo lalu-lalang,” tambahnya.

Hal lain yang dia tekankan terkait ‘perubahan paradigma wisata’ di Pulau Rinca adalah dampaknya akan dirasakan masyarakat setempat yang selama ini menggantungkan pada pendekatan wisata alam.

“Di mana nanti semua aktor atau pelaku pebisnis sudah secara sistematis diserahkan kepada korporasi dan pemodal besar, dan membatasi ekonomi kecil,” ujar Gregorius.

Dampak buruk lainnya yang dia khawatirkan dari perubahan paradigma wisata ini adalah lebih memetingkan sisi ekonomi ketimbang konservasinya.

Itulah sebabnya, Gregorius Afioma mendukung keputusan UNESCO yang memperingatkan pemerintah Indonesia terkait pembangunan proyek wisata ambisius di kawasan TNK.

Komodo adalah binatang purba yang mampu bertahan dari evolusi panjang. Mereka hanya mampu bertahan di sejumlah pulau di TNK.

Dukungan juga disuarakan pegiat lingkungan Venan Haryanto dari Sunspirit for Justice and Peace, serta Cypri Jehan Paju Dale, antropolog yang pernah meneliti komodo di TNK.

Mereka kemudian meminta agar pemerintah Indonesia melakukan evaluasi total seluruh grand design tentang TNK.

“Mulai lagi [rancangannya] dari awal dan ekonomi pariwisata berkelanjutan dan masyarakat lokal,” kata Cypri pada Kamis malam kepada BBC News Indonesia.

Cypri kemudian menjelaskan bahwa komodo adalah binatang purba yang mampu bertahan dari evolusi panjang. Mereka hanya mampu bertahan di sejumlah pulau di TNK.

“Jadi ini ekosistem alami tempat survive-nya binatang purba, dan mereka mampu bertahan karena faktor alamnya yang khusus,” jelasnya.

“Nah, ketika pemerintah menjadikan ini kawasan strategis pariwisata nasional, dengan memasukkan bisnis di dalam bentang alami, maka komodo akan semain rentan terhadap climate crisis (krisis iklim),” imbuh Cypri

“Karena, habitat alaminya [komodo] yang sangat khusus, intervensi manusia akan sangat tinggi,” tambah antropolog dari Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University tersebut.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *