COVID DAN INSENTIF NAKES: KEMENDAGRI-PEMDA SALING BANTAH SOAL SERAPAN ANGGARAN PANDEMI, NAKES BERHARAP HAK MEREKA DIPENUHI

Sistem keuangan negara dituding menghambat kepala daerah mencairkan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19, termasuk upah tambahan bagi tenaga kesehatan (nakes).

Klaim itu muncul setelah Menteri Dalam Negeri lebih dulu menegur 19 provinsi yang dia sebut “lamban memanfaatkan dana negara untuk mengatasi pandemi”.

Di tengah silang argumentasi ini, nakes mendesak pemerintah segera mengatasi urusan birokrasi.

Merujuk peraturan menteri kesehatan, insentif ini diberikan sebagai penghargaan bagi nakes yang menangani kasus Covid-19.

“Untuk periode Januari sampai April ini ada yang sudah dapat, ada yang belum,” kata Ketua PPNI Harif Fadillah, Senin (20/07).

“Misalnya di Jawa Barat. Nakes di sana ada yang sudah mendapatkan insentif, itu pemerintah provinsi yang menalangi. Ada yang jumlahnya sesuai, ada yang hanya mendapat sepertiga,” ucapnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 17/2021, insentif untuk nakes dibayarkan oleh pemda menggunakan dana alokasi umum dan dana bagi hasil. Keduanya adalah anggaran yang diberikan pemerintah pusat dari APBN.

Jumlah maksimal insentif untuk nakes berbeda-beda, tergantung jenis pekerjaannya. Jumlah terbesar yang bisa didapatkan perawat dalam sebulan adalah Rp7,5 juta.

Batas atas untuk dokter spesialis dan dokter umum masing-masing Rp15 juta dan Rp10 juta. Sementara tenaga medis lainnya yang juga menangani kasus Covid-19 paling banyak mendapatkan insentif Rp5 juta.

“Parameternya, misalnya, perawat di rumah sakit yang bekerja terus-menerus selama 20 harilah yang akan mendapatkan insentif secara penuh,” kata Harif.

“Di puskesmas variabelnya adalah jumlah kasus rujukan. Jadi perawat sebenarnya tidak akan pernah mendapatkan 7,5 juta,” ujarnya.

Penyaluran ‘tersendat’

Walau ketentuan pencairan dan dananya telah tersedia, Kementerian Dalam Negeri menyebut penyaluran insentif untuk nakes tersendat.

Bukan cuma terkait kesejahteraan nakes, pemda juga dituding lamban memanfaatkan anggaran kesehatan untuk operasional fasilitas kesehatan.

Situasi ini dirasakan Rosa, seorang dokter puskesmas di Bandung, Jawa Barat, yang meminta nama aslinya disamarkan.

“Pengiriman obat-obatan terbatas. Di puskesmas saya sekarang ada obat yang stoknya habis. Nanti memang dikirim jika kami meminta tapi prosesnya memang agak lama,” ujarnya.

Rosa juga mengeluhkan jumlah alat pelindung diri (APD) yang selalu terbatas.

Hampir satu setengah tahun pandemi berlangsung, dia masih harus menggunakan uang pribadi untuk membeli APD.

“Memang APD sekarang masih ada, tapi saya harus pikirkan teman tenaga medis yang lain di puskesmas. Saat saya tanya apakah dinas akan kirim lagi, mereka jawab belum tahu,” kata Rosa.

“Saya terbiasa pakai hazmat, saya pakai beberapa kali, lalu saya steril. Jadwal melakukan swab dua hari sekali, jadi saya putar otak bagaimana saya dan stok APD bisa aman,” tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, selama tahun 2021 baru enam provinsi yang sudah menyalurkan insentif nakes di atas 50%.

Keenamnya adalah Kalimantan Selatan (100%), Nusa Tenggara Timur (74,1%), Kalimantan Barat (66%), Jawa Timur (62%), Banten (58,6%), dan Kalimantan Utara (50,1%).

Selain itu ada tiga provinsi yang sama sekali belum menyalurkan insentif, yakni Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.

Sementara itu provinsi yang bahkan belum menganggarkan insentif nakes ke dalam APBD tahun ini adalah Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, mengakui pemerintahannya juga belum optimal menyerap anggaran untuk nakes, baru mencapai 34,1%.

Menurut Uu, kelambanan ini terjadi karena pihaknya berhati-hati agar tidak melanggar regulasi.

Selain itu, Sistem Informasi Pendapatan Daerah (SIPD) yang dibuat Kementerian Dalam Negeri juga disebut Uu “menghambat penggunaan anggaran secara cepat”.

“Gubernur berhati-hati karena penggunaannya harus dipertanggungjawabkan. Kalaupun kami dianggap lamban, bukan berarti anggaran itu tidak akan dipakai, tapi bertahap agar sesuai payung hukum,” kata Uu.

“Sistem keuangan sekarang harus mengacu sistem yang dibuat Menteri Dalam Negeri. Karena sistem ini baru, pemprov kesulitan melaksanakannya karena kepala daerah belum semuanya paham, termasuk bupati dan wali kota.

“Jadi wajar kalau anggaran pemprov menumpuk karena sistem itu belum dipahami semua birokrat. Oleh karena itu, jangan terlalu menyudutkan kami,” ujarnya.

Bagaimanapun, Uu menyatakan akan menggenjot realisasi anggaran sektor kesehatan, terutama soal insentif nakes.

“Dengan adanya teguran, ini kami akan perbaiki,” ucapnya.

‘Direalokasi’

SIPD yang disebut Uu, menurut Direktur Eksekutif Pattiro –lembaga riset urusan birokrasi– Bejo Untung, semestinya tidak diterapkan saat pandemi.

Pertanggungjawaban penggunaan APBD, menurutnya tetap bisa dijamin tanpa sistem baru tersebut.

“APBD bisa direalokasi. Ini tidak perlu dimasukkan ke dalam sistem. Tunda dulu pemakaian sistemnya agar pemda bisa menyusun alokasi ulang sesuai kebutuhan mereka,” ujar Bejo.

“Kan pada akhirnya tetap ada laporan pertanggungjawabannya,” kata dia.

Namun sistem yang berbelit tadi dibantah Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto.

Menurutnya persoalan ini terjadi karena pemda lalai mengatur bahwa alokasi insentif nakes tahun ini harus diambil dari pos dana alokasi umum dan dana bagi hasil.

Penyebab lainnya, kata dia, adalah APBD yang masih berubah-ubah untuk membiayai pengeluaran akibat pandemi.

Ardian mengatakan verifikasi secara online terkait jumlah insentif yang harus dibayarkan pemda “pun kerap bermasalah”.

“Jadi SIPD hanya merekam transaksi pemda. Kami sudah menyurati kepala daerah bahwa mereka bisa melakukan transaksi di luar sistem itu.

“Kendalanya bukan ada di SIPD. Apapun sistem yang digunakan daerah, jangan sampai itu ganggu realisasi anggaran,” kata Ardian.

Secara umum, hingga 15 Juli lalu, anggaran penanggulanan Covid-19 pemda untuk bidang kesehatan baru terserap 19,2%.

Di bidang ekonomi anggaran pemda yang dicairkan juga baru mencapai 19,8% sedangkan alokasi jaringan pengaman sosial seperti bansos sudah sebesar 43%.

Jurnalis di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk liputan ini.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita, Informasi Kesehatan. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *