BEDA JEPANG DAN INDONESIA

Jepang adalah negara sekuler. Sex shop, bar bar tempat minum Sake berhamburan di sana. Teman saya yg lama tinggal di sana cerita di kawasan Ginza, sering ditemukan pria tergeletak di jalan di pagi pagi buta. Mereka adalah orang orang yg mabuk dan tertidur di jalan sambil menunggu pagi. Hebatnya tas mereka, laptop, arloji mahalnya tidak ada yg mempreteli. Aman sampai dia bangun kembali di esok harinya untuk bergegas ke kantor.

Ingat Jepang waktu dilanda musibah Tsunami? Opa liat mereka mengantri pembagian makanan karena banyak toko toko makanan hancur oleh gempa dan Tsunami. Yg membuat opa terharu adalah ketika seseorang mendapatkan roti, dia membelah rotinya menjadi dua dan berbagi sebagian rotinya ke orang yg mengantri di belakangnya. Begitu terus seperti rantai. Di saat kesusahan, mereka sadar itu bukan moment untuk kenyang, tetapi untuk bisa bertahan hidup. Seorang wanita Indonesia di Jepang yg waktu gempa terjadi sedang bayar belanjaan di kasir supermarket harus segera meninggalkan tempat ke titik evakuasi. Dia saking paniknya meninggalkan credit cardnya di meja kasir. Wanita ini sungguh terkejut ketika semua sudah terkumpul di titik evakuasi, ada suara di pembesar suara yg memberitakan ada seorang wanita yg meninggalkan CC dan pihak kasir menunggu di titik evakuasi untuk mengembalikan credit cardnya. Ketika bercerita di TV, wanita Indonesia ini tampak terharu.

Bagaimana di kita yg konon penduduknya relijius? Yg sering debat agama dan ulasan ajaran agama tidak kurang kurang? Di masa pandemik, integritas manusia akan teruji. Dimulai dari tabung oxygen yg langka dan tak lama kemudian harganya melonjak gila gilaan, obat obatan yg selalu kosong dan tampaknya ada beberapa pihak yg sengaja menimbun. Begitu juga terakhir saya dengar tempat kremasipun harganya fantastis puluhan juta rupiah karena sudah dikuasai kartel yg menjual mahal tiap slot kremasi. Blom lagi ada pihak pihak yg menggunakan kepanikan masyarakat untuk menjual produk produk yg blom terbukti atau teruji untuk Covid atau mentri yg menyikat dana bansos yg notabene dana untuk mereka yg paling terdampak pandemik. Sungguh miris sih. Berbeda dgn moto orang Jepang di saat saat sulit yaitu

“Ini bukan moment untuk kenyang tetapi untuk survive bersama”,

tampaknya kita punya moto

“Ini momentnya untuk mengenyangkan diri sendiri walau harganya nyawa orang lain”.

Di balik bar dan gemerlapnya dunia malam ada cinta kasih dan welas asih yg tumbuh subur, dan di balik tempat tempat ibadah yg marak, tidak menjamin putihnya hati manusia. Opa jadi ingat nasehat seorang sahabat yg berujar,

“Tuhan tidak ada di tempat ibadah. Dia berada di manapun ketika welas asih, kebaikan dan cinta kasih diwujudkan secara kongkrit”.

Dia benar.

Toni Santoso & fb

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *