Merdeka.com – Polisi berseragam lengkap menghentikan perjalanan warga yang ingin masuk ke Jakarta. Satu persatu pengendara diminta menunjukkan surat keterangan agar bisa melintas. Bagi mereka yang tak mengantongi terpaksa harus putar balik. Langkah ini diambil untuk mengurangi mobilitas masyarakat lantaran meroketnya kasus penularan Covid-19, terutama di Pulau Jawa dan Bali.
Petugas pun makin tegas menerapkan protokol kesehatan. Warung yang nekat buka dan menerima pelanggan disiram bahkan didenda hingga jutaan Rupiah. Seorang kuli bangunan harus kehilangan pekerjaannya lantaran lupa memakai masker. Ini semua dilakukan demi tegaknya protokol kesehatan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan angka penularan pada 13 Juli 2021 mencapai 47.899 Kasus Baru. Angka tersebut menjadi rekor terbaru dalam penularan Covid-19 selama pandemi. Tren kenaikan kasus Covid-19 ini tidak hanya disebabkan oleh varian baru saja, tetapi juga masyarakat mulai abai dengan protokol kesehatan. Jika ini terus berlanjut maka diprediksi Indonesia akan masuk dalam jajaran negara yang terakhir keluar dari pandemi Covid-19.
Pakar Epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman mengatakan, penyebab tidak membuminya penerapan protokol kesehatan karena tidak adanya figur teladan, baik di lingkungan masyarakat atau pun tokoh pemerintahan. Ini semakin rumit dengan tidak konsistennya pemerintah dalam menyikapi pandemi Covid-19 sejak awal.
“Karena apa masyarakat melihatnya figur keteladanannya tidak muncul optimal dan di awal-awal selama pandemi ini banyak yang meremehkan mengabaikan dan itu akhirnya menular pada publik dan mereka mencontoh, ini yang akhirnya melahirkan ketidakpatuhan. Ketika pertama bilangnya ini aman besoknya mereka bilang ini harus ketat. Ini sulit seperti itu karena nggak konsisten strategi komunikasi yang dibangun tidak efektif sejak awal,” katanya kepada merdeka.com, Selasa (13/7).
Dia mengungkapkan, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan jauh lebih baik di awal pandemi Covid-19. Namun seiring berjalannya waktu, kepatuhan tersebut tidak dapat dipertahankan. Salah satu penyebabnya, tokoh dan figur masyarakat tidak menjalankan pola serupa. Sehingga yang terlihat di kaca mata masyarakat, ternyata ketidakpatuhan itu bisa dilakukan.
Dicky menerangkan, masyarakat Indonesia masih menganut paternalisme. Sehingga sangat memungkinkan untuk mengajak mereka untuk patuh pada protokol kesehatan. Sayangnya, pemerintah dinilai gagal untuk memberdayakan figur yang kuat secara budaya maupun religius dalam mengkampanyekan kebiasaan baru.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan adanya informasi simpang siur, klaim-klaim akan suatu teori, obat penyembuhan hingga hoaks. Ini semua tumbuh lantaran tidak terkendalinya pandemi.
“Semakin tidak terkendali pandemi, ada dua hal yang terjadi. Pertama, masyarakat makin panik. Masyarakat di sini ada yang di komunitas ada yang di pemerintah yang akhirnya keputusan diambil berdasarkan kepanikan seringkali tidak berbasis sains. Kedua semakin tidak terkendali pandemi, karena panik tadi maka informasi makin subur, orang klaim ini orang klaim itu, ada teori ini ada macam-macam, hoaks macam-macam dan itu akhirnya melahirkan ketidakpatuhan lagi ini,” jelasnya.
Kabid Perubahan Perilaku Satgas Covid-19, Sonny Harry mengakui, hoaks menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan maupun kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Padahal, secara pengetahuan, masyarakat Indonesia telah mengalami kenaikan secara drastis terkait dengan pandemi. Namun memang terjadi kenaikan dan keturunan.
Tantangannya, bagaimana cara mengubah pengetahuan tersebut menjadi perilaku. Ini memerlukan motivasi agar seseorang mau berubah.
“Dari dulu orang tahu merokok berbahaya untuk kesehatan, tapi yang merokok masih ada saja. Iya enggak? Jadi enggak ada masalah sebenarnya. Hanya motivasi itu bagi masyarakat bisa turun. Karena apa? Macam-macam. Satu hoaks. Hoaks itu benar-benar bisa hancurin motivasi. Pengetahuannya ada, motivasinya enggak ada, ya enggak akan jadi perilaku,” ujarnya.
Sonny menerangkan, peran sosok atau figur pemimpin masyarakat memang memberikan dampak terhadap motivasi masyarakat. Untuk itu, Satgas Covid-19 terus merangkul dan mengajak tokoh agama untuk menciptakan perilaku tertib protokol kesehatan.
“Contohnya di Bangkalan kita gandeng itu. Jadi kepatuhan memakai masker dari cuma 18 persen naik menjadi 54 persen. Drastis itu dengan menggandeng ulama. Bahkan kita gandeng pesantren, gereja, macam-macam. Bahkan mereka punya duta perubahan perilaku. Sekarang duta perubahan perilaku sekarang jumlahnya sudah 101.000. Nah sebagian dari mereka ulama, dai, bekerja sama dengan Dompet Duafa,” terangnya.
Dia mengatakan, pihaknya akan terus berupa menjaga konsistensi masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Caranya dengan penegakan disiplin protokol kesehatan. Ini penting agar masyarakat yang melanggar tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah. Kemudian menggerakkan duta perubahan perilaku, menggerakkan secara massa. Satgas juga akan mengkampanyekan secara masif melalui berbagai media. Dan terakhir penguatan posko desa/kelurahan.
“Pokoknya kami bekerja sesuai tugas yang diberikan. Sekarang tugas, kewenangan yang diberikan kepada Satgas itu fokus pada protokol kesehatan. Penanganan kesehatan sudah di Kementerian Kesehatan, ada Kementerian Kesehatan. Ekonomi pada Kementerian Perekonomian,” ungkap Sonny.
Jadi Kelompok Terakhir Terbebas dari Pandemi
Dicky Budiman mengungkapkan, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini sedang tidak terkendali. Ada beberapa indikator yang menjadi acuannya, seperti positivity rate Covid-19 di Indonesia berada di atas 10 persen. Dan berdasarkan data Kementerian Kesehatan, positivity rate Covid-19 Indonesia pada tanggal 13 Juli 2021 berada di 30,1 persen. Bahkan angka kematian akibat virus asal Wuhan, China tersebut tercatat 864 pada 13 Juli 2021.
“Terkendali itu kasus infeksi nya satu banding satu juta, apalagi kalau satu kasus per sepuluh juta, bagus banget. Terus ada kematian itu, bahkan satu kematian saja itu jadi indikator kegagalan respon ini yang artinya tetap tidak terkendali berarti masyarakat cenderung mengalami masa yang sulit,” jelasnya.
Tidak terkendalinya pandemi ini, akhirnya berdampak langsung kepada kehidupan sosial masyarakat. Mereka akhirnya memutuskan abai pada anjuran pemerintah untuk tetap di rumah atau pun melaksanakan protokol kesehatan. Karena mereka panik akan kelangsungan hidupnya. Untuk itu pemerintah harus memiliki strategi yang komprehensif serta manajemen yang kuat untuk bisa keluar dari situasi ini.
“Sektor-sektor kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang terganggu itu menyebabkan kecemasan dan kepanikan. Itu yang membuat akhirnya masyarakat, ‘jadi saya mau makan atau prokes? Saya harus cari makan’, akhirnya dihadapkannya dengan kondisi seperti itu. Akhirnya yang membuat Indonesia jadi yang belakangan keluar dari situasi kritisnya,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menyoroti penanganan pandemi di Indonesia yang tidak menjadikan sektor kesehatan sebagai ujung tombak. Ini dinilai berdampak buruk lantaran akan menyebabkan Indonesia rentan ketika menghadapi pandemi.
“Saya melihat ini pertama kali yang melihat itu bukan sektor kesehatan, ada peran kesehatan peran sektor kesehatan tapi kecil. Apakah ini berpengaruh? Ya tentu berpengaruh dan berbahaya. Karena apa? Karena sistem kesehatan tidak diperkuat diberdayakan, kita akan rawan menghadapi pandemi berikutnya dan ini bukan masalah orang, ini adalah sistem. Dan sistem itu yang harus digunakan dan diperkuat,” tutup Dicky. [fik]
sumber: merdeka