PENANGKAPAN AKTIVITAS PAPUA DAN LABEL ‘KKB TERORIS’, ‘KEMUNDURAN’ SOLUSI DAMAI DAN TIMBULKAN ‘ESKALASI KEKERASAN’

Penangkapan aktivis pro-kemerdekaan Papua Victor Yeimo, menyusul pelabelan teroris pada kelompok pro kemerdekaan TPNPB-OPM disebut peneliti sebagai “kemunduran” dalam penanganan solusi damai konflik di Papua.

Ketua kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth mengatakan pelabelan teroris juga berpotensi pada “eskalasi kekerasan di wilayah konflik”.

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menyatakan pelabelan teroris terhadap kelompoknya justru akan “memakan korban warga sipil, terutama orang asli Papua”.

Pemerintah Indonesia berkukuh dengan pelabelan itu, seraya menegaskan “label teroris bukan untuk masyarakat Papua, tapi untuk kelompok pembuat teror”.

Menkopolhukam Mahfud MD mengklaim pemerintah telah mengantongi 19 nama kelompok, yang disebut terbukti “menyebarkan ketakutan, membunuh dan menantang untuk memisahkan diri dari Indonesia”. Tidak ada rincian lebih lanjut terkait 19 kelompok itu.

Sementara itu, pegiat HAM Usman Hamid menyebut kebijakan pelabelan teroris terhadap apa yang disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) ini mengulangi kesalahan kebijakan di era pemerintahan Presiden Megawati yang mencap tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tuduhan teroris dan “pada akhirnya menggagalkan penyelesaian konflik secara damai”.

Penangkapan ‘aktor kerusuhan’

Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo ditangkap di Jayapura pada Minggu (09/05) malam oleh pasukan gabungan TNI dan Polri, Satgas Nemangkawi.

Kepala Humas Satgas Nemangkawi, M. Iqbal Al Qudussy menyebut Victor sebagai “aktor dari kerusuhan Papua pada 2019”.

Iqbal menyebut, selama dua tahun terakhir Victor tinggal di negara tetangga Papua Nugini, yang bersebelahan dengan Provinsi Papua.

“Kemudian sekitar dua minggu lalu menyeberang ke wilayah Papua. Kita monitor terus sehingga tadi malam ada waktu yang tepat untuk dilakukan penangkapan,” kata Iqbal kepada wartawan.

Pria berusia 38 tahun ini dinyatakan buron selama dua tahun setelah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019, karena diduga terlibat dalam demonstrasi yang berujung pada kerusuhan di Jayapura pada 29 Agustus 2019 silam.

Seperti diberitakan, pada pertengahan Agustus hingga akhir September 2019 rentetan kerusuhan pecah di Papua. Aksi unjuk rasa menentang rasialisme yang semula damai berubah anarkistis di Manokwari pada 19 Agustus 2019.

Kerusuhan kemudian meluas di kota-kota lain seperti Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai dan Jayapura. Pada September, kerusuhan kembali terjadi di Jayapura dan Wamena.

Victor disangka melakukan makar dan atau menyiarkan suatu berita yang menimbulkan keonaran di masyarakat dan terancam hukuman 20 tahun hingga seumur hidup.

Pegiat HAM sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengingatkan bahwa pemerintah dan aparat keamanan harus memperlakukannya sesuai standar hukum dan hak asasi yang berlaku.

Di tahun 2021, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 31 tahanan dikenakan pasal-pasal makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya.

Di antaranya adalah 13 KNPB yang sudah dibebaskan namun berstatus wajib lapor. Lainnya adalah enam tahanan di Sorong dan tiga orang aktivis KNPB di Sorong.

‘Tokoh gerakan separatis Papua’

Penangkapan terhadap Victor Yeimo terjadi di tengah kontroversi pemerintah memberi label teroris terhadap kelompok pro-kemerdekaan Papua.

Adriana Elisabeth, peneliti kajian Papua di LIPI, menyebut Victor Yeimo merupakan “tokoh penting dalam gerakan separatis Papua yang bergerak di luar negeri” karena posisinya sebagai juru bicara internasional KNPB,

“Kenapa dia kemudian ditangkap, dia mempunyai peran menyuarakan apa yang terjadi di Papua ke forum internasional. Dengan dia ditangkap, dia tidak punya akses,” kata Adriana.

Posisi penting Victor Yeimo dalam gerakan separatisme Papua, diakui oleh Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, yang pernah menjabat Kapolda Papua, Paulus Waterpauw.

“Kemarin sudah ditangkap Victor Yeimo, seorang juru bicara salah satu aktor penting di KNPB. Nanti kita akan melakukan upaya lain terhadap Agus Kossay (Ketua KNPB) dan yang lainnya,” kata Paulus.

Paulus mengklaim KNPB bersama kelompok-kelompok lain, termasuk oknum di gereja, media, badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan aliansi mahasiswa Papua serta TPNPB-OPM, berkolaborasi dalam gerakan separatisme Papua.

“Mereka berikan sentimen mendalam bagi generasi muda Papua, sentimen anti-Indonesia”

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom mengatakan penangkapan Victor Yeimo ini terkait dengan “stigma teroris” yang dilabelkan terhadap kelompoknya.

Ia khawatir label teroris itu akan berujung pada penangkapan terhadap siapapun yang mendukung perjuangan kemerdekaan Papua.

“Jakarta punya pikiran ini akan selesaikan konflik, tidak akan mungkin. Mereka berikan sentimen mendalam bagi generasi muda Papua, sentimen anti-Indonesia.”

“Jadi sakit hati yang mendalam pada generasi muda karena Indonesia buat penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemukulan, penahanan, pemenjaraan sewenang-wenang. Padahal kita kan bicara hak kami untuk merdeka. Itu salahnya apa? Indonesia segera berhenti, cabut itu stigma teroris segera,” kata Sebby.

Seperti diberitakan, pemerintah Indonesia memberi label pada apa yang mereka sebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) pada akhir April lalu demi menangani konflik bersenjata berkepanjangan di Papua.

“Tidak akan selesaikan [konflik], justru nanti warga sipil, orang asli papua yang jadi korban banyak,” tegas Sebby.

Adriana Elisabeth dari LIPI mempertanyakan label teroris yang disematkan pada TPNPB-OPM yang disebutnya “tidak memperhitungkan dampaknya” terhadap warga Papua.

“Apakah itu secara otomatis bisa membuat kita membedakan antara KKB dan kelompok sipil biasa, karena mereka juga bagian dari masyarakat yang ada di sana,” katanya.

Ia mencontohkan, setelah pelabelan teroris terhadap OPM, sejumlah mahasiswa Papua di Bali, mengaku mendapat teror dengan sebutan teroris.

“Jadi bagaimana mau dicegah apa yang terjadi di lapangan, ketika sebuah keputusan politik disampaikan, tapi kemudian kurang memperhitungkan dampaknya,” jelas Adriana.

Sementara itu Kabaintelkam Polri Paulus Waterpauw menegaskan bahwa “label teroris bukan untuk masyarakat papua tapi untuk kelompok pembuat teror”.

Senada, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan alih-alih menggunakan istilah “KKB Papua”, pemerintah kini akan spesifik menyebut nama pimpinan kelompok tersebut.

Dia mengklaim pemerintah telah mengantongi 19 nama kelompok, yang terbukti “menyebarkan ketakutan, membunuh dan menantang untuk memisahkan diri dari Indonesia”.

‘Kemunduran’ bagi solusi damai

Akan tetapi, Adriana dari LIPI menganggap pelabelan teroris justru “kemunduran” penanganan solusi damai konflik di Papua.

“Menurut saya, memakai kata damai itu juga berimplikasi untuk semua kebijakannya, pendekatannya, komunikasinya juga harus membangun ke arah bersama untuk mendapatkan kesepakatan untuk menyelesaikan masalah tidak dengan mereproduksi kekerasan baru,” terang Adriana.

“Ditambah lagi dengan KKB yang juga sudah mengumumkan mereka akan melawan stigma itu, menurut saya dua-duanya (pemerintah Indonesia dan TPNPB-OPM) belum mengarah pada esensi proses damai, belum sama sekali malah. Menurut saya malah setback(kemunduran) ya,” lanjutnya.

Senada, pegiat hak asasi manusia sekaligus direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyebut bahwa pelabelan teroris pada TPNPB-OPM mengulangi kesalahan pemerintah yang dilakukan pada saat penyelesaian konflik di Aceh.

Pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Menkopulhukam pada saat itu mencap kelompok pro-kemerdekaan Aceh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai teroris.

Langkah itu justru membuat penanganan konflik Aceh “mengalami kebuntuhan” dan “pada akhirnya menggagalkan penyelesaian konflik secara damai”.

“Pemerintah tidak berhasil meredam konflik bersenjata dan meredam keinginan rakyat Aceh untuk merdeka. Di sisi lain, korban terus berjatuhan, baik dari warga sipil, aparat keamanan, juga dari pendidik karena itu proses perdamaian gagal,” kata Usman.

“Proses perdamaian baru berhasil setelah pemerintah Indonesia meninggalkan pendekatan draconian, pendekatan represif itu,” tuturnya.

Pelabelan teroris ini, kata Usman, memperluas pendekatan keamanan pemerintah yang “hanya akan menimbulkan siklus kekerasan yang sebetulnya sudah merenggut begitu banyak nyawa”.

Pelabelan ini juga akan menutupi peluang atas proses hukum yang benar pada apa yang ia sebut sebagai “dugaan pembunuhan di luar hukum”, baik yang dilakukan negara maupun aktor non-negara.

Label terorisme ini, disebut Usman juga akan membatasi ruang gerak dan ekspresi orang Papua dalam menyampaikan ekspresi mereka dalam menyatakan pendapat.

“Selama ini saja, kegiatan mereka berkumpul atau berekspresi dalam menyatakan pendapat sudah dituduh sebagai separatis. Mereka bisa saja semakin terjerat dengan UU anti terorisme ini,” cetusnya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *