TEMPO.CO, Jakarta – Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan Menteri Kesehatan dan otoritas urusan riset di Indonesia tak boleh tinggal diam atas sikap tim peneliti vaksin Nusantara yang mengabaikan prosedur uji klinis. Dicky mengatakan uji klinis yang mengabaikan prosedur itu berbahaya bagi kesehatan publik dan ketahanan kesehatan (health security) nasional.
“Menteri Kesehatan tidak bisa tinggal diam, Menteri Riset atau apa namanya sekarang, Menteri Pendidikan, tidak bisa tinggal diam, karena ini menyangkut kesehatan publik dan ketahanan kesehatan,” kata Dicky kepada Tempo, Ahad, 18 April 2021.
Vaksin Nusantara pertama kali dikenalkan pada November lalu oleh Terawan Agus Putranto ketika masih menjabat Menteri Kesehatan. Riset pengembangan vaksin berbasis sel dendritik ini dilakukan melalui kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dengan PT Rama Emerald Multi Sukses.
Rama Emerald merupakan pemegang lisensi dari Aivita Biomedical Inc, perusahaan farmasi yang berbasis di Amerika Serikat, pengembang terapi sel dendritik SARS-CoV-2. Meski Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin uji klinis tahap kedua, tim peneliti telah memulai penyuntikan vaksin Nusantara kepada relawan sejak pekan lalu.
Dicky mengatakan pemerintah mesti waspada dengan sikap tim peneliti yang tak mengindahkan prosedur penelitian. Dicky, yang pernah enam tahun bekerja di Kementerian Kesehatan, mengatakan prosedur riset vaksin ini sebenarnya telah diatur dengan ketat dan baku, apalagi jika melibatkan pihak asing.
Di antaranya, ada mekanisme interdepth yang melibatkan banyak kementerian. Keputusan pun diambil melalui mekanisme interdepth ini. Menurut Dicky, jelas ada hal yang perlu diwaspadai jika penelitian yang dilakukan tak berbasis pada prosedur sains.
“Pengalaman saya enam tahun di pemerintahan, cenderung ada hal yang harus kita waspadai. Kalau orang tidak mau mengikuti prosedur ya enggak boleh berlaku. Kalau (prosedur) itu diabaikan, apa yang mau dijadikan rujukan,” kata Dicky.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan tim peneliti vaksin Nusantara mestinya melakukan perbaikan seperti yang direkomendasikan BPOM. Ia mengatakan keputusan BPOM–sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengontrol keamanan produk makanan dan obat, termasuk vaksin–harus dihormati.
“Bukannya mbalelo, meneruskan, padahal sudah jelas secara prosedural tidak sesuai. Ya sementara dihentikan dulu dan perbaiki,” kata Windhu secara terpisah.
Windhu juga menyoroti sikap tim vaksin Nusantara melanjutkan uji klinis tahap II dengan dukungan para politikus. Dia mengingatkan, politikus tak boleh mengintervensi riset ilmiah apalagi merundung BPOM dengan tuduhan tak memiliki nasionalisme. “Ini BPOM mengalami perundungan, seakan-akan tidak nasionalis. Namanya riset itu enggak ada hubungannya (dengan nasionalisme), kita ingin masyarakat terlindung,” ujar Windhu.
sumber: tempo