Kepolisian menyebut pelaku teror di Mabes Polri dan pelaku bom bunuh diri di Makassar meninggalkan pesan tertulis kepada keluarga mereka.
Walau pihak keluarga pelaku belum mengonfirmasi kebenaran pesan atau yang kini banyak disebut sebagai surat wasiat itu, isinya sudah viral di media sosial.
Pola meninggalkan pesan sebelum melakukan aksi teror bukan baru kali ini muncul, kata mantan anggota Jemaah Islamiyah.
Para pelaku Bom Bali yang tergabung dalam organisasi teror itu dulu meninggalkan pesan lewat rekaman video.
Bukannya menyebar atau merundung pelaku teror, masyarakat, terutama muda-mudi, didorong berempati dan menyelamatkan orang yang berpotensi terjerumus terorisme.
Adapun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendesak Kementerian Komunikasi dan Informasi membatasi peredaran pesan pelaku teror.
Ali Fauzi, mantan pembuat bom yang pernah bergabung dengan organisasi teror Jemaah Islamiyah, menyebut sejumlah pelaku Bom Bali meninggalkan pesan untuk keluarga sebelum melakukan aksi.
Pesan dalam bentuk video itu, kata Ali, hampir sama dengan pesan Zakiah Aini, pelaku teror di Jakarta dan Lukman Alfariz, yang meledakkan bom di depan Gereja Katedral Makassar.
“Mereka membuat pesan audio visual untuk orang tua, istri, anak, dan saudara-saudaranya. Banyak narasi dalam pesan itu adalah harapan kenikmatan surga,” ujar Ali, Kamis (01/04).
“Jadi ini lebih dulu dilakukan para pelaku bom yang digalang Jemaah Islamiyah,” ucapnya.
Menurut Ali, lewat pesan terakhir itu para pelaku teror berharap ada orang-orang lain yang meniru perbuatan mereka.
“Kalau dibaca oleh orang-orang yang berpikiran pendek, pesan itu bisa sangat berbahaya. Jadi sangat penting membuat generasi muda yang kebal terhadap paham ekstrem,” kata Ali.
Ali Fauzi, mantan pembuat bom di kelompok teror Jemaah Islamiyah kini aktif membantu orang-orang keluar dari jerat ekstremisme dan intoleransi.
Tren dan tujuan di balik pesan pelaku teror itu juga diamati Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, bahwa surat wasiat itu dibuat untuk menggaet pelaku baru serta menyebarkan wacana soal surga yang mereka yakini.
Menurut Irfan, menyebarluaskan pesan itu ke publik justru akan membantu para pelaku teror mencapai tujuan mereka, terutama ke sesama orang muda.
Pelaku aksi teror di Makassar dan Jakarta rata-rata berumur pertengahan dua puluhan tahun.
“Jangan sampai yang sudah bercita-cita melakukan teror terpicu dengan beredarnya pesan seperti itu,” kata Irfan.
“Generasi muda satu paket dengan militansi. Militansi itu seperti bensin, bisa setiap saat terbakar jika ada yang memicu.
“Yang tidak punya persiapan apa-apa saja bisa mengikuti perbuatan itu, apalagi orang yang sudah menekuni paham ekstrem,” ujarnya.
Irfan menduga, Zakia sudah terpapar radikalisme sejak memutuskan berhenti kuliah. Ia yakin Zakia terdorong menyerang markas besar Polri setelah membaca surat Lukman Alfariz.
Pesan Lukman beredar di media sosial setelah dia tewas meledakkan diri di Gereja Katedral Makassar. Kini giliran pesan Zakia yang viral.
Irfan berpendapat, Kominfo adalah otoritas terdepan yang perlu mencegah peredaran dan glorifikasi pesan pelaku teror.
Selama ini kementerian tersebut secara rutin menutup situs yang mereka anggap mengandung konten ekstremisme.
BBC Indonesia sudah berusaha menghubungi Kepala Humas Kominfo, Ferdinandus Setu, untuk mendapat keterangan soal peredaran pesan pelaku teror itu.
Namun hingga berita ini diterbitkan, Ferdinandus belum menanggapi permintaan wawancara.
Sementara saat dikonfirmasi tentang peradaran pesan itu, juru bicara Mabes Polri Irjen Argo Yuwono berkata, “Kami lakukan soft power dengan edukasi kepada masyarakat.”
Bagaimanapun, di tingkat akar rumput, publik semestinya menunjukkan empati saat membaca pesan pelaku teror. Ini dikatakan Mohammad Aan Anshori, Ketua Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD).
Berempati, menurut Aan, bukan berarti mendukung paham dan terorisme.
“Pelaku seperti Zakia ini harus dilihat sebagai korban. Setelah melihat pesannya, kita merundung dan mengecam,” kata Aan.
“Jika dia masih hidup, apakah pemikirannya akan sembuh atau dia justru semakin yakin bahwa pemikirannya benar?
“Jadi kita harus menghentikan aneka hujatan dan berempati pada pelaku dan calon pelaku yang sebenarnya korban ekstremisme,” ujar Aan.
Lebih dari itu, Aan mendorong agar generasi muda membiasakan diri berbaur dengan penganut agama dan keyakinan lain.
Merujuk sejumlah survei dan penelitian, Aan menyebut masyarakat Indonesia lebih memilih hidup dalam kelompok homogen.
Padahal hidup dalam komunitas homogen disebut Aan justru menyuburkan pandangan bias, stereotip negatif, dan prasangka.
“Generasi muda non-Islam, terutama yang Kristiani, jangan takut dengan aksi teror ini dan justru semakin membaur dengan generasi muda Islam,” kata Aan.
“Kalau orang muda Islam dibiarkan hidup dalam komunitas mereka sendiri, maka mereka tinggal tunggu waktu untuk bisa terprovokasi.
“Kita perlu silang integrasi, lebih saling berbaur. Mulailah menambah teman yang berbeda agama.
“Jika kita takut berbaur, kita akan semakin hidup secara homogen dan friksi di antarkelompok malah akan semakin tajam,” ujar Aan.
Menurut survei BNPT yang dipublikasi Desember 2020, 85% generasi milenial Indonesia disebut rentan terpapar radikalisme.
Sementara setahun sebelumnya, kajian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian mengungkap bahwa 52% pelajar mendukung radikalisme berbasis agama.
sumber: bbc