RUTE MENANTANG BAHAYA

Sutradara : Ressi Dwiana, Duma Yanti Theresia
Penyunting : Aline Jusria

Deskripsi:

Bercerita tentang seorang supir bus PO. Sinabung Jaya yang sehari-hari menempuh perjalanan dari Medan ke Kabanjahe ibu kota Kabupaten Karo.
Rute yang ditempuh boleh dibilang rute maut karena sering terjadi kecelakaan karena keadaan jalan yang berliku dan menanjak. Namun demikian rute ini termasuk rute yang cukup ramai.

Video RUTE MENANTANG BAHAYA telah diikutkan dalam perlombaan dalam acara EAGLE AWARD DOKUMENTARY COMPETITION 2005 dan merupakan salah satu video yang lolos dalam Semi Final dalam kompetisi tersebut pada tahun 2005.

Penghargaan / Pemutaran / Lain-lain:
Eagle Awards Documentary Competition 2005
Jakarta International Film Festival 2005

Rute AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) “MEDAN – KABANJAHE PP” yang dilalui yang dilihat dari atap/bagasi bus Sinabung Jaya, yang pada hari libur bagasi barang di atap tidak hanya dipenuhi barang penumpang dan sayur mayur juga dipenuhi penumpang muda baik pria maupun wanita tanpa mengenal rasa takut akan bahaya keselamatan jiwanya.

Penjelasan gamblang Pedomanta Ginting, supir Sinabung Jaya dalam film “Rute Menantang Bahaya” salah satu finalis Documentary Competition 2005 telah mengungkapkan bagaimana perjuangan supir salah satu angkutan Medan-Kabanjahe itu.

Film yang berdurasi 20 menit ini sungguh menarik perhatian. Mengapa demikian? Selain mengambil tema yang berbeda dengan keempat finalis lainnya, nuansa Karo sangat kental menghiasi film ini.

Diawali dengan ilustrasi musik patam-patam gendang lima sedalanen (non keyboard) arahan Ginting Group membawa kita mengarungi ciri khas Karo. Begitu juga setting gambar yang diambil meliputi Pancur Batu, Sembahe, Sibolangit, Brastagi dan Kabanjahe dan beberapa tempat lainnya.

Penempatan kamera di atap bus dan kaca depan dalam mengambil ‘angle’ telah membawa kita bagaimana tantangan berada di Sinabung Jaya. Penggambaran sedikit menakutkan ketika sebuah mobil yang memotong liar hampir menabrak Sinabung Jaya tersebut.

Yang sangat menarik perhatian tentu saja wawancara dengan sang supir Pedomanta Ginting, supir botak yang selalu memakai baret merah ini. Pedomanta Ginting mengungkapkan pendapatnya pada saat sedang menyetir samping dengan tangan di jendela kanan (khas supir-supir Tanah Karo) atau duduk di pintu tengah Sinabung Jaya itu. Dengan logat Karo Indonesia yang kental, pria berwajah tanpa dosa namun sangat lucu ini mengungkapkan, ”Pernah sekali remku enggak makan terpaksalah parit Sibolangit itu kujadikan remnya. Kumasukkan saja motor ini ke dalam parit itu biar berhenti”. Dengan gaya yang mengundang gelak tawa, Ginting juga mengungkapkan bagaimana dia kejar-kejaran dengan Rahayu di tikungan Family Join.

Bahasa Karo juga mewarnai film ini seperti kernet menawarkan jasa, “Iakkhh siat denga bi.” Atau bagaimana Pedomanta Ginting menggoda salah satu penumpangnya seorang gadis bernama Juli. Tentu saja penggunaan bahasa Karo ini ditambahkan teks bahasa Indonesia.

Di satu kejadian Sinabung Jaya yang dikemudikannya hendak memotong sebuah truk bertuliskan “Cinta Tanpa Kasih.” Truk bertuliskan kata-kata mutiara ini tentu saja khas truk-truk di Sumatera Utara.

Gelak tawa dialog juga terjadi ketika Ginting menyebutkan, ”Kernet ini udah seperti monyet. Dimana-manapun dia bisa hinggap. Waktu jalan kencangpun dia enggak jatuh. Terus kernet itu suka nokoh kalau ngasi setoran. Pasti ada saja simpannya uang.”

Adegan menegangkan terjadi ketika Sinabung Jaya itu harus berhenti ketika sebuah truk trial yang panjangnya hampir 10 meter harus melewati salah satu tikungan di kawasan Sibolangit. Begitu juga penjelasan Ginting pada wisatawan asing yang kebanyakan sangat tertarik naik di atap Sinabung. “Terutama orang Belanda,” tambahnya.

“Mamak-mamakpun enggak takut duduk di atas. Justru dia lebih tenang kalo duduk diatas daripada di dalam,” puncak Pedomanta Ginting menjelaskan yang membuat kita tertawa terbahak-bahak.

Di film itu juga disorot bagaimana Pedomanta Ginting dengan keluarganya yang tinggal di sebuah kuta/ desa di Tanah Karo.

Secara keseluruhan arahan sutradara Ressi Dwiana dan Duma Yanti ini telah mengangkat realita kehidupan Karo yang sungguh tidak terpikirkan. Secara sinematografi film ini layak untuk diangkat topi. Ide ceritanya brilian. Dan dipastikan jika kita menonton film ini dari awal hingga akhir kita tidak dapat menahan tawaSederet penonton orang Karo tertawa terpingkal-pingkal di barisan dua sebelah atas ketika menyaksikan film ini. “Film ini kurang lama,” sahut seorang beru Sembiring yang menonton di sebelah saya.

Komentar : Oleh Joey Bangun.

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *