SUDAH BERLAKU ADILKAH KITA TERHADAP JOKOWI?

Ras To’- Perlu saya ingatkan kembali orang seperti Jokowi adalah sosok manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Ambisi baginya adalah upaya merestrukturasi kepentingan personal menjadi kepentingan komunal. Baginya koruptif adalah prilaku hina. Jokowi adalah sosok rigrid bahkan koppig yang tak sudi berdamai dengan tindak kolusif.

Sikap mengutamakan kepentingan orang banyak telah menyibukkan dìrinya, hingga tak ada waktu baginya mengurusi, dan mempersoalkan penghinaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak dirinya memimpin DKI Jakarta, sampai saat ketika dirinya menjadi orang nomor satu dinegri ini.

Baginya jabatan adalah amanah yang harus dipelihara sebaik-baiknya, bukan untuk dipertahankan mati-matian.

Jokowi menyadari, berakhirnya jabatan dan kedudukan yang berada dalam genggamannya adalah suatu keniscayaan, dan dirinya akan berevolusi kembali menjadi masyarakat biasa.

Poin inilah yang menjadikan sikap seorang Jokowi “mawas diri” dan menyadari, bahwa setiap pemimpin memiliki tanggungjawab bukan saja terhadap rakyatnya, melainkan kelak dihadapan “Pengadilan Illahi” hakekat segala perbuatan manusia kembali.

Jokowi memang manusia biasa bukan dalam arti biasa-biasa saja, melainkan manusia luar biasa dengan segala keistimewaan, terutama kecerdasan spiritual sebagai jati dirinya.

Berbeda dengan seorang relijius yang menampakkan keshalehan dan ibadah ritual sebagai hal utama, namun dalam pandangan seorang spiritual seluruh aspek kehidupan adalah ibadah.

Fenomena ini tergambar dengan jelas ketika Jokowi menerima TP3, untuk lebih jelasnya buka link ini: https://seword.com/politik/sengkunilah-dalangnya-cFvU3aBGBk

Baru-baru ini muncul wacana untuk masa jabatan presiden ditambah tiga Periode, sebetulnya wacana ini bukan isu baru. Hal ini pernah muncul ketika SBY menjadi Presiden, namun hal ini mendapat penolakan publik secara luas yang berujung kandas.

Wacana tersebut muncul kurang lebih satu tahun yang lalu di era Jokowi memimpin, dan sekarang dimunculkan kembali. Namun hal ini ditolak Jokowi untuk kali keduanya dengan merilis pernyataan yang sama, “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya : Satu ingin menampar muka saya; yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga ingin menjerumuskan,” kata Jokowi

Kita bisa menarik kesimpulan berkenaan dengan wacana presiden ditambah masa jabatannya menjadi tiga periode dan sikap penolakan dari Jokowi.

Pertama, usulan ini dipahami oleh Jokowi sebagai “menampar Muka,” kita mahfum bahwa terpilihnya Jokowi sebagai presiden disaat UU yang berlaku adalah membatasi jabatan presiden hanya dua periode. Bisa jadi jika Jokowi mau menerima usulan itu, sama artinya Jokowi memposisikan dirinya sebagai orang yang “ambisius.”

Kedua, “cari muka,” bukan tidak mungkin hal ini merupakan praktik politik “dagang sapi” dari partai-partai, atau oknum yang menangguk keuntungan, dan berharap masih bisa menikmati melalui keterpilihan Jokowi, dalam hal bagi-bagi kekuasaan.

Ketiga, “menjerumuskan,” cukup jelas kedudukan Jokowi sebagai presiden tidak terlepas dari dukungan partai-partai yang ada, dalam hal ini, partai melalui kader yang menjadi anggota dewan merumuskan UU menyangkut Pilpres.

Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin Pemilihan Presiden akan bersifat langsung atau “one man one vote” dan tidak akan ada perubahan? Sinyal nya sudah jelas, Jokowi lebih menginginkan DPR mengamandemen GBHN, tinimbang merubah masa jabatan presiden diperpanjang.

Kadang kita sebagai elemen yang menjadi bagian dalam kehidupan bernegara tidak menyadari, bahwa Jokowi juga adalah manusia yang memiliki hak untuk menjalani hidup secara normal seperti kita. Namun kita hanya memikirkan keinginan dan maunya kita semata. Padahal kita tahu menjadi seorang pemimpin sebuah negara adalah suatu perkara yang sangat berat, belum lagi perlakuan yang harus diterima Jokowi dan keluarganya selama ini, adakah dari kita untuk sejenak meluangkan waktu untuk merasakan apa yang sudah diterima Jokowi dan keluarganya?

Yang pasti penolakan Jokowi untuk menjabat sebagai presiden kali ketiga harus kita maknai sebagai upaya meregenerasi berkenaan dengan estafeta kepemimpinan yang merupakan hak seluruh anak bangsa dalam meraihnya.

Tidak ada lagi praktik politik feodalisme yang hanya menentukan sebuah kepemimpinan harus berdasarkan pada latar belakang “darah biru,” yang ada hanyalah kemampuan, dedikasi yang tinggi, dan sikap altruistik sebagai ukurannya.

Begitulah kira-kira.

sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *