KUDETA MYANMAR: KERAJAAN BISNIS MISTERIUS DAN MENGGURITA YANG MENDANAI MILITER

Militer Myanmar yang melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu didanai oleh sebagian besar anggaran nasional. Namun, mereka juga diam-diam mendapat banyak pemasukan dari kepentingan bisnis yang tersebar di mana-mana.

Di Indoor Skydiving Centre, tempat wisata yang populer di Yangon, pengunjung dapat merasakan sensasi melompat dari pesawat dengan terowongan angin vertikal.

Tetapi tidak banyak orang yang mencoba atraksi ini menyadari bahwa ia adalah bagian dari kerajaan bisnis raksasa yang dijalankan oleh militer, bisnis yang tak terpisahkan dari kehidupan nasional.

Para pengamat berpendapat bahwa jejaring bisnis ini memungkinkan kudeta Myanmar terjadi, dan menjatuhkan akuntabilitas militer.

Para pengusaha sipil berbicara tentang lingkungan seperti “Sisilia di bawah kekuasaan Mafia”, sementara para aktivis mengatakan bahwa reformasi demokrasi hanya mungkin jika “tentara kembali ke barak”.
Dua konglomerat yang mendanai militer

Militer Myanmar – Tatmadaw – mulai terlibat dalam bisnis setelah kudeta sosialis Ne Win pada 1962.

Selama bertahun-tahun, batalion militer diharuskan untuk berdikari dan didorong untuk mengembangkan modal dalam usaha lokal untuk membiayai operasi mereka.

Meskipun praktik ini telah dihentikan secara bertahap, dua konglomerasi dijalankan oleh militer didirikan pada tahun 1990-an ketika pemerintah memulai privatisasi perusahaan-perusahaan industri milik negara.

Kedua organisasi – Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEL) – sejak itu menjadi sumber pendapatan yang penting bagi Tatmadaw, dengan saham di mana-mana mulai dari bank dan tambang hingga tembakau dan pariwisata.

MEHL juga mengelola dana pensiun militer.

Beberapa pemimpin militer dan keluarga mereka juga punya saham di banyak perusahaan, dan pernah mendapat sanksi di masa lalu.

Aung Pyae Sone – putra pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hliang – punya beberapa perusahaan, termasuk resor pantai, dan memegang saham mayoritas di operator telekom nasional Mytel.

Sejauh mana kepentingan bisnis ini sulit dipastikan. Namun para pakar mengatakan bahwa pengaruh bisnis militer tetap signifikan, kendati reformasi demokrasi baru-baru ini, dan kudeta mungkin sebagian merupakan usaha untuk melindungi kepentingan-kepentingan bisnis ini.

‘Terlindung dari akuntabilitas’

Sedikit yang kita ketahui tentang jangkauan finansial militer baru muncul ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan PBB pada 2019, dipicu oleh tindakan keras Myanmar terhadap komunitas Rohingya, menyimpulkan bahwa pendapatan bisnis memperkuat kemampuan militer untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan impunitas.

Melalui jaringan bisnis dan afiliasi milik konglomerat, PBB mengatakan Tatmadaw bisa “melindungi dirinya dari akuntabilitas dan pengawasan”.

Detail tetang struktur dan keuangan MEHL juga terungkap dalam dua laporan internal – salah satunya diserahkan oleh konglomerat itu pada Januari 2020, yang lainnya dibocorkan oleh kelompok aktivis Justice for Burma dan Amnesty International.

Pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing adalah pemilik saham mayoritas di konglomerat militer MEHL.

Mereka menunjukkan bahwa MEHL dijalankan oleh pejabat tinggi militer, termasuk beberapa pemimpin kudeta yang sedang berjalan. Sekitar sepertiga pemilik saham adalah unit militer, sementara sisanya dimiliki mantan personel dan anggota aktif Tatmadaw.

Laporan yang bocor itu mengatakan bahwa, antara 1990 dan 2011, MEHL membayar para pemilik sahamnya 108 miliar kyats dalam dividen – senilai $16,6 miliar (Rp239 triliun), menurut nilai tukar resmi saat itu.

Juga diduga bahwa militer menggunakan saham MEHL sebagai hadiah untuk kesetiaan dan hukuman untuk perilaku buruk. Satu tabel berisi daftar 35 orang yang kehilangan dividen mereka karena berbagai alasan seperti desersi dan hukuman penjara.

MEHL belum berkomentar secara publik tentang laporan yang bocor itu.

Seruan untuk sanksi

Menyusul kudeta, kelompok-kelompok advokasi telah menyerukan sanksi terhadap militer dan aksesnya pada sistem keuangan global.

Banyak aktivis juga ingin konglomerat militer dibubarkan.

Dalam pernyataan kepada BBC, Justice for Myanmar menuduh militer berada dalam “konflik kepentingan yang melanggar hukum”.

“Harta yang dicuri oleh militer dan bisnis mereka adalah milik rakyat Myanmar dan harus dikembalikan kepada mereka,” imbuhnya.

AS telah memberlakukan sanksi baru terhadap militer dan beberapa sosok pemerintahan, bersama tiga perusahaan tambang. Kanada, Selandia Baru, dan Inggris juga telah memberlakukan kebijakan mereka sendiri, namun demikian belum ada negara yang secara langsung berfokus pada konglomerat.

Para pegiat berpendapat bahwa sanksi yang lemah di masa lalu telah memungkinkan Tatmadaw untuk melakukan kudeta dan melanjutkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Namun para pakar mengatakan kepada BBC ada keinginan kuat untuk menambah sanksi – pada waktu yang tepat.

“Dunia masih menunggu untuk melihat apa yang terjadi,” kata George McLeod, direktur manajemen Access Asia, perusahan manajemen risiko yang berspesialisasi di wilayah itu. “Dari yang saya dengar dari orang dalam, Norwegia sedang mencoba untuk melakukan semacam upaya awal untuk mewujudkan solusi lewat negosiasi.”

Sementara itu, timbul kekesalan yang semakin besar di kalangan pengusaha lokal tentang kekuatan konglomerat.

“Mereka menggambarkannya dengan cara yang hampir sama dengan seorang pemilik bisnis di Sisilia berbicara tentang Mafia,” kata McLeod kepada BBC. “Anda harus berurusan dengan mereka jika Anda masuk radar mereka. Tapi Anda tidak mau.”

‘Mereka ingin jadi pemain internasional’

Tatmadaw sudah mulai merasakan tekanan dari investor di luar negeri.

Perusahaan minuman ringan Jepang Kirin mengakhiri dua kesepakatan bisnis yang menguntungkan dengan MEHL, yang telah membantunya mendominasi pasar bir di Myanmar. Pengusaha Singapura Lim Kaling juga memutus investasinya di perusahaan tembakau yang terkait dengan konglomerat.

Sementara itu, para pengunjuk rasa di Myanmar memboikot perusahaan yang terkait dengan pemerintah baru – termasuk toko perhiasan dan merek rokok.

Namun tidak semua negara menyerukan sanksi internasional. China dan Rusia menolak upaya anggota Dewan Keamanan PBB lainnya untuk mengecam Tatmadaw.

Tatmadaw mengatakan mereka siap menghadapi tekanan internasional dalam bentuk apapun.

Para ahli sepakat bahwa meskipun sanksi adalah bagian penting dari solusi, ia harus dibarengi dengan tekanan hukum dan diplomatik, serta embargo senjata.

Wakil panglima Tatmadaw, Soe Win, mengatakan kepada PBB bahwa mereka siap menghadapi tekanan internasional jika perlu.

Tanpa tindakan multilateral, Myanmar bisa kembali menjadi negara yang dikucilkan, kata Peter Kucik, mantan penasihat di Departemen Keuangan AS.

“Kelompok jenderal yang berkuasa saat ini kurang lebih adalah kelompok yang sama yang berkuasa di bawah rezim SPDC (junta militer yang memerintah Myanmar dari 1997-2011), dan mereka telah menunjukkan bahwa mereka sangat nyaman tinggal di negara yang terisolasi, “katanya kepada BBC.

Tetapi sementara negara itu dapat mengandalkan mitra dagang seperti China, para pengusaha lokal waspada dengan prospek ini, tambah Kucik.

“Mereka ingin berurusan dengan perusahaan papan atas Jepang, mereka ingin berurusan dengan perusahaan Barat, dan mereka ingin menjadi pemain di panggung internasional seperti halnya Thailand,” kata Kucik.

Apapun yang terjadi selanjutnya, kelompok advokasi mengatakan bahwa mengendalikan pendanaan militer, dan mereformasi konglomerat mereka, sangat penting untuk reformasi demokrasi.

“Itulah yang diinginkan orang-orang Burma,” kata Anna Roberts, direktur Burma Campaign UK. “Mereka ingin militer kembali ke barak, dan mereka menginginkan ekonomi sipil dan pemerintah federal sipil yang menghormati keinginan mereka.”
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *