OTT OPERASI TANGKAP TIDUR DAN BUJUKAN KPK YANG MENIPU?

Alifurrahman – Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah ditangkap KPK saat tengah tidur di rumahnya. KPK datang tengah malam, pukul 02:00 dinihari, membangunkan Nurdin Abdullah dan langsung membawanya ke Jakarta. Keterangan ini disampaikan oleh juru bicara Gubernur, Veronica. Dan Nurdin Abdullah sendiri setibanya di KPK juga sempat menyampaikan bahwa dirinya ditangkap saat tidur di rumahnya. Tidak ada barang bukti atau barang sitaan yang didapat KPK dari rumah Nurdin Abdullah.

Alasan KPK mengajak Nurdin Abdullah ke Jakarta agar dapat memberikan kesaksian. Menjadi saksi atas perbuatan anak buahnya, Sekretaris Dinas PUTR, Edy Rahmat, yang ditangkap karena diduga menerima uang suap dari Agung Sucipto, Dirut PT Agung Perdana Bulukumba.

Maka menjadi aneh kalau dalam kesempatan berbeda, setelah sampai di Jakarta, KPK malah mengklaim telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Gubernur Sulsel. Karena definisi tangkap tangan adalah menangkap seseorang yang sedang bertransaksi atau melakukan tindak pidana korupsi. Sementara Nurdin Abdullah tidur di rumahnya, dibawa ke Jakarta dengan ‘bujukan’ menjadi saksi. Tapi malah diberitakan terjaring OTT.

Ini jelas ada yang salah dengan KPK. Ataukah OTT sudah berubah definisi menjadi Operasi Tangkap Tidur?

Dari kronologi penangkapan yang disampaikan oleh KPK, jelas tidak memenuhi unsur atau syarat OTT. Karena penangkapan dilakukan di 3 tempat berbeda, dan semuanya ditangkap saat tidak sedang bertransaksi.

Agung Sucipto ditangkap di perjalanan menuju rumahnya pada pukul 23:00. Edy Rahmat ditangkap di rumah dinasnya pada pukul 00:00. Lalu Nurdin Abdullah juga ditangkap di rumah dinasnya pukul 02:00.

Satu-satunya barang bukti dan barang sitaan KPK didadat di rumah Edy Rahmat. Uang sebesar 2 miliar rupiah.

Lalu apa landasan KPK mengklaim bahwa mereka telah melakukan OTT? Berdasarkan cerita. Karena ceritanya, kata KPK, Agus Sucipto bertemu dengan Edy Rahmat di sebuah restoran. Lalu keduanya pulang dan dalam perjalanan mereka bertukar koper.

Tapi itu hanya cerita. Penangkapan terhadap Agus Sucipto dan Edy Rahmat dilakukan di dua tempat berbeda. Jika merujuk pada definisi OTT yang biasa dilakukan oleh KPK jaman Antasari atau Abraham Samad, mestinya KPK menangkap Edy Rahmat dan Agus Sucipto di restoran. Lalu ditemukan sejumlah uang di mobil mereka. Nah itu baru OTT.

Tapi dalam kasus ini cuma cerita. Uang yang disita berada di rumah dinas Edy Rahmat. Sementara Nurdin Abdullah yang tidak ikut bertemu, sedang istirahat di rumahnya, juga ditangkap dan diklaim OTT. Ini apa-apaan?

Bagi saya proses OTT ini tidak biasa, atau katakanlah janggal. Masalahnya, kejanggalan ini bukan yang pertama kalinya.

Januari 2020 lalu, juga pernah ada kasus KPU Wahyu Setiawan yang juga diklaim sebagai OTT. Padahal, penangkapan dilakukan di 3 tempat berbeda juga. Mirip dengan kasus Gubernur Sulsel ini, tidak ada transaksi, tapi diklaim OTT.

Wahyu Setiawan ditangkap di Bandara Soekarno Hatta. Lalu Agustiani Tio Feidelina ditangkap di rumah pribadinya, Depok, dan KPK mengamankan uang sebesar 400 juta rupiah dalam pecahan dollar Singapura. Dan Saeful ditangkap di Jalan Sabang Jakarta.

Kejanggalannya bukan sekedar klaim soal OTT yang padahal OTW, tapi juga karena kasusnya tentang PAW atau Pergantian Antar Waktu. Jadi Saeful diklaim membayar Wahyu selaku KPU dan Agustiani sebagai Bawaslu, untuk memuluskan permohonan PAW dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Kenapa janggal? Karena PAW ini pernah dilakukan oleh semua partai. Semua partai. Paling sering melakukan PAW adalah Hanura. Menjadi pertanyaan kenapa yang dipermasalahkan hanya dari PDIP?

Lebih dari itu, KPK sempat memaksa untuk menggeledah kantor DPP PDIP tanpa surat. Hanya berdasarkan alasan atau asumsi bahwa kasus suap ini merupakan instruksi Hasto Kristianto. Padahal tidak ada bukti yang mengarah ke sana.

Posisi Nurdin Abdullah menurut saya sama seperti Hasto Kristianto. Dia tidak terlibat dalam transaksi dan komunikasi. Tapi karena kasus ini menyangkut anak buahnya, maka Nurdin diseret-seret.

Nampaknya KPK sudah belajar cara menyeret orang dengan sopan dan ramah. Ketika ingin menyeret Hasto, gagal mereka laksnakan karena dilakukan siang hari. Orang-orang dalam kondisi sadar sepenuhnya. Sadar prosedur dan logis dalam bertindak.

Makanya sekarang diatur pada waktu dinihari, saat orang terlelap tidur dan saat dibangunkan belum terlalu sadar. Kemudian dibujuk ke Jakarta karena alasan menjadi saksi, tapi setelah itu KPK mengklaim telah melakukan OTT di hadapan KPK, sehingga status Nurdin Abdullah lebih mudah dijadikan tersangka.

Secara politik ini menarik karena beberapa hari sebelumnya PDIP menjadi satu-satunya partai politik yang secara survei justru meningkat hasil suaranya dari Pemilu 2019, yakni 19.7 persen. Sementara partai-partai lain turun drastis seperti Demokrat hanya 4 persen, Nasdem 1,4 persen, Golkar 3,4 persen.

Dan sehari sebelum OTT Operasi Tangkap Tidur terhadap Nurdin Abdullah (kader PDIP), JK mendadak bicara soal buzzer. Padahal tidak ada isu pemantiknya. Secara kebetulan Wakil Gubernur Sulsel adalah Andi Sudirman Sulaeman, yang merupakan adik mantan Menteri Pertanian Amran Sulaeman, yang selama ini dikenal sangat dekat dengan JK. Yang artinya, kalau Gubernur ditangkap KPK, maka otomatis Wakil akan menggantikannya.

Tulisan ini tidak dibuat untuk membela Nurdin Abdullah yang luar biasa itu. Sukses dari Bantaeng hingga Sulsel. Karena sehebat-hebatnya pejabat, sekali korupsi ya tetap saja harus diproses. Saya hanya melihat ada sesuatu yang janggal dan tidak biasa. Mana bisa diajak jadi saksi dan memberi kesaksian, tapi kemudian statusnya naik menjadi OTT dan langsung dijadikan tersangka. Begitulah kura-kura.
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *