NASIB PARA PENGUNGSI INTAN JAYA PAPUA

Nasib para pengungsi Intan Jaya, Papua: ‘Menangis di hadapan Tuhan agar kedamaian bisa terwujud’

Jumlah warga yang mengungsi di sebuah gereja Katolik di Bilogai, Intan Jaya, dan beberapa kabupaten tetangga di Papua dilaporkan meningkat di tengah eskalasi konflik antara pasukan TNI dan kelompok bersenjata.

Pada pekan pertama Februari, sekitar 600 orang dilaporkan sudah mengungsi ke gereja Katolik itu setelah seorang warga sipil diserang oleh kelompok bersenjata.

Alih-alih berkurang, jumlah pengungsi dikabarkan justru bertambah setelah seorang anggota TNI bernama Prada Ginanjar Arianda dibunuh kelompok bersenjata pada Senin (15/02).

Peristiwa itu kemudian berujung pada ditembaknya tiga orang. Penduduk menyebut ketiga individu tersebut warga sipil, TNI menuding mereka sebagai bagian dari kelompok bersenjata.

TNI/Polri meminta warga tak khawatir dengan rentetan peristiwa ini, seraya menegaskan bahwa pasukan mereka selalu berpatroli untuk melindungi masyarakat.

Bagaimanapun, bagi para warga setempat, yang mayoritas umat Katolik, masa Pra-Paskah kali ini terbilang “suram”.

Masa Pra-Paskah yang ‘suram’

Pastor Benyamin Sugiyatanggu Magay, yang memimpin Paroki St Antonius Padua, Bumiwonorejo, Nabire, menceritakan saat dia menemui jemaat dari Intan Jaya yang mengungsi ke Kabupaten Nabire, karena eskalasi konflik di tempat asal mereka.

Pertengahan Februari adalah awal mula masa Pra-Paskah, masa ketika para umat Katolik menjalankan sejumlah ritual, seperti berpuasa dan pantang melakukan kebiasaan buruk.

Puncaknya adalah perayaan Paskah pada awal April mendatang.

Pada hari ritual yang disebut ‘Rabu Abu’ pekan lalu (17/02), Pastor Benyamin melihat wajah umat dari Intan Jaya, yang disebutnya “suram”.

“Di Paroki saya, jujur banyak wajah baru. Cara pembawaannya macam suram-suram. Mereka rindu merayakan di paroki mereka, tapi mereka merasa semacam ada yang kurang.”

Ia pun melihat seorang ibu yang menangis.

“Ada mama-mama yang sempat nangis. [Dia katakan] kami rayakan ibadah di sini, tapi kami tinggalkan paroki kami, tinggalkan pastor [di Intan Jaya].

“Saya bilang, ‘Mama, ini situasi, tetapi lebih baik Mama menangis di hadapan Tuhan agar kedamaian bisa terwujud’. Masa-masa Pra-Paskah ini bagi orang Papua, khususnya Intan Jaya, benar-benar menantang mereka,” kata Benyamin.

Ia mencatat setidaknya 50 keluarga dari Intan Jaya sudah mengamankan diri ke Nabire.

Saat ini kebanyakan dari mereka, yang mengevakuasi diri ke Nabire, tinggal dengan sanak saudara. Meski begitu, menurut Pastor Benyamin, mereka sangat membutuhkan bantuan berupa makanan, minuman, juga obat-obatan.

Sebuah posko pengungsian sudah didirikan di paroki itu. Seorang warga Mamba, Intan Jaya, Mepa, termasuk yang bertolak ke Nabire setelah mencari perlindungan ke Pastoran Gereja Katolik Santo Misael Bilogai di Intan Jaya.

Mepa mengatakan ia mengungsi sejak kondisi keamanan memanas Senin (15/02) lalu.

Tiga orang, yang oleh warga disebut penduduk sipil, ditembak mati aparat keamanan di sebuah fasilitas kesehatan.

Namun, menurut TNI, mereka bukan warga sipil, melainkan bagian dari kelompok bersenjata yang menyerang aparat keamanan.

TNI mengatakan peristiwa itu terjadi saat pasukan mengejar kelompok bersenjata yang menembak anggotanya, Prada Ginanjar Arianda, hingga tewas.

Mepa menceritakan saat-saat menegangkan aparat keamanan mencari pasukan bersenjata, yang disebutnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di daerahnya.

“Saat itu, mereka TPN OPM sudah lari. Kami masyarakat yang [jadi] korban dalam keadaan itu. Maka saat itu pastor/paroki, dengan pemerintah, mereka arahkan kami ke pastoran,” ujar Mepa pada wartawan Yamoye Abeth yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

‘Masyarakat terlalu takut’

Lebih dari 600 orang dilaporkan masih menjadi pengungsi di Gereja Katolik St Misael Bilogai, Intan Jaya.

Salah satunya, pengungsi yang hanya mau diidentifikasi dengan nama Aita.

Ia menceritakan kondisi pengungsi yang disebutnya masih ketakutan karena penembakan itu.

“Tiga orang ditembak mati dan dikubur dekat pastoran. Masyarakat terlalu takut, tercekam, sakit hatinya. Mereka sangat sedih, sakit hati. Mereka ketakutan karena di sekitar jalan ini dipakai pasukan bertambah terus,” ujarnya pada wartawan setempat, Yamoye Abeth, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dia mengatakan tak ada ibadah Pra-Paskah yang dilakukan warga Katolik di sana karena kondisi psikologis mereka yang belum tenang.

Saat ini, tambahnya, pengungsi sangat membutuhkan makanan, minuman, juga kebutuhan dasar lainnya.

Polisi minta tak khawatir

Meski begitu, Kapolda Papua, Paulus Waterpau, membantah bahwa keamanan warga terancam dan meminta mereka untuk tak khawatir tinggal di kediaman masing-masing.

“Sebenarnya tidak usah khawatir masyarakat itu, karena jangan sampai dijebak oleh pihak yang sekarang menakut-nakutin masyarakat dengan isu-isu. Aparat kami ada di sana dan melakukan patroli,” ujarnya.

Kapolda juga mengklaim ada pihak-pihak yang memutarbalikan fakta terkait tiga orang yang ditembak pasukan keamanan.

Mereka yang ditembak itu, lanjut Paulus Waterpau, bukan warga sipil, tapi anggota kelompok bersenjata.

Ia menambahkan kelompok yang disebutnya kriminal bersenjata itu tumbuh subur di Intan Jaya, salah satunya karena pemerintahan daerah yang tak aktif di sana.

Pemerintah Intan Jaya memang sering berkantor di Nabire dengan alasan sering diganggu kelompok bersenjata.

Menurut Paulus Waterpau, jika pemerintah daerah bisa lebih aktif berkomunikasi dengan warga, mereka bisa mencari solusi bersama-sama agar tidak lagi terjadi kekerasan di wilayah itu. 

“Step by step. Tentu kalau kami TNI/Polri selalu melakukan pendekatan dengan mencoba membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh, tapi ketika kami hadir dan dilakukan kekerasan dari mereka [kelompok bersenjata]… pasti kami tindak.

“Kan anggota kami banyak jadi korban, anggota kami lengah sedikit langsung dihantam,” ujar Kapolda.

‘Dua pihak harus menahan diri’

Peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan saat ini kedua pihak—baik TNI/Polri maupun kelompok bersenjata—perlu bersama-sama menahan diri demi keselamatan warga sipil, apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Dia juga meminta aparat keamanan untuk melakukan pendekatan non-kekerasan, yakni dengan dialog.

“Banyak korban berjatuhan, baik di kalangan TNI, sipil, dan TPN OPM. Hendaknya pemerintah melihatnya Papua ke dimensi manusianya, aspek kemanusiaannya. Kalau semakin banyak korban, makin krisis kemanusiaan tidak selesai.

“Pemerintah seharusnya tidak melihat dari aspek keamanan tradisional tapi dari keamanan warga sipil,” kata Cahyo.

Berdasarkan data Polda Papua, selama tahun 2020, kelompok bersenjata melakukan sedikitnya 49 aksi teror di tujuh kabupaten – terbanyak di Intan Jaya sebanyak 23 kali.

Dari aksi tersebut, total 17 orang tewas – 12 orang warga sipil, empat anggota TNI, dan satu polisi.

Pemakaman Pratu Anumerta Ginanjar Arianda di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (17/02). Ia tewas dalam kontak tembak dengan kelompok bersenjata di Intan Jaya, Papua, (15/02).

Kembali ke Nabire, Pastor Benyamin Sugiyatanggu Magay berharap masa Pra-Paskah ini membawa kedamaian bagi para warga Papua, khususnya warga Intan Jaya yang kini mengungsi.

“Semoga Pra-Paskah bisa mendatangkan keselamatan, kedamaian, secara iman, moril, psikologis,” pungkasnya.
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *