SEBENARNYA, TIM ‘BUZZER JOKOWI’ INI TAK DISUKAI KAWAN DAN LAWAN

Alifurrahman – Saya cukup lama melihat perdebatan atau sahut-sahutan soal tuntutan penertiban buzzer. Ada juga yang bilang buzzeRp. Belakangan ini yang ikut berkomentar adalah orang-orang elit yang pintar dan punya kuasa. Sebut saja Dewan Pers, YLBHI, Susi Pudjiastuti, Kwik Kian Gie, PP Muhammadiyah sampai Sujiwo Tedjo.

Saya sudah ga kaget kalau Dewan Pers bicara buzzer. Apalagi YLBHI yang perwakilannya mirip dora explorer itu. Tapi ketika Sujiwo Tedjo yang biasanya sangat bijak dalam berkomentar meminta buzzer ditertibkan, saya agak kaget. Karena setahu saya, seniman satu ini biasanya cukup bijak dalam bersikap.

Tapi ya sudah, mungkin dia hanya ikut larut dalam euforia orang-orang tua yang sedang merengek karena kalah pengaruh di sosial media. Orang-orang tua yang dulu punya panggung megah, petuahnya selalu didengar dan dibenarkan dengan tepuk tangan, tapi kini harus menghadapi komentar-komentar bantahan telak dan menyakitkan.

Dulu media mainstream adalah dewa. Berita yang mereka tulis hampir selalu bisa diterima sebagai kebenaran, mendekati kitab suci. Tak bisa dibantah atau dikritisi.

Sehingga kalau 2019 lalu tak ada sosial media, mungkin kita akan percaya saja bahwa seorang Ratna Sarumpaet dipukuli sampai babak belur oleh pendukung Jokowi. Ya gimana? Media memberitakan itu. Fadli Zon, Fahri Hamzah dan kadal-kadalnya sudah berorasi sambil termehek-mehek.

Untungnya ada sosial media. Bantahan demi bantahan dilayangkan. Dari orang-orang yang hari ini disebut buzzer itulah, sejarah hitam soal demokrasi berhasil diluruskan.

Pertanyaannya, di mana Dewan Pers saat itu? apa yang mereka lakukan? Di mana YLBHI, Susi, Kwik dan PP Muhammadiyah? Malah ketua PP Muhammadiyah Dahnil Azhar ikut menyebarkan propaganda Ratna!

Dalam catatan saya, ada beberapa faktor dan masalah yang dialami oleh orang-orang yang sedang protes itu.

Pertama, secara bisnis, iklan di media memang mulai berkurang. Banyak perusahaan beralih ke blogger atau influencer. Ada juga yang mengerahkan buzzer untuk memaksa sebuah hastag menjadi trending di twitter.

Kedua, soal pengaruh. Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah, YLBHI atau orang-orang dengan sederet gelar, hari ini kalah kuat dibanding orang-orang jelata yang ada di sosial media. Yang tak pernah memasang gelar di depan atau belakang namanya.

Ketiga, mereka ingin menyerang Jokowi. Tapi ga punya bahan atau materi. Nyerang politik dinasti, eh Gibran dan Bobby malah menang. Mau bilang Presiden kafir, kok wakilnya ulama.

Dari tiga masalah ini, sebenarnya tidak masuk akal kalau solusinya adalah meminta buzzer ditertibkan. Soal iklan, mestinya media mainstream itu ikut sadar bahwa mereka kerap mengutip berita dari komentar di sosial media. Tanpa ijin pula.

Kalau soal bayaran kepada influencer, orang jelata yang bukan wartawan dan bukan jurnalis, bukankah para wartawan sudah jauh lebih dulu menerima amplop? Bukankah wartawan dari semua media terima amplop? Jadi kalau sekarang ada orang lain yang diberi amplop untuk sebuah postingan, kenapa malah dianggap hina?

Lagipula, Dewan Pers ngapain protes soal buzzer? Bukankah urusannya adalah media dan pers? Kenapa kalian ga urusi dan hukum, wartawan yang memberitakan ada perempuan hamil karena angin? Bukankah itu sebuah pertunjukan kebodohan?

Kalau soal kalah pengaruh, lalu mempermasalahkan komentar netizen yang tidak punya gelar akademik, bukankah ini adalah tanda betapa kalian orang-orang pintar itu hanya punya gelar? Tapi tak punya mental dan logika.

Tapi sebenarnya itu tak masalah. Serangan dan protes dari luar lingkaran pendukung Jokowi itu hal yang wajar.

Dulu kita bisa melihat betapa hastag 2019GantiPresiden bisa bertahan lama di twitter. Tentu saja itu sebuah kekuatan buzzer luar biasa yang dimiliki PKS dan MCA. Bahwa kemudian Prabowo kalah, ga jadi ganti Presiden, ya itu karena mereka hanya punya buzzer tapi ga punya influencer.

Apa bedanya? Influencer itu selalu muncul dengan pemaparan logis dan susah dibantah. Sementara buzzer hanya robot berbentuk manusia yang selalu mengikuti perintah majikannya.

Menjadi masalah karena saya mulai melihat ada unsur pembatasan atau penyekatan.

Jika teman-teman ingat, istilah Kakak Pembina itu pertama kali muncul di facebook Seword. Foto mengenakan jaket kampanye saat nonton debat itu kemudian saya jadikan puncak selebrasi kemenangan pasangan Jokowi Amin.

Lawan tak berkutik. Hanya bisa menangis pilu melihat betapa luar biasanya tim komunikasi yang dimiliki oleh Presiden Jokowi waktu itu.

Kalian tahu siapa yang pertama kali mempermasalahkan dan meminta foto tersebut dihapus? relawan Jokowi. Karena mereka merasa kalah pengaruh dan tenggelam, seolah perjuangan relawan sosmed yang lain tidak ada apa-apanya dibanding tim Kakak Pembina.

Waktu itu tak ada satupun media atau oposisi yang mempermasalahkan. Hanya relawan Jokowi yang satu persatu meminta atau mengancam saya agar menghapus postingan tersebut.

Foto para pendukung dengan Presiden Jokowi, yang belakangan ini ramai diberitakan media itu juga sama. Mulai ada nada-nada pembusukan dari beberapa relawan Jokowi, yang ingin mengatakan bahwa kami ini bermasalah dan tidak layak berfoto dengan Presiden.

Padahal kalau mau jujur, kami ini hanya foto. Foto tok habis itu pulang. Kami bukan orang yang pandai negosiasi. Bukan orang yang pintar membangga-banggakan diri sendiri. Mungkin itulah alasan kenapa semua orang di foto tersebut tidak ada yang jadi komisaris.

Kami sadar kami ini jelata, dan sudah terlalu istimewa kalau Presiden mau menjabat tangan kami di Istana. Sudah lebih dari cukup.

Meski di sisi lain kami menyadari, bahwa pengaruh dan daya gedor orang-orang dalam foto tersebut, yang tak terkoordinir dan bahkan ga punya grup WA itu nampaknya sampai hari ini masih cukup solid dan seirama. Dan rupanya itu membuat khawatir beberapa pihak.

Sesekali kami harus tertawa ngakak melihat istana menyewa influencer artis yang ga punya otak, cuma copas dan posting soal omnibuslaw. Hasilnya? artisnya minta maaf karena tak mampu menjawab netizen. Padahal bayarannya mahal banget.

Kalau oposisi yang menyerang, jujur itu seperti gatal. Sekali garuk hilang. Tapi kalau relawan Jokowi juga ikut menyerang kami, saya mulai berpikir lebih dalam. Sebab kami tidak menuntut jabatan atau proyekan. Lalu apa yang dikhawatirkan? Itu yang masih menjadi pertanyaan saya sampai sekarang. Begitulah kura-kura.
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *