Kepahlawanan ataupun ketokohan dalam masyarakat Karo sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Cerita rakyat Pawang Ternalem misalnya salah satu contoh karya seni rakyat Karo yang memiliki nilai-nilai keteladanan . Cerita itu tentu dapat memberi inspirasi rasa kepahlawanan bagi yang menghayatinya.
Dalam sejarah sebelum kolonial Belanda kita mengenal Guru Patimpus tokoh pendiri kota Medan yang bermarga Sembiring Pelawi yang menikah dengan beru Tarigan. (Sejarah Medan, Sejarah Multi Kebudayaan, Kompas 02/07/01). Hidup sekitar akhir abad XV hingga pertengahan abad XVI. Ia membuka kampung Medan di antara sungai Babura dan sungai Deli. Dikenal sebagai seorang tabib (guru dalam bahasa Karo = dukun) yang terkenal ketika itu. Sehingga banyak yang berobat kepadanya dan kampung Medan makin ramai. Hingga kini nama Guru Patimpus diabadikan menjadi nama salah satu jalan utama di kota Medan. Selain Guru Patimpus, ayahnya sendiri Tuan Si Raja Hita adalah peminpin Karo ketika itu yang tinggal di kampung Pekan (Pakan). Di Sunggal pernah dipinpin oleh Datuk Itam Surbakti yang menjadi raja Sunggal, tokoh yang hidup sekitar abat XVI.
Belanda masuk ke daerah Deli pertama kali pada tahun 1641 dengan kapal pinpinan Arrent Patter, yang selanjutnya membuka perkebunan tembakau. Orang Karo yang banyak mendiami wilayah ini merasa terpinggirkan oleh konsesi perkebunan sehingga sering memberontak dan membakar bangsal-bangsal gudang tembakau. Mereka tidak mau bekerja sama dengan Belanda sehingga dicap pemalas oleh para kolonial. Perang ini dinamakan oleh belanda sebagai Batak Oorlog (perang Batak) yang mengacu kepada orang Karo. Sementara masyarakat Karo menamai perang ini sebagai perang Sunggal, merupakan perang yang paling lama di daerah Sumatera. Akhirnya, tahun 1863 kapal Josephine membawa pekerja dari pulau Jawa untuk dipekerjakan di perkebunan itu, karena orang Karo sulit dipaksa bekerja.
Setelah membuka perkebunan antara sungai Ular dan sungai Wampu, yang ketika itu masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur, Belanda ingin melakukan ekspansi ke Tanah Karo tahun 1870, sebab daerah ini juga memiliki tanah yang subur. Tetapi usaha tersebut selau mendapat rintangan dari tokoh masyarakat Karo ketika itu diantaranya Kiras Bangun yang dikenal dengan Garamata. (Makalah Prof. DR Masri Singarimbun, Seminar di Kampus USU 30 Mei 1993). Perjuangan Garamata (si mata merah) selalu menolak usaha Belanda untuk membuka perkebunan di Tanah Karo).
Tahun 1890 Netherland Zendeling Genooschap (NZG) dari Belanda melakukan penginjilan bagi orang Karo yang diawali di desa Buluh Awar, Sibolangit. Menurut pendapat beberapa pandangan bahwa hal ini dilakukan Belanda adalah strategi untuk memperlunak sikap orang Karo dan kemudian dapat melaksanakan rencananya membuka perkebunan. Sekalipun pendapat lain mengatakan bahwa penginjilan terhadap orang Karo murni untuk misi penginjilan. Dimana pada akhirnya misi ini melahirkan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).
Pada perkembangannya, berbagai usaha yang telah ditempuh kolonial tetap ditolak oleh Garamata. Tahun 1902 Belanda mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu ke Tanah Karo. Pasukan ini dihadang pasukan Garamata yang bernama pasukan Simbisa/Urung yang jumlahnya ribuan orang pria dan wanita. Pertempuran terjadi sebanyak enam kali. Beberapa daerah yang ikut melakukan perlawanan terhadal kolonial yaitu: Seberaya, Kabanjahe, Batukarang, Lingga Julu, Kandibata, Singgamanik dan Kuta Rih. Pada akhirnya Garamata ditangkap dan diasingkan selama empat tahun di perladangan Riung.
Tetapi usaha pembukaan perkebunan di Tanah Karo tidak pernah terealisasi. Yang terjadi kemudian adalah mengirim Tuan Botje tenaga penyuluh pertanian melalui NZG ke dataran tinggi Karo pada bulan September 1910. Dimana dampaknya hingga kini Tanah Karo dikenal sebagai salah satu sentra produksi pertanian holticultura.
Pada masa perang kemerdekaan cukup banyak pejuang-pejuang Karo yang tercatat dalam sejarah. Dalan catatan sejarah Drs Teridah Bangun, pada agresi Belanda I tahun 1947 banyak kuta (kampung) yag dibumi-hanguskan supaya tidak dapat dipergunakan oleh penjajah. Terdapat 53 kuta yang dibumihanguskan di Tanah Karo, yakni: 1. Jumaraja (Cintarayat); 2. Keling; 3. Payung; 4. Berastepu; 5. Batukarang; 6. Sarinembah; 7. Perbesi; 8. Kuala; 9. Kutabangun; 10. Pergendangen; 11. Keriahen; 12. Singgamanik; 13. Kinepen; 14. Munthe; 15. Suka; 16. Rumah Kabanjahe; 17. Kota Kabanjahe; 18. Berastagi; 19. Kacaribu; 20. Kandibata; 21. Lau Baleng; 22. Susuk; 23. Tiganderket. 24. Kuta Buluh; 25. Tanjung; 26. Gurukinayan; 27. Selandi 28. Kidupen; 29. Gunungmanukpa; 30. Toraja; 31. Silakkar; 32. Rajatengah; 33. Tigabinanga; 34. Ajinembah; 35. Tiga Panah; 36. Barus Jahe; 37. Tigajumpa; 38. Merek; 39. Tengging; 40. Garingging; 41. Ergaji; 42. Barung Kersap; 43. Tanjung Beringin; 44. Naman; 45. Sukadebi; 46. Kutatengah; 47. Sigarang-garang; 48. Ndeskati; 49. Gamber; 50. Gruhguh; 51. Sukajulu; 52. Kuta Lepar; dan 53. Mbang Sibabi.
Kemudian rakyat mengungsi ke Tanah Pakpak Dairi dan Tanah Alas di Aceh. Setelah perjanjian Renville Januari 1948 mereka kembali ke kampungnya masing-masing. Di alam kemerdekaan juga terdapat beberapa tokoh orang Karo yang berkiprah secara nasional dan lokal. Mereka diantaranya misalnya:
Letjen Djamin Ginting, ia muncul sebagai tokoh pejuang kemerdekaan setelah terjadi pemberontak di daerah Sumatera. Setelah Pemberontakan ditumpas, Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang meliputi wilayah seluruh Sumatera tahun 1957-1958. Kemudian diangkat menjadi duta besar untuk Kanada tahun 1972-1975. Dan beliau wafat dalam masa tugasnya. Kini nama Letjen Djamin Ginting telah diabadikan menjadi nama jalan di Medan, mulai dari Padang Bulan, Medan hingga Kabanjahe, serta dari Binjai hingga Namo Ukur, kabupaten Langkat. (Bisa jadi nama jalan yang paling panjang di Sumatera Utara). Selain itu, monument Letjen Djamin Ginting telah dibuat dengan megah di Kodam Bukit Barisan. Semasa hidupnya,Djamin Ginting sangat memberi pengaruh bagi eksistensi masyarakat Karo.
Djaga Depari, seniman Karo yang telah telah menciptakan banyak karya musik seperti Piso Surit, Terang Bulan dan juga lagu perjuangan Erkata Bedil. Kini monumen Djaga Depari telah diabadikan di daerah Padang Bulan Medan.
Ulung Sitepu, ia merupakan satu-satunya putra Karo yang pernah menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara hingga saat ini. Latar belakangnya adalah militer dan ia mejabat gubernur sejak 1963-1965. Ketika terjadi pemberontakan PKI pada September 1965 ia dituduh terlibat karena sebagian pendukungnya untuk menjadi gubernur berasal dari Partai Komunis. Ia digantikan sebelum masa jabatannya berakhir, namun belum dibuktikan apakah ia seorang partisan atau tidak. Sejak itu, praktis Orde Baru yang berkuasa, dan sangat sedikit takoh orang Karo yang muncul kepermukaan. Apalagi ketika itu daerah Karo merupakan basis dari PNI partai pinpinan Bung Karno.
Selain nama di atas ada beberapa nama yang layak dipandang sebagai tokoh kalaupun bukan pahlawan, seperti Brigjen Selamat Ginting pejuang pada saat agresi militer I dan II Belanda. Selain itu Kolonel Nelang Sembiring, pejuang Karo dan tokoh pendiri SMAN Kabanjahe, SMAN Pancurbatu, SMAN Tebing Tinggi, SMAN Binjai, salah satu pendiri Universitas Nommensen dan pemrakarsa berdirinya Universita Sumatera Utara. Serta tokoh-tokoh lain yang masih perlu kita digali.
sumber : http://www.karoweb.or.id