CERPEN: LAPORAN DARI PERSIDANGAN BAJINGAN SAIMAN

Oleh: Hujan Tarigan

SIDANG dibuka kembali. Saiman, sang terdakwa terduduk lesu di kursi yang penuh hujaman hujatan mata hadirin dan tentunya keluarga korban. Semua tertuju pada setiap gerak laku Saiman yang masih menimbulkan banyak tanda tanya dari para tetangga. Bagaimana mungkin lelaki paruh baya yang baik itu tega melakukannya…

Palu diketok-ketok Pak Hakim. Semata-mata biar peradilannya kelihatan serius saja. Sebab sejak tadi ruangan sidang memang senyap dan hening dari suara-suara gaduh. Sinar blitz terus memancar dari kamera-kamera buatan impor yang dipakai para hadirin untuk mengambil gambarnya. Tentu Saiman tidak suka hal itu. Peradilan sama sekali tidak berpihak padanya, pada nasibnya.

“Saudara Saiman bin Samiun, warga penduduk jalan sehati nomer enambelas. Apakah anda keberatan dengan tuduhan yang telah diberikan kepada anda?” tanya Hakim. Kacamatanya menggantung di batang hidung. Saiman menggeleng. Hadirin masih diam. Begitu pula dengan keluarga korban. Wajah mereka mendadak cerah, karena ternyata Saiman tidak menunjukkan keberatan dengan tuduhan yang telah dibacakan oleh jaksa penuntut umum mengenai tindakan yang telah dilakukan Saiman kepada Basri, tetangganya.

“Saudara Saiman, apakah itu artinya, saudara mengakui semua kesalahan yang telah saudara perbuat?” Hakim meneruskan pertanyaannya. Kacamatanya masih menggantung di ujung hidung. Benar-benar seorang hakim yang mirip di cerita-cerita sinetron.

Para hadirin gelisah, menantikan reaksi Saiman selanjutnya. Suara kipas angin di langit-langit ruangan menyentuh panas telinga Saiman. Dia masih diam. Lelaki berperawakan kurus kecil itu menundukkan wajah ke lantai. Tulang-tulang rusuknya menonjol dari balik kemeja tipisnya. Buruh serabutan itu sedang mengumpulkan tenaga dalam.

Sementara itu, di luar gedung pengadilan semua orang sudah tak sabar menantikan keputusan hakim. Suara-suara mulai gaduh terdengar ke dalam ruangan, ketika Saiman masih diam.

“Saudara Saiman, Apakah saudara tidak memerlukan pembelaan untuk yang terakhir kalinya?” kata hakim lagi.

Akhirnya salah seorang hadirin menyoraki hakim “Huu….”

Suara hadirin lainnya ikut memburu hakim.

“Tenang saudara-saudara sekalian,” kata hakim. Saiman menarik nafasnya lebih dalam. Kepalanya masih terus digeleng-gelengkan. Meja diketok palu kembali.

Di antara para hadirin terlihat Ponirah, istri Saiman. Wajah perempuan yang sehari-harinya menjadi tukang cuci itu terlihat kuyu mendampingi suaminya. Kancing bajunya setengah terbuka. Sehingga terlihat lelehan keringat mulai menuruni belahan dadanya.

Si Bondan anak sulung mereka yang sudah berusia 19 tahun dan adiknya Rustinah berusia 9 tahun tidak terlihat hadir di ruangan itu. Ponirah memang tidak mengijinkan kedua anaknya untuk datang ke pengadilan. Karena takut anak-anaknya tumbuh dalam kenangan gelap akan bapaknya.

“Saiman…” kata pembela.

Saiman mencoba mengangkat kepala. Perlahan-lahan dia fokuskan matanya ke arah hakim. Setelah benar-benar dapat dilihatnya kacamata hakim yang setengah menggantung di ujung hidung itu, Saiman mulai tersenyum, tawanya tertahan. Saiman mengedarkan tatapan matanya ke seluruh ruangan. Kepada Ponirah, perempuan yang telah hidup bersamanya selama 20 tahun. Dan terakhir tatapan itu ditujukan kepada Basri, tetangganya, sekaligus korban dalam kasus ini.

“Saiman,” bisik pembela. Saiman menggelengkan kepala. Lalu tiba-tiba dengan suara yang cerah dia mulai bicara,

“Saya tak butuh pembelaan,” katanya membelah kesunyian. Basri tercengang. Hadirin mulai gaduh. Pak hakim mengetuk kembali palunya.

“Tenang, tenang saudara-saudara,”

“Yah, saya tak butuh pembelaan Pak hakim, dan saya sedang tidak melakukan pembelaan sekarang,” katanya, suaranya mengeras. Ponirah menatap suaminya. Suara meja diketuk palu terdengar untuk kesekian kalinya. Ruangan sepi. Saiman meneruskan kata-katanya.

“Benar Pak hakim saya telah melakukan itu semua, benar Pak jaksa penuntut bahwa saya telah melakukan kesalahan yang telah Bapak katakan tadi. Benarlah bahwa malam itu, saya memang telah datang ke rumah Basri…” ingatan Saiman mengembang dan kembali pada saat peristiwa yang terjadi malam itu. Nafasnya memberat.

***

Malam itu Saiman memang telah menemui Basri di rumahnya. Kedua buruh serabutan itu mulai ngalor-ngidul di ruang tamu milik Basri yang sempit. Hanya sebuah televisi yang ada di ruang itu. Maka kedua buruh yang sedang dapat kontrak dari proyek pemerintah itu saling menceritakan kesusahannya. Saiman mulai mengeluhkan Bondan, putra sulungnya yang ngebet kepingin telepon genggam.

Saiman tentu saja tak bisa memenuhi permintaannya.

“Saya cuma buruh harian yang dibayar kecil Pak hakim, saya bukan pegawai negeri, yang walaupun tidak kerja tapi tetap dapat beras. Biar beras bau, yang penting beras,” kata Saiman memelas.

Para hadirin tertawa. Pak hakim juga.

Malam itu, setelah Saiman membakar batang rokok kreteknya yang ketiga, dia memperhatikan tivi yang ada di ruang tamu Basri. Itu adalah tivi warna 14 inch yang dijualnya tiga bulan sebelum peristiwa, dengan harga yang sangat murah kepada Basri. Malah, kabarnya sampai kasus ini disidangkan, Basri belum melunaskan sebagian harga pembelian televisi butut itu.

“Lalu apa salahnya bila saya menghancurkan televisi itu Pak hakim?” tiba-tiba Saiman berteriak dan bertanya pada hakim. Para hadirin menyoraki dengan kata-kata yang kotor.

“Saiman bajingan!!!” umpat mereka dari belakang.

Ponirah menangis. Basri menundukkan wajah. Dia malu, dia belum bisa bayar hutang pada Saiman.

***

“Tenang, tenang…” hakim marah.

“Biarkan terdakwa meneruskan ceritanya” meja diketok-ketok lagi. Sebutir keringat sebesar bulir jagung keluar dari dahi Pak Hakim. Suara-suara lebah masih berseliweran di atas langit-langit ruangan itu.

“Awalnya saya kira, saya akan hidup bebas dan tenang dengan keadaan seperti sekarang ini,” Saiman meneruskan ceritanya.

“Maka Pak Hakim, akhirnya saya putuskan untuk menjual barang setan itu kepada Basri teman baik saya. Saya jual dengan harga paling murah dengan sistem pembayaran kredit, sepuluh kali bayar. Iya, sepuluh kali bayar,” katanya.

Para hadirin tertawa. Basri menundukkan wajah.

“Tapi percayalah Pak Hakim, bukan itu alasan saya. Sumpah. Saya tidak bermaksud menghancurkan kegembiraan teman saya ini. Saya tahu, dan sadar betul Pak Hakim. Bahwa satu-satunya hal yang dapat menghilangkan kepenatan kawan saya ini setelah seharian bekerja adalah televisi yang dikreditnya pada saya. Jadi… tidak Pak Hakim. Tidak, saya memang telah ditakdirkan untuk menjadi penghancur televisi…”

Saiman seakan memberontak. Urat-urat lehernya menegang. Dicengkramnya dengan kencang sandaran tangan tempat duduknya. Matanya berkaca-kaca.

“Sampai pada suatu hari, Bondan anakku pulang dengan berita yang sangat mengganggu kepalaku Pak Hakim. Oh… televisi laknat!” geram Saiman.

Ruangan semakin hening, di udara terdengar rintihan Saiman berputar bersama kipas angin.

“Bondan pulang ke rumah, dan langsung menemui saya, bapaknya yang miskin ini. Bondan, Bondan, Pak Hakim. Anakku itu sudah tahu merek benda yang bisa telepon-teloponan sambil semes-semesan, memes-memesan, poto-potoan dan bisa denger radio itu Pak Hakim. Si Bondan menangis sepanjang malam di dalam kamarnya. Anakku itu menangis demi benda kecil yang bernama telepon genggam. Anakku menangis Pak Hakim. Aku juga menangis,” air mata Saiman meleleh.

Pak Hakim mendengarkan cerita buruh serabutan itu. Kacamatanya masih menggantung di batang hidung. Dalam benaknya Saiman ini adalah sosok maniak yang doyan menghancurkan segala barang. Pengidap sindrom vandalisme akut. Kalau tidak dibuang ke Pulau Buru, mestinya diendapkan di rumah sakit jiwa. Pak Hakim merinding. Disangganya dagunya dengan lengan kiri. Sebuah jam tangan merek asing menyembul dari jubah hitamnya.

“Paginya saya utang kepada teman saya, demi si Bondan. Tapi ketika sorenya saya kasih itu uang kepada anakku, dia menangis. Menangis Pak Hakim! Katanya, sekarang sudah ada yang lebih canggih. Handphone yang di dalamnya ada Inul Daratista.”

Semua hadirin tertawa.

“Iya Pak, yang ada Inul Daratistasnya. Saya bingung Pak. Susah payah saya utang ke sana-ke mari, rupa-rupanya, anak saya bilang ada merek dan keluaran terbaru lagi. Dalam hitungan jam Pak, apa yang bisa saya perbuat?”

Saiman menelan ludahnya. Tenggoraknnya terasa dicekik. Dia ingat ekspresi wajah Bondan sore itu.

“Akhirnya saya tanyakan pada Bondan dari mana dia lihat kabar itu. Terus dia bilang, dia lihat dari tivi. Atas alasan itulah saya pergi ke rumah Basri Pak,” semua tertawa.

“Maka hukumlah saya Pak. Saya sudah tak kuat lagi hidup dilabrak satu batalyon iklan yang berlalu mengisi kepala saya. Saya tidak sanggup mengejar Pak. Saya tidak sanggup membeli. Selalu muncul merek-merek baru, tivi-tivi baru, seri-seri baru. Hukum Pak, saya adalah pasar yang bodoh.” Saiman memelas. Tubuh kurus itu mengguncang isi ruangan. Hadirin terkesiap.

Saiman turun ke lantai. Wartawan mendekat dan mencuri setiap perubahan ekspresi wajah Saiman.

“Hukum Bajingan Saiman,” seseorang berteriak dari belakang.

“Hukum saya Pak. Saya mengaku, saya telah merencanakannya Pak. Kenakan saya pasal apa saja Pak, yang banyak. Kalau perlu semua pasal Pak,” Saiman beringsut mengarah ke meja hakim. Para petugas mengejarnya. Ruangan pengadilan menjadi kacau. Ponirah menangis dan menyembunyikan wajahnya di balik setangan. Basri keluar ruang sidang.

“Demi Tuhan Pak, hukumlah orang miskin ini, orang yang tidak sanggup membeli ini. Hukum Pak,” katanya semakin keras. Ruangan semakin gaduh.

Pak hakim menarik kacamatanya. Diketukkannya palu keras-keras… “Diam… diam… diam semuanya!!!” perlahan suara-suara mulai teredam.

“Pak Hakim, saya bersumpah,” potong Saiman. “Seandainya saya dihukum ringan, kelak, ketika saya lepas, saya akan kembali melakukan hal serupa Pak Hakim. Saya bersumpah. Semua televisi… hahahahaha,” Saiman tertawa.

“Bahkan televisi Bapak Hakim juga…” kata Saiman.

Dia memberontak ketika seorang petugas memaksanya untuk duduk.

***

Suasana kembali hening. Sumpah Saiman masih terngiang di setiap sudut ruang.

“Baiklah,” kata pak hakim mencoba mengusir takutnya sendiri.

“Setelah saya mendengar, menimbang kemudian memutuskan, bahwa Saudara Saiman bin Samiun warga jalan sehati nomer enambelas terbukti telah melanggar pasal-pasal mengenai, perencanaan, pemukulan yang mengakibatkan hancurnya sebuah televisi. Ancaman kepada khalayak ramai dan yang terakhir terorisme. Maka untuk semua pasal-pasal itu, pengadilan memutuskan, kurungan seumur hidup buat Saiman,” Hakim mengetuk palu tiga kali. Tak ada yang berani angkat suara. Ponirah menangis. Saiman lemas tak berdaya.

Lamat-lamat terdengar suara-suara, dari belakang. “Bebaskan Saiman, Saiman pahlawan kita…”

Saiman dielu-elukan sebagai pahlawan. Ponirah dikerubungi wartawan. Semua hadirin berteriak parau; Saiman sang pahlawan.

Saiman tak mendengar teriakan itu. Matanya semakin nanar. Kupingnya terbakar.

Saiman mendengar: “Kulkas dua pintu, handphone terbaru, tivi plat datar 29 inch, mobil bertenaga 1000 kuda, motor bebek yang kencang larinya, baterai tahan sampai pagi, jam tangan dari Swiss, bohlam, sepatu necis, baju baby doll, tembakau Amerika, tempat tidur Italia, obat pilek, obat congek, minyak ketek, bedak mayat, minyak goreng, sabun mandi, ac alami serasa di surga, komputer pentium empat, celana dalam, beha, kondom rasa strawberry, obat penggede tetek…”
sumber : http://www.sorasirulo.net

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *