TANGGAPAN M.U. GINTING (SWEDIA) ATAS TULISAN JUARA R. GINTING (LEIDEN) YANG BERJUDUL “INI KARO, PAL”

Tulisan berikut adalah tanggapan M.U. Ginting terhadap “Kolom Juara R. Ginting: Ini Karo, Pal!” di SoraSirulo.Net: klik http://www.sorasirulo.net/1_1_954_kolom-juara-r.-ginting-ini-karo-pal.html

“Tapi, memangkah orang Karo sendiri yang tidak lagi peduli akan perkembangan komunitas internal Karo itu sendiri?” (kutipan dari tanggapan Ditz Singarimbun atas tulisan Kolom Juara R. Ginting: Ini Karo, Pal). Pertanyaan Singarimbun ini, sangat vital/hakiki dan strategis dalam meninjau Karo dan perkembangannya; dulu dan sekarang serta ke depannya.

Sampai Perang Kemerdekaan, Karo merupakan satu tim kuat. Terbukti dari sejarah Aru, dalam menentang perampokan tanah oleh kolonial (perang Karo Sunggal Badiuzzaman Surbakti), dan kepahlawanan pemuda pejuang Karo dalam Perang Kemerdekaan. Perjuangan dengan senjata, berkorban jiwa raga, Karo adalah nomor 1. Tetapi begitu perjuangan dengan suara/ mulut dibutuhkan, terlihat langsung kelemahan Karo.

Karo lebih suka ke ‘laboratorium’, kata Bode H. Tarigan. Semasa Orla, tak ada laboratorium, begitu juga dalam era Orba. Karo beku dan juga dibekukan, karena Karo bukan etnis ‘kesayangan’ sang diktator. Pada era Soekarno, Karo tak dikenal, dan Karo juga tak tahu bagaimana memperkenalkan diri. Karo tahu banyak persamaan dengan Bung Karno, tetapi sebaliknya Bung Karno tak ngerti apa itu Karo. Barangkali taunya cuma Batak.

Karo pun diam saja. Sejak semula juga bedil yang berbicara. Mulut tak pernah dipakai, dan pena memang belum masanya saat itu seperti era internet sekarang. Karo memang punya koran nasional tahun 50-an namanya ‘Patriot’ yang beberapa kali digranat supaya tak terbit lagi. Dan mati juga akhirnya.

Sejak itu, sampai ke detik reformasi, Karo diam. 100 tahun diam karena memang tak pernah banyak ngomong dalam dalam perjuangannya. Diam tak ngomong telah mulai pertama Belanda menginjakkan kakinya di daerah ulayat Karo Jahe, artinya sejak perang Badiuzzaman sampai era reformasi.

Anak muda seperti Ditz Singarimbun patut mempertanyakan hal itu. Siapa yang tak heran, ke mana Karo selama 100 tahun sampai tanah ulayatnya hampir lebih banyak dikuasai pendatang. Dalam periode 100 tahun ada fase ‘bedil berbicara’, di situ tak ada yang berani dekat ke Karo, Karo panglima segala kegiatan. Dalam periode ‘bedil tak berbicara lagi’, Karo dikerubuti betul karena belum belajar ‘berbicara pakai mulut’.

Medan dibangun Pa Timpus Sembiring Pelawi, tapi siapa yang tahu? Orang-orang Karo sendiri, tahukah itu? Ditz Singarimbun mempertanyakannya.

Ketika saya di Medan, pernah saya tanyakan di mana patung Pa Timpus, karena saya tak bisa menenemukannya. Saya tanya di jalan, tak ada yang tahu. Saya tanya orang Karo juga tak tahu. Saya bertanya pada diri sendiri, seperti pertanyaan Ditz Singarimbun. Saya lantas ke ‘laboratorium’ coba mencari jawaban. Saya barangkali menemukan jawabannya di situ.

Internet adalah anugerah luar biasa yang tak ada bandingannya untuk rakyat laboratorium Karo. Internet adalah LABORATORIUM bagi mayoritas Karo. Kita bisa melihat dampaknya sekarang setelah dikuburnya era laknat Orba, bagaimana Karo Ngerana ke seluruh dunia, bahwa Karo ada dan berjiwa masih tetap seperti 100 tahun lalu maupun lebih jauh ke belakang ke era Aru.

Tetapi, kita harus berani melihat kenyataan, sebagai akibat lamanya kita tak berbicara pakai mulut. Selama 100 tahun kita “berbicara pakai bedil’. Selama beberapa puluh tahun saja kita tak berbicara lagi karena tak menggunakan mulut, banyak sekali kenyataan pahit di depan kita yang harus kita hadapi sekarang.

“Ingat, jumlah penduduk Karo hanya 4,10% di Medan (bandingkan dengan Melayu 6,59%, Minang 8,60%, Mandailing 9,36%, Tionghoa 10,65%, Tapanuli 19,21%, Jawa 33,03%). Bila wilayah Karo di Medan tak punya kesan lagi, mudah diramalkan, bargaining position (harga tawar) Karo jatuh total. Apalagi saat ini minim sekali orang Karo di posisi-posisi kunci seperti halnya di pemerintahan dan legislatif Medan maupun Sumut,” tulis Juara R. Ginting. Inilah kenyataan di depan mata kita sekarang. Kita mengakui begitu dan menerimanya.

Juara R. GintingĀ  mengkedepankan kepraktisan dalam menaggulangi persoalan nyata ini. Bravo Juara! Sifat laboratory Karo harus diimbangi dengan sifat kepraktisan, kecekatan, kelincahan dalam kehidupan nyata per jam, seperti contoh kelincahan penyiar musik pop di radio .

Juara menambahkan: “Untuk contoh pertama, kita tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menulis dan menulis bahwa daerah itu masuk tanah ulayat Karo. Tapi, untuk contoh ke dua, kita masih bisa memperjelas wajah Karo dengan membangun dan mengembangkan berbagai hal yang membuat wajah Karo di sana semakin jelas. Diantaranya, dengan menyemarakkan pertunjukan seni tradisional Karo di sana dan membangun jambur-jambur (tempat duduk-duduk seperti di dekat Tugu Perjuangan Berastagi) satu atau dua di setiap kampung sepanjang Jl. Djamin Ginting. Bayangkan, satu jambur kecil dibangun dengan biaya 100 orang Karo. Tak seberapa harganya. Bayangkan, apa kesan orang-orang yang melintasi Jl. Djamin Ginting melihat jambur-jambur itu. Ini wilayah Karo, Pal!”

Gunakan laboratori, gunakan radio! Ngerana, nulis, bahan/kerjakan!
sumber : http://www.sorasirulo.net

This entry was posted in Berita dan Informasi Utk Takasima, Informasi Untuk Kab. Karo, Momo Man Banta. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *