Besar kemungkinan, Suku Karo dulunya kalau membuka desa baru sebagai hunian baru, berangkat dengan delapan keluarga atau kelipatannya. Ini tampak dengan rumah adat yang dibangun mereka, dihuni dengan delapan keluarga.
Memang ada juga rumah adat yang dihuni empat keluarga. Tapi, umumnya hunian delapan keluargalah yang banyak didirikan.
Petak hunian per keluarga paling 3m X 4m. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalig. Anak yang sudah akilbalig, tidur di lumbung padi buat anak laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.
Pintu
Rumah adat punya pintu hanya dua. Satu di hilir dan satu lagi di hulu. Kedua pintu terhubung langsung lurus membelah rumah adat sebagai jalan tengah. Sebelah kanan dihunia empat rumahtangga dan sebelah kiri dihuni pula oleh empat rumahtangga.
Kedua pintu itu punya ture atau kakilima. Ture terbuat dari bambu utuh sebesar paha orang dewasa, disusun mendatar jadi lantai simetris dengan pintu. Lurusan pintu, dibuat tangga menanjak tajam dengan jumlah anak tangga ganjil untuk naik ke ture setinggi orang dewasa. Luasnya, sekitar 3m X 2m.
Ture
Tepian ture sebelah kiri dan kanan, sering dijadikan anak balita jadi tempat buang hajat. Biasanya pagi hari, mereka jongkok dengan hati hati karena ture tak punya dinding pembatas. Anak yang masih kecil biasanya ditemanai ibunya dengan memegang tangan sang anak. Atau sang anak duduk diantara kedua kaki ibunya yang duduk di lantai bambu dengan posisi huruf L. Jadi kloset alami yang sangat menyenangkan sang anak Begitu hajatnya jatuh ke tanah, langsung bersih ulah babi yang berkeliaran di bawah yakni langsung memakannya.
Jendela
Tiap petak hunian punya jendela satu, kepala pun tak muat dikeluarkan melalui jendela itu karena kecilnya. Tempat tidur hanya dibatasi tikar yang dipasang seperti menjemur pada sebilah bambu. Gaya knock down. Mau tidur, rapikan dulu tikar pembatas.
Harta
Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku. Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk, ditempatkan di para tungku masak keluarga.
Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.
Tampaknya konsep harta keluarga pun jadi sederhana pula. Lumbung padi.
Lumbung padi penuh tak habis dipakai oleh keluaga dalam setahun merupakan dasar kebahagian rumahtangga dalam mengarungi kehidupan.
Memang ada tanaman keras di ladang, ada juga hewan peliharaan seperti babi lepas di bawah rumah adat. Termasuk lembu kerbau yang setiap pagi dituntun ke ladang. Kandang hewan itu, juga dibangun sekitar rumah adat. Hewan ini akan dijual untuk keperluan mendadak keluarga. Kotoran hewan dikumpulkan untuk jadi pupuk tanaman di ladang.
Kekerabatan
Delapan rumahtangga alias ada delapan ragam fungsi adat dalam rumah adat Suku Karo. Tiap fungsi diemban oleh satu rumahtangga dan petak huniannya yang unik pun sudah ditentukan oleh adat. Begitu pula hubungan kekerabatan di dalam rumah adat ditentukan oleh adat. Jadi tidak sembarang rumahtangga dapat menempati petak hunian di dalam rumah adat, hal ini merupakan kekhasan dan sekali gus mencirikan rumah adat Suku Karo. Rumah adat adalah hunian untuk mengaplikasikan fungsi adat yang diembannya.
Searah jam, kalau masuk dari pintu hilir. Nama Jabatan Adat, Tugas dan Fungsi, Hubungan Keluarga dengan Kepala Rumah Adat, sebagai berikut:
1. Sukut. Kepala Rumah Adat (KRA). Turunan pendiri desa.
2. Anakberu Minteri. Saksi keputusan musyawarah. Kelurga adik
perempuan dari mantu laki.
3.Kalimbubu, Mengajar dan menaikkan mantera. Orang yang
disegani/dukun
4. Kalimbubu, Penasehat dan memberi restu.Orang tua istri.
5. Anakberu. Pelaksana perintah dan Wakil KRA. Mantu laki.
6. Anakberu cekuh baka. Menyambut tamu. Anak dari Anakberu.
7. Puang Kalimbubu. Pemberi restu kesepakatan. Keluarga istri Kalimbubu no.4.
8. Sembuyak. Sumber informasi. Anak laki
Rumah adat menjadi kesatuan warga penghuni yang dipimpin oleh Sukut. Mereka bermusyawarah dengan melaksanakan masing masing tugas dan fungsinya sebagai satu kesatuan.
Setiap penghuni akan mengemban satu jabatan adat pula pada pertemuan adat diluar rumah adat. Misalnya mengemban jabatan adat sukut, kalau dia mengawinkan anak atau memasuki rumah baru atau ada anggota keluarga meninggal. Warga lainnya yang hadir masing masing mengemban fungsi adat. Kekerabatan rumah adat Suku Karo menjadi dasar kekerabatan Suku Karo di luar rumah adat.
Hakekat hidup leluhur
Swasembada pangan dan swasembada pupuk. Mengemban fungsi adat dalam rumah adat maupun mengemban fungsi adat kekerabatan dalam satu desa dan demikian juga pada kekerabatan di luar desa. Menyatu dengan alam karena alam memberi kehidupan dan menyembah Penguasa alam yang diaplikasikan melalui kegiatan penyembahan yang diatur juga oleh adat.
Kehangatan rumah adat
Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.
Terasa hangat di malam hari dalam rumah adat. Bukan akibat tembusnya sinar matahari siang karena terik matahari siang diredam dengan permukaan atap penutup rumah adat yang terbuat dari ijuk yang tebal. Ketebalan ijuk menjamin tak ada tetesan hujan yang jatuh dalam rumah adat.
Kehangatan dalam rumah adat lebih dominan akibat hangatnya api bakaran kayu menanak nasi dan biasanya dilakukan serentak mengikuti rutinitas kegiatan. Asapnya memenuhi ruang langit langit langsung ke atap ijuk rumah adat, luas dan tinggi.
Dibakar
Di tahun empat lima, hunian tersebut ada yang dibakar, dibumi hanguskan rumah adat sedesa. Tak rela digunakan oleh Belanda. Penghuni sedesa mengungsi ke desa yang lebih aman. Anak mudanya dan kaum bapa bergerilla menghambat kelancaran gerak pendudukan Belanda. Tak ketinggalan gadis manisnya yang tidak membantu pengungsian, mereka jadi palang merah .
Model
Tampilannya cantik, kokoh dan diduga dapat dihuni 300 tahun. Menjelang akhir abad ke 20 secara umum sudah tak layak huni. Masih dihuni mungkin tinggal hitungan jari.
Di Desa Lingga ada rumah adat yang pernah dipugar pemerintah
sumber : http://rumahkaro.blogspot.com