ARON ANCENG

Tulisan ini sebenarnya adalah latar belakang dari sebuah skenario pertunjukan Karo di Hamburg (Jerman) beberapa tahun lalu. Saya bertindak sebagai sutradara dan sekaligus penulis skenario. Di samping sebagai nuansa sebuah pertunjukan, kiranya tulisan ini dapat menambah pengertian kita mengenai hubungan seni tradisional Karo dengan struktur sosial masyarakatnya.

Bagian I: Uis Julu

Ini adalah keadaan semasa prekolonial, kolonial dan beberapa kampung Karo masih mempertahakannya hingga 1960an, bahwa di setiap kampung Karo (kuta) ada 2 kelompok aron: Aron Sepuluwaluh dan Aron Duapuluh. Masing-masing kelompok ini mungkin terdiri dari beberapa sub kelompok lagi. Seseorang yang merasa kurang gennah di satu kelompok aron (karena ada si mehangke atau karena pertikaian) boleh pindah ke kelompok aron lainnya.

Satu diantara  2 kelompok aron menjadi aron si mantek gendang pada perayaan kerja tahun. Kalau salah satunya mengatakan berkeingingan menjadi si mantek gendang dan yang lain tidak, maka yang berkeinginan akan menjadi si mantek gendang. Persoalan akan muncul bila kedua kelompok aron bersikukuh hendak mantek gendang.

Sebagaimana dituturkan banyak informan kepada saya di berbagai kampung Karo, bila itu terjadi, salah satu kelompok dipersilahkan menegakkan tiang bambu di dekat kerabangen dengan mengikatkan uis julu di puncaknya (mirip bendera). Kalau kelompok lain betul-betul ngotot juga, silahkan memanjat tiang, menurunkan uis julu dan menggantinya dengan uis julu mereka sendiri untuk berkibar di puncak. Pemilik uis julu yang terakhir berkibar di puncak akan menjadi aron si mantek gendang.

Sedikit selingan, mungkin ada pembaca yang bisa membantu,  apakah perbedaan uis julu gatip sepuluwaluh dengan uis julu gatip duapuluh ada hubungannya dengan perbedaan aron sepuluwaluh dengan aron duapuluh? Saya menduga ada hubungan, tapi sampai saat ini, saya belum bisa membuktikannya.

Bagian II: Si Mantek vs Si Anceng

Guro-guro aron biasanya diiringi gendang lima sendalanen dengan menampilkan aron beru si lima (berpasangan dengan impalna). Diberi kesempatan menari kepada Pengulu Si Lebe Merdang, Pengulu Kuta, Pengulu Kesain, Perbapan Kuta dan lain-lain. Kadang ada juga dengan perkolong-kolong (Kalau mau puas menari/ menyanyi di guro-guro aron, silahkan ke Langkat Hulu. Di tahun 1982 saya pernah ikut guro-guro aron di sana diiringi gendang jahe, wow …. sampai angkat tangan menolak menari karena sudah kecapaian  banyak menari).

Secara keseluruhan, gendang guro-guro aron adalah acara mehamat dan mehaga. Inilah yang biasanya dipakai orang-orang Karo menjadi model kebudayannya sekarang ini, mehamat dan mehaga. Padahal kebudayaan tradisional Karo tidak terbatas pada mehamat dan mehaga.

Tidak selalu kelompok aron yang tidak mantek gendang menerima begitu saja kekalahan mereka. Katakanlah Aron Duapuluh menjadi si mantek gendang, bisa jadi Aron Sepuluwaluh mengadakan gerakan Aron Anceng dengan mengikuti jalur budaya. Mereka mengadakan berbagai permainan untuk menarik perhatian warga kampung agar meninggalkan acara mehamat-mehaga yang dilakukan aron si mantek gendang.

Permainan yang paling sering dimainkan oleh Aron Anceng adalah tembut-tembut. Ini bisa jadi dengan mengundang (bayaran) kelompok Tembut-tembut Seberaya atau yang lainnya untuk mengadakan ritual tembut-tembut. Sering juga dilakukan oleh Aron Anceng sendiri dengan membuat topeng dari pelepah kelapa dan melukis tubuh mereka (tanpa baju) dengan berbagai gambar reptil (ular sawah, biawak, kadal, dll). Ada yang menjadikan tikar tua yang sudah koyak dan usang sebagai pakaian. Ada juga dengan melakonkan drama seorang miskin pencari kemenyan dengan pakaian yang jelek sejelek-jeleknya, buruk seburuk-buruknya.

Masih banyak permainan lain yang mungkin mereka lakukan. Tapi, intinya, semua adalah anti-thesis dari acara Aron Simantek. Mehamat-mehaga vs Mejin-mesera.

Bagian III: Sampah Kampung

Dalam memulai permainannya, Aron Anceng berangkat dari salah satu gerbang kampung yang disebut bakal (kontras dari gerbang utama kampung yang disebut kerabangen). Dari situ, mereka mengelilingi pinggir kampung mengikuti garis bide kuta sambil mempertunjukkan karya-karya seni mereka yang mempresentasekan dunia mejin-mesera.

Mengapa bakal? Bakal adalah tempat pembuangan kotoran dalam artian ritual. Tumbuh-tumbuhan yang dirangkai menjadi perbasbas dalam ritual mengusir roh-roh jahat dari sebuah rumah, misalnya, dibuang ke bakal selesai ritual. Kadang-kadang ke sana juga dibuang buluh/galuh persilihi (selain ke jurang atau ombakken ku jahen tapin).

Aron Anceng mengekspresikan dirinya sebagai orang-orang terbuang, orang-orang yang kalah, sampah masyarakat dan pokoknya penuh penderitaan.

Bagian IV: Both

Kebudayaan Karo bukan hanya merangkul hal-hal mehamat-mehaga, tapi juga hal-hal yang mejin-mesera. Akankah kita hanya memilih salah satunya? Saya teringat pada tulisan-tulisan MU Ginting di milis tanahkaro dan komunitaskaro dan jawab saya: Both!
Oleh: Juara R. Ginting                                                                           sumber : http://www.sorasirulo.net

This entry was posted in Berita dan Informasi Utk Takasima, Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *