KISAH NYATA: MENUAI APA YANG DITANAM

Anda  bukanlah orang pertama  yang mendapatkan cerita ini, tentu saja yang pertama itu adalah orang yang mengalami hal dalam cerita ini. Tapi orang ke dua  juga tidak. Ketiga? Juga tidak. Anggaplah orang kesekian kali yang kalo dalam matematika hal seperti ini dikupas dalam bilangan deret.

Bandung memang panas. Tapi pagi itu, 4 Juni 2011, hari cukup cerah sejuk dan jalanan tidak macet. Paling tidak itulah yang aku alami dalam perjalanan dari Gegerkalong sampai ke Goethe Institute di Jl. Riau, Bandung. Yang menjadi keinginan saya untuk diceritakan adalah bagian di perjalanan ini.

Di Jl. Cihampelas aku harus ganti angkot menuju Goethe Insitute. Seorang ibu naik angkot yang saya tumpangi  dan tangisan gadis kecil terdengar ketika angkot mulai melaju.  Ibu yang baru saja naik terus menoleh ke belakang dengan mata berkaca-kaca memandangi tangis gadis kecil di gendongan seorang bapak yang bukan ayah kandungnya.

“Saya tidak tegaan setiap hari meninggalkan putri saya seperti ini. Tapi, apa boleh buat, saya harus jualan,” dengan logat khas Sunda ibu itu bercerita.

Aku yakin kesedihan ibu itu bukan sandiwara. Selain matanya berkaca dan sesekali berpaling muka mengusap air mata, dia juga bercerita kepada saya yang tidak ia kenal, pertanda betapa sesak perasaan sedih meninggalkan anak menangis di pangkuan suami yang ke berapa, aku tak tahu.

“Oh, ibu mau jualan apa dan mau jual ke mana?” Tanyaku yang tentunya iba dengan kondisi itu. Rasanya ingin berbuat sesuatu agar ibu itu semangat dan tidak bercokol dalam ketaktegaan meninggalkan buah hatinya. Saya juga hidup dari keluarga yang awalnya bahkan tidak dihendaki keluarga dari calon bapak saya ketika hendak menikah dengan calon ibu saya. Kesedihan itu pun aku bandingkan dengan kehidupanku yang dulu anak yang dititip ke kerabat yang lain. Tidak sama, tapi keadaan yang hampir sama  yakni hidup harus mengemis tempat dan makan.

“Ini, kerupuk udang sekiloan.” Mata berlinang itu tidak menghapus kata-kata untuk menjelaskan jualan ibu tersebut.

Aku bertanya lagi: “Harganya berapa?”

Ibu itu mulai kehilangan air mata. Tentu saja bukan kering maksudku, tapi sudah tidak berkaca-kaca lagi.

“Rp. 20.000, pak,” jawabnya lagi.

“Boleh saya beli?” Aku kembali bertanya.  Air mata ibu itu semakin kering ketika aku bertanya demikian dan menjawab: “Tentu saja boleh, pak.” Dia menyerahkan sebungkus kerupuk.

Uang sebesar Rp.50.000 aku serahkan, dan ternyata tidak ada kembalian. Memang aku melihat hanya ongkos Rp.3.500 saja yang ada di genggaman ibu itu.

“Aduh, pak, saya tidak punya kembaliannya untuk bapak,” katanya.

“Ya, sudah, bu. Kembaliannya ibu beliin sesuatu untuk anak ibu yang nangis tadi,” jawabku yang memang dari awal tidak berniat menerima kembalian itu. Harapanku, ibu itu bahagia menerima rejeki di pagi hari yang akan membuka harapannya untuk hari ini dan mungkin seumur hidupnya.

“Waduh, Gusti,,, ya Alloh,,,, Terima kasih banyak, pak,,,,,, Saya doain, pak, supaya bapak diberikan rejeki  yang melimpah,” kata ibu itu dengan mata yang kembali berlinang. Kali ini saya yakin genangan air mata yang hampir runtuh itu bukan karna sedih, tapi karna bahagia yang sangat besar. Terharu mungkin kata itu yang tepat.

Dengan senyum yang kata orang itulah pemanisku, aku berkata: “Hatur nuhun pisan, ibu…  amin…” yang diindonesiakan “Terima kasih banyak bu… amin…”.

* * *

Setelah 5 kali ketidak hadiranku di Goethe Insitute, pagi ini kuikuti lagi pelajaran bahasa Jerman dan istirahat lagi pada Pukul 09.45 WIB.

“Pak, ini teman si Martin,” kata Johannes Sitanggang teman sekelas di kursus ini.

“Dari mana kau tau si Martin dan anakku ini?”  tanya  Pak Kastoni Sitanggang yang kelahiran Berastagi dan sekarang salah satu dari pemegang kepentingan Chevron di Indoensia.

“Oh, si Martin itu seangkatanku di Politeknik Negeri Bandung, tapi beda jurusan, pak,” jawabku. Martin ini adalah keponakannya, anak dari saudari pak Kastoni. Martin ini yang bercerita tentang Pamannya ini.”

Aku pun bercerita berdasarkan pertanyaan paman dari temanku ini, yakni asal dari mana, marga apa, kuliah di mana, kerja di mana. Dan Pak Sitanggang ini pun merespon: “Kam ga tertarik ke Chevron?”

“Ah, untuk saat ini aku belum tertarik, pak,” dengan pasti aku jawab.

“Lho, kenapa?” terusnya bertanya lagi.  Aku pun menjawab dengn apa yang aku pikirkan, pahami, dan yakini.

“Begini, pak, kalo saya pindah dari perusahaan yang satu ke yang lain, saya ingin keahlian saya tidak tanggung-tanggung dan tidak diragukan. Memang saya lulusan Belanda secara teori dan pola pikir saya yakin. Akan tetapi penanganan peralatan di lapangan sedang saya dalami.”

“Ohhh, mantap yah adi bage,” katanya, yang artinya “ohh, bagulslah kalau demikian.”

Percakapan kami terhenti karena aku  harus meneruskan pelajaran bahasa Jerman. Sambil pelajaran berlangsung saya penuh tanda tanya. Kenapa Pak Sitanggang ini menawarkan pekerjaan di Chevron? Chevron adalah perusahaan Oil, Gas dan Geothermal asal USA. Kalo soal gaji dan fasilitas perusahaan ini masuk favorit bagi lulusan perguruan tinggi untuk bekerja.

Penasaran itu terus berlanjut sampai kursus selesai. Ketika mau makan di Dago dekat ITB, saya masih termenung sambil menunggu makan di Rumah Pasta. Masih belum  terjawab penasaran itu, saya pun melirik buku-buku di samping meja tempatku menunggu pesanan.

Oh, my God,,, Thank you so much. Saya tiba-tiba teringat dengan potongan dialog drama kehidupan di angkot tadi pagi. Ini yang aku ingat.

“Waduh, Gusti… ya Alloh…. Terima kasih banyak, pak ….. saya doain, pak …. supaya bapak diberikan rejeki  yang melimpah”.

Aku sadari itu pada Pukul 13.56 WIB.

Aku sadar,  ibu itu tadi berdoa dengan tulus sekali untuk rejeki saya. Ternyata 1,5 jam kemudian langsung terjawab. Aku mulai kursus pagi ini Pukul 08.00 WIB.

Sepanjang hari itu aku tersenyum dan berkata: “Betapa Tuhan itu ada dan menunjukkan diri denga apa dan siapapun di sekitarku.”

Tak cukup di situ pembukitan kebaikan Tuhan. Ketika main bola di indoor tempat khusus olahraga ke arah Lembang, seorang senior dari kumpulan sama-sama orang Medan menawarkan kerja di Konsultan Pembangkit Listrik punya Jepang.

Keesokan harinya, bincang-bincang di warung kecil, eh saya dapat tawaran lagi di Dow Chemical.

Kesemua itu aku aku jawab dengan tidak dan alasan yang sama.

Dalam hati aku berkata lagi:

1. Untuk menolong, kalau kita mampu, Tuhan akan membalasnya. Jadi, jangan ragu untuk menolong.

2. Hidup ini sama seperti makan, jangan terlalu rakus. Satu per satu kita jalani, tidak lantas ada tawaran yang lebih baik langsung kita terkam. Hidup harus direncanakan, bukan hidup serba dadakan.  Tawaran di Chevron memang 2 kali gajiku sekarang, tapi rencana hidupku tidak diatur oleh uang.sumber : http://www.sorasirulo.net

Yah, aku menabur dan menuai. Aku menabur tidak berharap menuai, tapi Tuhan tahu keiklasan taburan kebaikan itu.

Aku adalah Joni Hendra Tarigan, yang pernah hidup di sekitar anda, yang mengalami kejadian ini. Jadi akulah juga yang tahu cerita ini pertama kalinya.Oleh Joni Hendra Tarigan (Bandung)                                                                                                                            sumber : http://www.sorasirulo.net

 

 

This entry was posted in Berita dan Informasi Utk Takasima. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *