PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT KARO

Dalam kehidupan rumah tangga biasa terjadi perceraian antara sumai istri, demikian juga pada keluarga orang Karo. Perceraian ini tentu karena banyak sebab. Antara lain karena tidak ada lagi persesuaian antara suami istri. Bisa saja pihak suami menceraikan istrinya, atau istri yang mau meminta cerai. Menurut adat kebiasaan orang Karo, kalau selalu terjadi percekcokan suami istri, yang diketahui oleh kerabat, maka selalu diberikan saran agar mereka rukun kembali. Namun apa bila tidak juga terdamaikan, maka cara perceraian dimusyawarahkan oleh kerabat dengan penghulu yang dulu ikut menangani acara pernikahan mereka.

Yang dirundingkan adalah mengembalikan uang mahar, membagi harta penghasilan bersama, dengan siapa anak tinggal. Perceraian baru sah bila diakui oleh musyawarah kerabat tadi. Maka si suami menjadi duda, si istri menjadi janda. Setelah terjadi perceraian maka kedudukan pembagian warisan di atur sebagai berikut :
1. harta pusaka yang berasal dari suami menjadi miliknya kembali
2. harta benda hasil pencaharian, bersama selama perkawinan dibagi menurut keadaannya, dalam hal ini diadakan pertimbangan pertimbangan mengenai sebab terjadinya perceraian
3. harta bawaan istri sewaktu terjadinya perkawinan menjadi miliknya kembali

Mengenai kedudukan anak dalam perceraian semuanya berada pada tanggung jawab si suami. Bila ada anak yang masih menyusui maka sementara dia belum berhenti menyusui dibenarkan dalam asuhan ibunya yang telah diceraikan dengan syarat pihak suami harus memenuhi kebutuhan si anak tersebut, demikian menurut Bujur Sitepu yang ditulis dalam bukunya “Mengenal Kebudayaan Karo”. Tapi ada juga rumah tangga berpisah karena salah seorang meninggal dunia. Bagi seorang suami yang meninggal dunia, si istri hendak berumah tangga dengan orang lain (jadi bukan “gancih abu”), maka ia lebih dahulu meminta cerai dari almarhum (keluarganya). Biasanya dalam hal begini, dia bersedia mengalah dalam hal pembagian harta hasil pencarian bersama. Namun apabila yang meninggal dunia adalah si istri, maka walaupun kemudian suami kawin lagi dengan wanita lain, ia tidak perlu bercerai dengan alamarhumah isterinya. Memang sebaiknya ia kawin dengan keluarga dekat almarhum, supaya hubungan kekeluargaan tetap dekat.                 sumber : http://www.karo.or.id

This entry was posted in Adat Istiadat Karo. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *