Rebu artinya pantangan, dilarang, tidak boleh, tidak dibenarkan melakukan sesuatu menurut adat Karo. Siapa yang melanggar, dianggap tidak tahu adat, dan dahulu dicemooh oleh masyarakat.
Rebu pada masyarakat Karo, terbagi atas tiga pihak :
1. Antara mami (mertua wanita) dengan kela (menantu pria). Dalam pengertian sempit, mami adalah ibu dari istri ego, dalam pengertian luas, adalah para istri saudara laki-laki dari pihak ibu atau ibu ego dari istri ego). Sedangkan kela dalam pengertian sempit adalah suami dari anak wanita ego, dalam pengertian luas adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah ego. Sebelum terjadi pernikahan, kela ini disebut bere-bere atau kemanakan.
2. Antara bengkila (mertua pria) dengan permain (menantu wanita). Bengkila dalam pengertian sempit adalah ayah dari suami seorang wanita, dalam pengertian luas suami dari saudara perempuan ayah seorang wanita. Sedangkan permain dalam pengertian sempit adalah istri dari anak laki-laki orang ego. Dalam pengertian luas adalah anak perempuan (termasuk juga laki-laki) dari saudara laki-laki istri ego.
3. Antara turangku dengan turangku. Turangku mempunyai dua pengertian, pertama, bila ego seorang pria, maka turangkunya adalah dan berarti istri dari saudara laki-laki istrinya (ipar), kedua bila ego seorang wanita, turangku berarti suami dari saudara perempuan suaminya (ipar).
Yang direbukan, dipantangkan, dilarang, tidak boleh, tidak dibenarkan melakukan sesuatu menurut adat Karo adalah (1) berbicara langsung, (2) bersentuhan anggota badan, (3) duduk berhadap-hadapan, (4) duduk pada sehelai tikar/kursi.
Manifestasi rebu (dilarang) ini dalam adat istiadat Karo, adalah dilarang berbicara, dilarang duduk sebangku, misalnya dengan mertua yang berbeda jenis kelamin dengan ego, dilarang berbicara dengan suami ipar atau isteri yang berbeda jenis kelamin dengan ego. Rebu ini sebagai tanda adanya batas kemerdekaan diri, adanya rasa diri berkebebasan, melalui perilaku seperti ini orang mengingatkan dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui rebu, orang akan mampu mengkontrol perbuatan dirinya sendiri. Rebu melahirkan mehangke (enggan), dari enggan melahirkan rasa hormat. Hormat menimbulkan sopan santun.
Ini adalah unsur mendidik dari adat Karo yang bernuasa pengendalian sosial yang bersifat preventif. Namun pada perkembangan saat ini, tradisi rebu cenderung diabaikan. Telah biasa terlihat antara seorang pria berbicara langsung dengan mertuanya.
sumber : DRS. PERTAMPILAN S. BRAHMANA, M.SI (library.usu.ac.id).
sumber: http://karosiadi.blogspot.com