27. DESA LINGGA

Desa Lingga meupakan salah satu desa yang sampai saat ini sering dikunjungi oleh wisatawan khususnya wisatawan manca negara karena keunikannya, mengingat desa tersebut merupakan salah satu yang masih memiliki Rumah Adat Tradisional masyarakat karo yang telah berumur lebih ari 200 tahun, yang berjarak sekitar 12 km dari kota Berastagi atau 78 km dari kota Medan.Rumah adat tradisional ini dihuni oleh 4 – 8 keluarga yang jumlahnya genap  tergantung besarnya bangunan rumah adat tersebut. Rumah adat ini dibangun dengan tidak menggunakan paku akan tetapi dengan menggunakan tali yang terbuat ijuk atapun paku dari bambu. Penghuni rumah tersebut adalah mereka yang masih memiliki hubungan keluarga (darah) yang  lokasi yang ditempati tergantung dari kedudukan dia dalam adat apakah sebagai pekerja (anak beru) ataupun yang dirajakan (kalimbubu) dalam adat masyarakat karo. Hal ini karena pemilik tanah untuk bangunan tersebut adalah kalimbubu.

Sebagai tambahan informasi bahwa semua desa di Taneh Karo (sekarang Kabupaten Karo) pada umumnya penduduk desa membangun rumah adat dengan gotong royong mulai dari penebangan kayu di hutan, pengangkutan kayu dan ijuk, bambu dan lain sebagainya ke desa serta pembangunnya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat desa. Ibu-ibu yang brtugas untuk menyiapkan makanan untuk pekerja juga dikerjakan dengan gotong royong.

Pada agresi ke II oleh Belanda, masyarakat desa di Taneh Karo membumi hanguskan rumah adat tradisional tersebut sebelum mengunsi ke gunung/ hutan yang jauh dari desa dengan pertimbangan supaya Belanda tidak memanfaatkan bangunan tersebut sebagai markas maupun tempat istirahatnya, padahal kalau secara akal sehat Belanda tidak akan mau memanfaatkan bangunan tersebut karena tidak nyaman untuk ukuran mereka, tapi karena perintah gerilya pada waktu itu terpaksa masyarakat desa melaksanakanya karena takut dianggap antek-antek Belanda.

Desa Sigarang – Garang yang berada di bawah kaki gunung Sinabung pada zaman dahulu, perhatikan batang bambu di sisi kiri foto sebagai tangga menuju atap rumah

Sebagai tambahan informasi bahwa semua desa di Taneh Karo (sekarang Kabupaten Karo) pada umumnya penduduk desa membangun rumah adat dengan gotong royong mulai dari penebangan kayu di hutan, pengangkutan kayu dan ijuk, bambu dan lain sebagainya ke desa serta pembangunnya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat desa. Ibu-ibu yang brtugas untuk menyiapkan makanan untuk pekerja juga dikerjakan dengan gotong royong.

Pada agresi ke II oleh Belanda, masyarakat desa di Taneh Karo membumi hanguskan rumah adat tradisional tersebut sebelum mengunsi ke gunung/ hutan yang jauh dari desa dengan pertimbangan supaya Belanda tidak memanfaatkan bangunan tersebut sebagai markas maupun tempat istirahatnya, padahal kalau secara akal sehat Belanda tidak akan mau memanfaatkan bangunan tersebut karena tidak nyaman untuk ukuran mereka, tapi karena perintah gerilya pada waktu itu terpaksa masyarakat desa melaksanakanya karena takut dianggap antek-antek Belanda.

Setelah tahun di atas 1950, rumah adat karo kembali dibangun juga dengan gotong royong tapi dengan desain yang lebih maju, salah satu contoh adalah yang terdapat di desa Gurukinayan, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia yang dihuni oleh 8 kepala keluarga yang masih memiliki hubungan keluarga (darah) dan memiliki 2 buah kamar tidur dan hanya dapur yang bersebelah dan telah memiliki ruang keluarga yang terbuka.

Rumah Adat Batak Karo, di desa Gurukinayan,Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia

This entry was posted in Informasi Objek Wisata Karo. Bookmark the permalink.