MENILIK NILAI-NILAI DALAM RUMAH ADAT KARO “SIWALUH JABU”

Pengantar
Secara harafiah rumah siwaluh jabu berarti sebuah rumah yang didiami delapan keluarga. Dimana setiap keluarga mempunyai peranan dan fungsi tersendiri. Ada yang sebagai kepala rumah, ada pula berfungsi semacam sekretaris, anggota, dan sebagainya. Dari karenanya bangunan itu pun harus besar dan kokoh. Belahan kayu besar dan tiang-tiang kayu berukuran diameter 60 cm sebagai penyangganya. Seluruh kayu tersebut diambil dari hutan belantara. Dinding bagian bawah agak miring k.l. 30 derajat, disertai ukiran-ukiran di sepanjang bagian dinding dan lain sebagainya. Hal yang paling rumit ialah penggunaan tali-tali ijuk untuk menyatukan papan yang satu dengan yang lain, sehingga rumah ini berdiri kokoh tanpa penggunaan paku/ besi. Semua acara pembangunan itu dilakukan secara bergotong-royong.

Oleh karena faktor-faktor tersebut kami mencoba untuk menguraikan perihal tersebut secara sistematis atau kronologis. Mulai perencanaan pembangunan, pengumpulan bahan-bahan, pembangunan, hingga peresmian bangunan (mbengketi jabu simbaru) tersebut.

Dalam pembahasa ini kelompok akan mengawalinya pembahasan dengan terlebih dulu menyajikan tentang latar belakang masyarakat Karo. Karena latar belakang ataupun karakter seseorang atau kelompok itu sangat berpengaruh dalam menghasilkan suatu karya seni. Bagaimanakah karakter dan kehidupan suku Karo? Mampukah mereka menunjukkan jati dirinya melalui seni yang ada? Apakah rumah adat si waluh jabu itu hanya sebagai tempat tinggal saja?

                                                                     BAB I
                                                      MASYARAKAT KARO

A. ASAL USUL MASYARAKAT KARO

Menurut sumber yang kami temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.
Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.
Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).

Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.

B. LETAK GEOGRAFIS TANAH KARO

Daerah yang dihuni oleh masyarakat Karo sebelum kedatangan pemerintahan kolonial Belanda ke Sumatra timur sangatlah luas. Mereka menganggap diri sebagai bangsa yang merdeka. Selanjutnya walaupun mereka tinggal di daerah pegunungan, namun karena dipaksa oleh situasi kebutuhan hidup, masyarakat ini mulai mencari hubungan dengan masyarakat di sekitar wilayah pertanian. Mereka mulai menjadi petani di sekitar pantai dan selalu membawa hasilnya ke daerah pegunungan.
Lambat laun, suku Karo semakin berkembang dan wilayah domisili mereka semakin bertambah luas. Hampir separuh daerah yang dulu dikenal Sumatra timur, yang membentang mulai dari Taming (perbatasan Aceh) sampai kerajaan siak. Adapun tempat-tempat yang didiami oleh orang Karo membentang dari Sipispis di sekitar Tebing Tinggi sebelah utara menelusuri pantai sampai di Langkat, kemudian daerah selatan ke arah Tanah Karo sekarang, dan Tiga Lingga (kabupaten Dairi sekarang) terus ke Simalungun atas dan menyambung lagi ke Sipispis. Karena memiliki jiwa yang petualang yang agresif, suku Karo berkembang lebih lanjut sampai Aceh Tenggara.
Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali, karena sebagian besar dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m di atas permukaan laut, terhampar di pegunungan Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 2o50o LU, 3o19oLS, 97o 55o-98 o38o BT. Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah Timur oleh pinggiran jalan memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Sebelah selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan sebelah utara wilayah itu meluas sampai dataran rendah Deli dan Serdang.

C. MATA PENCAHARIAN

Keadaan tanah berbukit-bukit serta diselingi oleh lembah dan padang rumput. Zat belerang dihembuskan oleh pegunungan mengakibatkan tanah di sekitarnya menjadi subur. Daerah ini sangat cocok untuk tempat bertani, yakni jeruk, cengkeh, palawija, kentang dan lainnya. Dan suhu udara di tanah Karo juga sangat sejuk antara 16o s/d 27o C, dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang daripada kemarau dengan perbandingan 9:3.
Sesuai dengan keadaan alamnya, maka mata pencaharian utama dari masyarakat Karo umumnya adalah bertani atau bercocok tanam. Dan dengan keadaan alam yang ada di daerah kabupaten karo ini sungguh banyak penghasilan yang dihasilkan oleh masyarakat karo, terutama dari hasil pertanian, yakni buah-buahan, sayur-sayuran juga berbagai jenis bunga. Selain itu sektor pariwisata juga merupakan income yang berpengaruh berupa pemandangan alam, udara yang sejuk dan perbukitan. Di samping itu tanah karo juga memiliki bahan galian meliputi belerang, batu dan pasir.

D. KARAKTERISTIK MASYARAKAT KARO

Karakteristik atau identitas dari sifat orang Karo memiliki ciri khas yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Sumatra Utara. Karakteristik orang Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang mengitarinya. Sebagai masyarakat yang terisolir di pedalaman dan sekitar hilirnya, ternyata sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan sang Pencipta, alam beserta isinya dan khususnya hubungan dengan masyarakat di dalamnya. Identitas yang sangat tampak di masyarakat Karo, terdapat 4 karakteristik, meliputi Marga, bahasa Kesenian dan adat istiadat.

a. Marga adalah identitas masyarakat Karo yang unik. Setiap orang Karo mempunyai marga, yaitu sering di sebut dengan Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan). Marga bagi orang Karo adalah hal yang paling utama dalam identitas. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan marga. Merga berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks bahasa Karo berarti penting. Setelah di tanyakan merga di tanyakan bere-bere (marga dari ibunya), dan marga untuk perempuan adalah beru. Setelah itu dapat ditentukan tuturnya. Setelah itu baru masuk dalam tema pembicaraan.

b. Bahasa Karo mempunyai bahasa khas dan mempunyai aksara yang khas pula. Bahasa dan aksara karo merupakan karya budaya yang memiliki nilai budaya yang tak ternilai harganya. Suku karo memiliki aksara, berarti nenek moyang orang Karo sudah pandai baca tulis alias tidak buta huruf. Dan bahasa karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa Kawi (Sanskerta/Jawa Kuno). Dalam kaitan ini ada beberapa kata yang mirip dengan bahasa Sanskerta, misalnya Aditya (Aditya), Soma (suma) Anggara (Anggara) dll

c. Kesenian Karo yang tradisional adalah gendang dan pakaian adat. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti perkawinan, kematian dan mengket rumah. gendang karo terdiri dari, gong, penganak, kecapi, serune, suram. Sedangkan pakaian adat karo terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, dll.

d. Adat Istiadat tertentu yang merupakan identitas adalah adanya perundingan adat yang disebut runggu (musyawarah dan mufakat) dalam perkawinan dan acara lainnya, dan rebu (pantang berbicara dengan kerabat tertentu, misalnya mertua dengan menantu). Adat rebu bagi orang karo tidak boleh langsung berbicara secara langsung, kalau mau berbicara harus dengan perantara. Contoh, jika mertua ingin mengatakan sesuatu kepada menantunya, ia akan mengatakan maksudnya dengan perantaraan orang lain atau benda lain. O batu tolong katakan kepada mertua aku mau pergi ke ladang.

Pengeretret
Disamping makna magis juga sebagai pengikat papan pada dinding rumah Si Waluh Jabu

                                                                    BAB II
                                  MASYARAKAT KARO DAN KESENIANNYA

A. HUBUNGAN ERAT MASYARAKAT KARO DAN KESENIAN

Suatu kebanggaanlah bahwa sejak zaman dahulu masyarakat Karo telah mengenal dan mengerti akan seni. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki rasa seni. Dalam berbagai hasil pekerjaan yang telah mereka lakukan, seni tentulah mengalir secara bebas dengan hidup dan tampak melaluinya sekalipun masyarakat Karo belum membagi jenis-jenis seni yang mereka lakukan melainkan menggabungkannya dalam rangkaian beberapa seni sekaligus. Misalnya, seni tari tentulah tidak dapat lepas dari seni musik dan alat musik dan di dalamnya terkadang juga terkandung nilai seni sastra melalui rangkaian bahasa yang mereka gunakan.
Kenyataan yang dapat ditemui bahwa mereka telah mampu berkreasi sejak dahulu ialah hasil yang diwarisi oleh masyarakat Karo dewasa ini dalam bentuk pakaian, perhiasan, perkakas-perkakas rumah tangga dan juga alat kesenian. Adanya alat tersebut menjadi indikator bahwa masyarakat Karo telah mampu berkreasi sejak dahulu. Selain dari itu, perhatian dan kreativitas mereka juga tampak dari bahasa dan olah vokal.

B. KARYA SENI MASYARAKAT KARO

Sebagai masyarakat yang telah menetap, tentu saja, masyarakat Karo juga telah menghasilkan karya-karya sebagai apresiasi jiwa seninya. Hal ini tentu tampak dari hasil karya seninya. Beberapa karya seni yang berkembang dalam masyarakat Karo adalah seni suara, seni gerak, seni tenun, seni bangunan, dan seni sastra.

a. Seni Suara (Erkata Gendang)
Diketahui bahwa sebelum tahun 1800-an suku Karo belum mengenal seni suara secara mendalam. Namun, setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, muncullah tanda-tanda nyata seni suara tersebut. Sebagai awalnya, masih berupa vokal panjang seperti memanggil seseorang , memanggil binatang peliharaan, menghalau burung, dan lain sebaginya. Dapat dikatakan suara-suara tersebut bersahut-sahutan dan ditemukan nada tertentu. Dari suara yang bersahut-sahutan timbullah seni suara walaupun masih belum memiliki tempo dan nada yang biasa. Dan, ketika satu lagu muncul maka lagu-lagu lainnya juga akan turut mengikut. Kemudian seiring berjalannya waktu timbullah orang yang memiliki keahlian menyanyi dan menggelutinya sebagai profesi yang kerap dipanggil sebagai perende-ende. Lagu ini masih berbau sedih dan digunakan untuk mengantar suatu cerita, doa, dan syukur, serta masih sejenis baik yang dinyanyikan oleh wanita maupun pria.

b. Seni Gerak/ Tari (Landek/ Perkolong-kolong)
Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek)disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.

Tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas tugas jenis yakni:
o Tari yang berkaitan dengan adat
Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal terebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.

o Tari yang berkaitan dengan religi
Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya.
Semua gerakan tarian religi gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang melakonkannya seperti kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya. Jadi jelas bahwa gerakan itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan tata cara secara umum.

o Tari yang berkaitan dengan hiburan
Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron).
Tari yang bersifatnya hiburan mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-gundala) salah satu tari yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari Gundala-gundala tidak hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur ceria.

c. Seni Tenun (Mbayu)
Pakaian tradisional Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan Karo pakaian Karo memiliki banyak ragan dan tentu saja guna yang berbeda juga. Pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan).
Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi tiga bagian, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian sehari terdiri dari pakaian untuk pria yaitu batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang serta sarung. Sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Dan, pakaian kebesaran terdiri dari pakaian-pakaian yang lengkap serta digunakan pada saat pesta seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian. Ragam atau jenis pakaian tradisional Karo ialah sebagai berikut;

o Uis Arinteneng
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam acara kematian.

o Uis Julu
Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut keteng-keteng sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan untuk selimut (cabin).

o Uis Teba
Hampir sama dengan sama dengan uis julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam, pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan.

o Uis Batu Jala, dan pakaian-pakaian yang lain seperti Uis Kelam-kelam, Uis Beka Buluh, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, Gatib Gewang, Uis Kapal Jongkit, Gatip Cukcak, Uis Gara-Gara, Uis Perembah, Uis Jujung-Jujungen, Uis Nipes Ragi Mbacang, uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Mangiring, dan Uis Nipes Benang Iring.

d. Seni Sastra
Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan bahasa tersebut hanya pada tempat tinggal yang masyarakatnya mayoritas suku-suku Karo. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Karo tidak memerlukan susunan bahasa yang teratur sekali. Yang perlu adalah pemahaman tentang bahasa yang digunakan.
Kendatipun demikian, penggunaan bahasa Karo yang benar dan baik tetap diperlukan karena dengan cara demikian akan memberikan suatu gambaran bagi pendengar bahwa yang berbicara memiliki wibawa serta dapat dipercaya. Pemilihan dan penempatan kata-kata yang tepat pada suatu kalimat akan menciptakan suasana tersendiri, dengan kata lalin di dalamnya telah terdapat unsur yang menarik dan indah didengar. Itu telah berarti terjalinnya suatu bahasa bernilai seni sastra atau kesusastraan. Seni sastra itu sendiri dalam bahasa Karo dapat digolongkan dengan pengertian Cakap-Lumat.Seni sastra (cakap lumat)oleh masyarakat Karo digunakan dalam suasana tertentu. Untuk lebih memperindah dan untuk membuat lebih menarik, seni sastra yang digunakan terkadang harus diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun, dan gurindam.
Hasil karya sastra masyarakat Karo umumnya terlestarikan lewat mulut- ke mulut dan saat ini sudah ada beberapa hasil karya tersebut yang dibukukan. Hasil tersebut, baik dalam rupa pantun, gurindam, perbandingan (anding-anding), bintang-bintang (mirip dengan pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita berupa mitos, dan legenda. Beberapa cerita, dongeng, dan legenda yang telah jamak dikenal oleh masyarakat Karo adalah;cerita Putri Hijau, Sibayak Barusjahe, Pawang Ternalem Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, dan Si Beru Karo Basukum.

e. Seni Ukir
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang seniman mampu menyumbangkan karyanya. Karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan untuk dipercaya memiliki kemampuan pengobatan. Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya. Lukisan itu telah dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni. Paling tidak ada empat tempat karya seni ini ditempatkan, yaitu: pada bangunan tradisional Karo (rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron), pada benda-benda pecah-belah (gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian), pada pakaian adat Karo (uis kapal, uis nipes, dan baju), dan pada berbagai benda perhiaan (gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya).
Bila dilihat dari bentuk nama ukiran Karo, beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini dapat dibuktikan atas adanya bentuk dan nama ukiran tersebut. Ragam ornamen Karo relatif banyak beberapa di antaranya adalah: tupak salah silima-lima, tupak salah sipitu-pitu, desa siwaluh, panai, bindu metagah, bindu matoguh, tapak raja Sulaiman, pantil manggus, indung-indung simata, tulak paku petundal, lipan nangkih tongkeh, kite-kite perkis, tutup dadu/cimba lau, cenkili kambing, Ipen-ipen, lukisan suki, pucuk merbung bunga bincole, surat buta, pengretret, bendi-bendi (pengalo-ngalo), embun sikawiten, pucuk tenggiang, litab-litab lembu, lukisan tonggal, keret-keret ketadu, taruk-taruk, kidu-kidu, lukisan pendamaiken, bulang binara, tanduk kerbau payung, bunga gundur, raja Sulaiman, bunga lawang, tudung teger, lukisan umang, lukisan para-para (gundur mangalata), embun sikawiten II, tulak paku, lukisan kurung tendi, osar-osar, ukiren sisik kaperas, galumbang sitepuken, ukiren kaba-kaba, likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.

f. Seni Musik
Di samping hasil karya seni yang telah diterangkan di atas, seni musik juga berkembang dalam masyarakat Karo. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Karo sejak dahulu telah mengenal seni musik. Identitas masyarakat Karo juga terbukti dari berbagai jenis alat musik. Seni musik tersebut dibuat dari bahan-bahan yang dapat diperoleh dari alam sekitar.
Gendang Karo disebut dengan lima sedalinen artinya seperangkat gendang yang terdiri dari lima bagian. Bagian itu adalah:

o Gendang Indungnya
Gendang ini terbuat dari kayu pohon nangka dengan cara melobanginya dari pangkal sampai ke ujung dan dimainkan oleh seorang penabuh. Kemudian lubang pada kedua ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh (kancil) dan antara bingkai yang satu dan yang lainnya diikat dengan tali. Bingkai gendang tersebut berguna untuk menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya terdiri dari dua buah pemukul yang terbuat dari kayu.

o Gendang anaknya
Gendang anakna hampir sama dengan gendang indungnya. Hanya saja, gendang anaknya terdiri dari dua gendang besar dan kecil. Si penabuh memukulnya dengan satu pemukul untuk menabuh yang besar dan satu lagi untuk menabuh yang kecil.

o Gung (gong)
Gong terbuat dari sejenis logam kuningan atau kangsa. Gong tersebut termasuk besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm dan dipegang oleh seorang tenaga.

o Penganak (gong kecil)
Bentuk dan bahan penganak sama dengan gong. Hanya saja, gong (gung) lebih besar dari pada penganak. Garis tengahnya kira-kira 20 cm.

o Sarunai
Sarunai adalah salah satu jenis alat musik tiup. Benda in terbuat dari pohon saluntam (semacam perdu) yang dilubangi dari ujung pangkal yang satu ke ujung pangkal yang lain dan diberi lobang pengatur suara.

g. Seni Bangunan (Mbangun)
Dalam suku Karo, begitu banyak seni bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain. Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi rumah adat si waluh jabu tersebut. Beberapa jenis karya seni bangunan lain dalam masyarakat Karo.

o Geriten
Geriten adalah rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang disimpan dalam kotak-kotak khusus.

o Jambur
Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan dan sebagainya atau duka cita.

o Batang
Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya dengan lumbung padi.

o Lige-lige
Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali. Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk acara tari-tarian atau acara adatnya.

o Kalimbaban
Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.

o Sapo gunung
Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah duka ke kuburan.

o Lipo
Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai kandang ayam dan burung peliharaan.

o Si Waluh Jabu
Bangunan inilah yang akan dibahas dalam wacana ini. muali dari pra-pembangunan, pembangunan dan pasca pembangunan. Serta bagaimana keterkaitan rumah adat ini dengan suku Karo sendiri. Berikut penjelasannya lebih rinci.

Bindu Matoguh
Bermakna ercikep simehuli (memegang yang baik)

                                                                  BAB III
                            RUMAH SIWALUH JABU SEBAGAI SEBUAH
                         KARYA SENI BANGUNAN MASYARAKAT KARO

A. RUMAH SIWALUH JABU

Begitu banyak karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat karo, rumah ada adalah karya yang terbesar bagi mereka, juga bagi orang lain. Terbukti dari hasil kunjungan para turis dan mereka sungguh-sungguh mengagumi arsitek bangunan rumah adat tersebut. Selain karena tanpa penggunaan paku/ besi, proses pembangunannya pun turut menjadi hal yang cukup spektakuler bagi banyak orang. Ditambah lagi nilai kerja sama atau gotong royong dalam proses pembangunannya mampu menjadi motivasi pada zaman dewasa ini.
Rumah adat bukanlah semata menjadi tempat tinggal atau tempat perteduh. Rumah merupakan tempat bergaul dengan semua orang. Memang pada dasarnya kebanyakan orang Karo adalah orang-orang yang suka bicara, entah itu membicarai orang istilah dalam bahasa Karo disebut dengan Cikurak. Sehingga rumah Siwaluh Jabu menjadi salah satu sarana untuk dapat membicarai orang lain atau hal-hal lain sampai pagi.
Memang rumah tersebut dihuni oleh banyak keluarga, yang notabene memiliki perbedaan sosial maupun dalam adat istiadat. Walaupun begitu di dalam rumah Siwaluh Jabu ini, persamaan senasip sepenanggungan. Segala sesuatu masalah yang mungkin terjadi akan sesegera mungkin diselesaikan oleh pihak yang berhak, misalnya kepala rumah tersebut.
Dari proses pembangunannya sendiri, nilai kerja sama atau gotong-royong sangat ditonjolkan. Sehingga setiap jabu yang berdiri kokoh bukan hanya hasil karya satu orang saja tetapi merupakan suatu hasil karya bersama. Mulai dari persiapan, pengerjaan, hingga penyelesaiannya dikerjakan bersama-sama. Ini pula menunjukkan bahwa rumah bagi suku Karo sangat dijunjung tinggi, bagi setiap orang.

B. PROSES PEMBANGUNAN

a. Prapembangunan Siwaluh Jabu (Pebelit-belitkan)

Mula-mula berembuklah semua orang yang hendak turut mendirikan rumah adat itu. Setelah perembukan itu selesai dan sudah dapat diputuskan maka dipanggillah “pandai tua” (tukang yang menjadi kepala untuk mendirikan rumah- pemborong) dan Guru Sibaso (dukun). dari dukun tersebut ditanyakan hari yang baik untuk menebang pohon ke hutan guna keperluan pembangunan rumah tersebut. Biasanya hari yang baik itu ialah pada hari “Salangsai”.
Pada waktu yang sudah ditentukan itu, pergilah orang-orang yang akan mendirikan rumah itu ke hutan bersama dukun tersebut dan gadis yang kedua orang tuanya masih sehat.
Pertama kali ditebanglah kayu Nderasi. Dipilih pohon tersebut karena namanya dalam pengucapan sama dengan serasi (seia, sekata, sejalan). Diharapkan dengan menggunakan pohon nderasi tersebut siapa yang tinggal di rumah ini kelak dan para pembangunnya dapat hidup dengan serasi. Sebelum pohon tersebut ditebang di bawah pohon itu diletakkan Belo Cawir dan Kampil Tumba (tempat sirih).
Pada waktu dilakukan penebangan pertama, hendaklah diperhatikan apakah penebangan pertama itu baik menurut gerek-gereken yang hanya dukun sanggup untuk menerangkannya. Apabila penebangan pertama itu tidak baik diulangi lagi sehingga menurut gerek-gereken itu semuanya baik. Pangkal pohon itu dipotong dan dikupas sedikit serta diikatkan daun simalem-malem daun itu terdiri dari : daun sangketen, daun jung-jung bukit, jabi-jabi, dan bertuk. Dan dilakukan oleh gadis itu.
Kemudian nderasi yang diikat dengan daun simalem-malem itu dibawa oleh gadis itu ke kampung dan sepanjang jalan diserukan alop-alopa, wa-wa-wa. Dan sesampainya di rumah makanlah semua orang. Dan seharian itu satu orang pun tidak boleh bekerja.
Setelah pohon-pohon itu dipilih dan ditandai dengan daun simalem-malem, maka keesokan harinya yakni hari kedua orang berduyun-duyun berangkat ke hutan untuk menebang kayu Nderasi itu, pandai tua juga pergi ke hutan untuk menebang kayu Sebernaik yang dianggap juga bertuah.
Pada hari yang ketiga dan keempat dicari dan ditebang lagi beberapa kayu yang lain dan perlu untuk mendirikan rumah tersebut.
Pada hari kelima disebut wari Pesalangken. Dimana pada hari ini adalah hari libur bagi para pekerja.
Pada hari ke enam masih dicari kayu yang masih kurang.
Pada hari ketujuh, para tukang dan pemilik rumah berembuk untuk menetapkan hari pebelit-belitken yakni membuat dan mengikat suatu perjanjian, dan hasilnya disampaikan kepada penghulu kampung (kepala desa) dan kepada terpuk (bagian-bagian) kampung. Makanan selama pebelit-belitken itu ditanggung oleh orang-orang yang ingin membangun rumah tersebut dan ada ketentuan-ketentuan mengenai hal tersebut.
Dalam pembelit-belitken tersebut dibicarakan berapa upah tukang, bagaimana pembayaran upah itu, kapan bangunan itu selesai, apa-apa saja kewajiban tukang dan pemilik rumah itu, hal-hal itulah yang paling utama dipercakapkan pada hari itu. Untuk menguatkan perjanjiannya kedua pihak antara tukang dan siempunya rumah saling memberikan belit (jaminan)-nya untuk menanggung apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan.
Setelah perjanjian kedua belah pihak teguh maka tukang pun meneruskan perjanjiannya. Untuk mengangkut kayu-kayu tersebut dari hutan dengan bantuan masyarakat kampung.

b. Masa Pembangunan Siwaluh Jabu (Majekken Tiang)

Mahat. Pada waktu mahat orang yang memiliki rumah tersebut memanggil 5 orang kawannya dari setiap jabu yang lain di kampung tersebut dan masing-masing membawa perkakasnya untuk mengerjakan atau memahat kayu-kayu yang ada. Pahatan pertama dilakukan oleh dukun dan kemudian dilanjutkan oleh orang lain. Sebelum dukun memulai memahatnya. Lebih dahulu diletakkannya di sisi kayu itu di atas tikar umbu-umbuan (ramuan) yang berisi : pisang, cimpa, beras kuning, beras hitam, beras merah, beras biasa, becil padi (padi yang digoreng)dan telur, serta ayam merah yang sudah di sembelih. Dan kayu-kayu itu harus selesai satu hari itu juga.
Ngampeken tekang, setelah tiang-tiang itu berdiri semua dan ramuan-ramuan perkayuan yang besar-besar telah dipasang, terkira pekerjaan tukang sudah selesai separuh. Maka selanjutnya diadakan upacara ngampeken tekang. Dalam upacara ini diundang orang-orang sekampung untuk makan bersama sebagai balas budi karena telah ikut serta menarik kayu.
Kayu-kayu yang telah terpasang dan telah dilobangi itu dihubungkan satu dengan yang lain. Dan kemudian ditegakan dengan menggunakan batu padas.
Mendirikan batu padas pertama di sebelah sudut jabu bena kayu ditentukan dengan jalan padi-padi dan di tempat itu dukun meletakkan besi mersik dan belo cawir. Setelah segala kayu terpasang dan kerangka sudah mulai berdiri tegak. Maka tukang akan menghamburkan beras dan jagung dari atas kerangka rumah tersebut, supaya ayam-ayam datang. Kemudian dari atas bangunan itu para tukang menembak ayam yang datang itu untuk dijadikan makanan para tukang dan yang empunya rumah.
Kemudian ijuk-ijuk yang telah dikumpulkan mulai dibentangkan dengan ukuran yang tertentu dan cara yang telah ditentukan.
Ngampeken ayo, pada bagian depan rumah digantungkan muka atau ayo dari rumah itu. Biasanya ayo itu terbuat dari anyaman bambu atau papan yang sudah diukur dengan ukiran-ukiran karo dan diberi bermacam-macam warna yang cocok yang sedap dipandang mata. Pada umumnya digunakan warna merah, hitam dan putih. Sebelah bawah dari ayo itu dipasang sebilah papan yang memanjang yang juga diberi ukiran.
Memasang tanduk rumah, tanduk itu berasal dari tanduk kerbau, kedua bubungan kepala rumah dipasang tanduk. Pada waktu memasang tanduk kerbau tukang akan bertanya dari atas kepada orang yang melintas dari rumah tersebut dan bertanya : Sudah tepatkah posisi tanduk ini, kurang ke kanan atau ke kirikah?
Biasanya orang yang lewat diam saja mendengar pertanyaan dari tukang itu sebab barang siapa yang menjawabnya, dipercayai kepadanya akan jatuh segala yang tidak baik (kesialan) dari yang empunya rumah. Memasang tanduk itu biasanya dilakukan pada malam hari. Dan pada bagian akhir (finising touch) dikerjakan ture (kaki lima rumah adat) dan tangganya yang kerap berjumlah tiga sebagai simbol rakut sitelu .

c. Pasca Pembangunan Siwaluh Jabu (Mbengketi Jabu Simbaru)

Seminggu sebelum memasuki rumah baru, pergilah tukang tersebut ke hutan untuk mengambil Kempawa (sebangsa bunga- bungan). Kemudian kempawa itu diikatkan pada tangga ke atas rumah tersebut. Hari untuk memasuki rumah baru ditentukan oleh dukun wari-wari. Untuk memasuki rumah baru itu yang akan menempati rumah tersebut harus mengambil daun-daun si melias gelar, yang dimana kemudian daun-daun itu akan dibagikan kepada tiap-tiap jabu dari rumah itu. Maksudnya sebagai undangan supaya orang hadir pada saat memasuki rumah/ jabu yang baru, dalam suku Karo disebut dengan Mbengketi Jabu Simbaru. Sebab dalam ketentuan adat bahwa rumah yang baru itu harus ditempati secara bersama-sama tidak boleh sendiri-sendiri atau telah ditempati pada hari-hari yang berbeda-beda.
Acara ini dibuat sebagai suatu pernyataan bahwa suatu pernyataan telah selesai suatu pekerjaan yang besar dan mulia, karena sewaktu mengerjakan menyita banyak waktu dan tenaga di samping sebagai tanda bahwa rumah tersebut telah resmi untuk ditempati. Karena
Penghuni jabu bena kayu (penghulu rumah) yang pertama kali masuk, kemudian diikuti oleh penghuni selanjutnya secara berturut-turut melalui pintu jabu bena kayu. Sewaktu memasuki rumah itu, kepala rumah membawa tanah dalam baka (bakul) dengan iringan seorang gadis yang kedua orang tuanya masih sehat. Selain itu ada juga dibawa rudang-rudang si melias gelar itu. Sewaktu melangkahkan kaki memasuki rumah tersebut menurut adat hadirin akan bersorak alop-alopa, wa-wa-wa, demikianlah diserukan sampai semua penghuni jabu tersebut duduk di jabunya masing-masing. Setelah itu setiap jabu akan merebus sebutir telur. Telur yang telah direbus itu kemudian dikupas dan diserahkan kepada dukun untuk diteliti dengan mantra tertentu untuk melihat apakah baik atau burukkah acara itu dilaksanakan itu. Dan acara diakhiri dengan makan cimpa bersama-sama.

Ornamen Gabungan lukisan Tulak paku, Bunga Bincole, Pucuk tenggiang

                                                                     BAB IV
                                           MAKNA RUMAH SIWALUH JABU

A. HUBUNGAN ERAT ANTARA MASYARAKAT KARO DAN RUMAH ADAT

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang mata pencahariannya pada umumnya adalah bertani. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tersebut mereka mau tidak mau harus punya tempat tinggal yang tetap. Rumah menjadi suatu kebutuhan yang mau tidak mau harus dipenuhi. Tempat tinggal yang tetap yang berdekatan dengan tempat pertanian merupakan hal yang wajar dan membuat mereka lebih dapat mengolah tanah dengan baik.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, rumah adalah sumber kehidupan (kosmos). Alam pikiran masyarakat tradisional, menempatkan hidup mereka pada ruang kosmos bertingkat, yaitu langit, tengah dan bawah. Rumah merupakan cikal-bakal nilai tradisi masyarakat. Rumah adat Karo merupakan simbol masyarakat pra-modern dalam memandang mikrokosmos, mikrokosmos, dan metakosmos.
Melihat rumah adat karo yang cukup besar merupakan kekayaan tersendiri. Rumah siwaluh jabu yang terdiri dari beberapa keluarga mencerminkan bahwa pada masa itu prinsip gotong-royong sangat tinggi. Masyarakat bergotong-royong baik dalam membangun rumah, mengerjakan ladang, dan dalam kegiatan sehari-hari lainnya.
Rumah adat tersebut juga agak tinggi. Hal ini kemungkinan besar untuk mewaspadai serangan binatang liar dan musuh.
Adapun fungsi rumah bagi masyarakat Karo antara lain sebagai tempat tinggal keluarga, tempat berlindung ketika terik/panas, hujan dan udara yang dingin, tempat beristirahat ketika selesai bekerja, dan tempat berkumpul atau bermusyawarah keluarga (sangkep nggeluh).

Ornamen tutup dadu dan Cimbalau

B. MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SUSUNAN RUMAH SIWALUH JABU

Rumah si waluh jabu merupakan kesenian masyarakat Karo yang unik. Adapun susunan jabu dalam rumah si waluh jabu adalah sebagai berikut:
1  –   5  –   7  –   4

                                                                3   –   8  –  6  –  2

Jabu nomor 1 disebut dengan “jabu benakayu”. Tempat ini sering juga disebut “jabu raja”. Yang menempati jabu ini adalah anggota bangsa tanah. Dalam rumah ini ia mempunyai martabat sebagai penghuni rumah. Ia menjadi kepala untuk semua orang yang tinggal di rumah tersebut.

Jabu nomor 2 disebut ‘jabu urungkayu’. Tempat ini diperuntukkan bagi ‘anak beru’ dari penghuni rumah. Penghuni jabu ini bertindak sebagai penyampai perintah atau pun nasihat dari raja. Oleh karena itu, penghuni jabu ini sering disebut ‘babah singerana’, yaitu orang yang disuruh berbicara.

Jabu nomor 3 disebut ‘jabu lepar benakayu’. Nama ini mungkin diakibatkan karena jabu ini berada di seberang jabu bena kayu. Jabu ini ditempati oleh anak dari penghuni rumah, yang termasuk juga bangsa tanah. Jabu ini sering juga disebut ‘jabu sungkun berita’. Hal ini tidak terlepas dari kewajiban penghuni tempat ini yaitu mencari dan mendengarkan berita ataupun kabar yang berkembang di luar. Misalnya kalau ada orang lain yang hendak mengadakan perang, ia harus terlebih dahulu mengetahuinya.

Jabu nomor 4 disebut ‘jabu lepar ujung kayu’. Tempat ini biasa juga disebut ‘simangan-minem’. Pada umumnya yang mendiami jabu ini ialah ‘kalimbubu’ dari benakayu (raja). Sekiranya ada perjamuan raja, kalimbubu diundang, maka kalimbubu itu duduk di tempat tersebut. Kalimbubu merupakan golongan ‘orang yang dihormati’ dalam masyarakat.

Jabu nomor 5 disebut ‘jabu sidapurken benakayu’. Jabu ini biasa ditempati anak beru menteri dari jabu bena kayu, yaitu anak beru dari ujung kayu. Jabu ini juga disebut ‘jabu peninggel-ninggel’. Berdasarkan nama tersebut jelas terlihat bahwa anak beru menteri ini berkewajiban mendengar atau menjadi saksi di dalam segala musyawarah-musyawarah rumah.

Jabu nomor 6 disebut ‘sidapurken ujungkayu’ atau sering juga disebut ‘jabu arinteneng’. Pada umumnya yang menempati jabu ini adalah anak dari kalimbubu bena kayu. Dalam pengertian atau kepercayaaan orang, anak kalimbubu ialah suatu kebahagiaan dan kebaktian pada penghuni rumah.

Jabu nomor 7 disebut ‘jabu sidapurken lepar ujung kayu’ atau juga sering disebut ‘jabu bicara-guru’. Yang menempati jabu ini biasanya diambil orang dari golongan dukun atau guru. Kewajibannya adalah menyelesaikan segala tahayul-tahayul, membuat obat, memeriksa hari-hari yang baik untuk memulai suatu pekerjaan, memeriksa hari kelahiran anak-anak, dll. Ia menjadi guru petenung yang berhubungan dengan agama.

Jabu nomor 8 disebut ‘jabu sidapurken leparbenakayu’. Tempat ini dihuni oleh anak dari ujungkayu. Tempat ini sering juga disebut ‘jabu singkapur belo’. Hal ini berkaitan erat dengan kewajiban penghuni rumah. Jika ada tamu untuk raja atau pun anggota rumah, maka isteri penghuni jabu ini datang ke jabu tempat tamu itu untuk mengatur belo (sirih), yaitu memberikan sirih kunyahan kepada tamu. Hal tersebut merupakan sebuah tanda hormat anggota rumah maupun raja kepada tamu tersebut.

Setiap rumah adat yang beranggotakan beberapa jabu mempunyai aturan-aturan dan hukum adat tersendiri yang dipimpin oleh benakayu, dan dibantu oleh lepar benakayu dan ujungkayu. Dengan lain perkataaan, rumah adat dipimpin oleh penghuni rumah beserta anak beru dan seninannya.
Masing-masing anggota rumah ini berhak untuk memakai tanah pertanian atau ladang untuk dijadikan persawahan.
Dalam hal keamanan rumah di siang hari, diadakan ‘jaga’ tiap-tiap hari. Yang berjaga itu berganti-ganti seorang dari tiap-tiap jabu, yang disebut dengan ‘kerin’.
Dalam rumah adat si waluh jabu ini dapat dilihat dengan jelas Merga si lima, Orat si waluh (sembuyak, senina sipemeren, senina siparibanen, kalimbubu, puang kalimbubu, anak beru, anak beru menteri ras anak beru singukuri), dan Rakut si telu (Kalimbubu, anak beru ras senina). Demikian juga dengan perkade-kaden si sepuluh dua (nini, bulang, kempu, nande, bapa, anak, bibi, bengkila, permen, mami, mama, ras bere-bere). Semuanya hidup dalam kesatuan hati dan pikiran untuk berbuat baik.
Berdasarkan susunan rumah adat yang unik tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa masyarakat karo suka bergotong-royong. Hal ini cukup jelas terlihat dari peran setiap jabu yang berbeda-beda satu sama lain. Kebersamaan sangat dijunjung tinggi sehingga walaupun terdiri dari delapan jabu (keluarga) tetap satu dan utuh. Hal itu semakin jelas apabila ada pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga seperti membangun rumah, menanam tanaman, memanen, maupun kegiatan lainnya.
Tambahan lagi, bahwa dalam rumah si waluh jabu tersebut yang ditanamkan adalah sikap saling menghormati, menghargai dan memperhatikan satu sama lain. Hal ini terungkap dalam moto ‘mehamat erkalimbubu, metenget ersembunyak/ersenina, janah metami man anak beru.’
Kebersamaan tersebut cukup jarang ditemui saat ini. Setiap orang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dan lebih menonjolkan kelebihan pribadi. Tidak mengherankanlah bahwa saat ini tidak ada lagi orang yang membuat rumah adat si waluh jabu. Setiap orang berlomba-lomba untuk mendirikan rumahnya pribadi. Semua orang ingin menjaga privasi pribadi dan mengutamakan kepentingan pribadi daripada membangun kebersamaan dan gotong-royong.

C. MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOL MAUPUN ORNAMEN RUMAH ADAT SI WALUH JABU

Simbol yang pertama adalah kepala kerbau. Kepala kerbau, melambangkan kesuburan dan kemakmuran manusia. Kerbau merupakan lambang kekayaan bagi pemiliknya. Kerbau juga berfungsi sebagai pengolah tanah ladang/sawah mereka. Secara umum kepala kerbau berarti sebagai gambaran adanya kehidupan bagi seluruh penghuni rumah. Peletakan kepala kerbau di atas rumah juga mempunyai makna. Peletakan di atas merupakan lambang kehidupan yang harus dekat dengan sang pencipta. Pencipta sangat berperan dalam kelangsungan hidup manusia.
Di bawah tanduk kerbau yang merunduk seperti posisi agak menyerang tergantung periuk. Periuk itu berisi air jernih yang disebut lau maturge, diisi dengan daun atau bulung-bulung simalem. Daun dan air berguna untuk menjaga agar kekuatan mistik kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan seisinya.
Pengretret bentuk cecak yang ditempatkan di dinding rumah berfungsi menangkal magis, setan, dan roh jahat. Sesuatu kekuatan magis dapat dihembuskan dan masuk menyerang penghuni rumah. selain itu, pengretret sejenis hewan yang menyerupai kadal/cecak juga dikatakan sebagai sahabat manusia. Jika ada manusia yang tersesat di hutan, mereka akan mencari beraspati hewan berkepala dua dan berkaki banyak, yang diyakini dapat menunjukkan jalan kembali ke kampung.
Gerga tapak raja Sulaiman banyak digunakan pada alat-alat dapur atau alat-alat rumah tangga lainnya. Gerga tapak raja Sulaiman diyakini memiliki makna mistis sebagai penolak racun dan penyembuh gatal-gatal, penunjuk arah dan penolak bala. Motif gerga lainnya yang pada umumnya ada di peralatan dapur adalah Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Desa si waluh (kosmos), Taiger Tudung (geometris), Bunga gundur dan Pantil manggis (tumbuh-tumbuhan), Cimba lau dan tutup dadu (Geometris) yang lebih kurang memiliki makna mistis yang sama.
Gerga yang terletak paling bawah ada pada palang dapur (takal dapur). Pada ujungnya (pertemuan sudut palang) memiliki motif seperti kuping atau telinga manusia. Kuping (cuping) melambangkan pendengaran penghuni rumah tentang suara-suara jahat dari luar rumah.
   BAB V
                                                               PENUTUP
D. KESIMPULAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ragam pesona. Bangsa yang memiliki banyak keanekaragaman sebagai aset terbesar yang dimiliki Indonesia sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa keragaman itu memiliki keunikan tersendiri. Jika kita jelajahi nusantara ini, dari Sabang sampai Merauke, kita serta merta akan menjumpai ragam budaya, ragam bahasa, ragam tradisi, ragam busana, dan sebagainya. Terpenting dari kesemuanya ialah keragaman itu diikat dengan Bineka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi satu juga. Keanekaragaman yang berbeda itu bukan menjadi pemecah melainkan merupakan sebuah kekayaan yang memberikan makna tersendiri dari satu suku ke suku yang lain, khususnya bagi bangsa persada nusantara Indonesia.
Keragaman yang demikian itu, salah satunya ialah budaya yang ada di Sumatra Utara, yakni suku Karo. Suku yang memiliki keunikan tersendiri, dan tentunya memberi kekayaan kepada bangsa Indonesia. Banyak hasil karya yang dihasilkan dan salah satunya ialah seni bangunan yang disebut Si Waluh Jabu. Rumah yang didirikan di atas sebidang tanah tanpa menggunakan besi dan dihuni oleh delapan kepala keluarga tanpa ada sekat nyata yang membatasi satu keluarga ke keluarga lain. Hal itu semua menjadi suatu keajaiban tersendiri.
Rumah bagi masyarakat Karo bukan hanya semata-mata menjadi tempat perteduh saja. “Tetapi juga meliputi peraturan tata hidup dan cara bergaul dan hidup di tengah-tengah masyarakat terkecil sampai kepada yang lebih besar. Tegasnya sebagai peraturan hidup dalam masyarakat atau negara dalam format terkecil ”
Hidup bersama dalam rumah si waluh jabu mampu memberikan keunikan, hidup dalam rumah yang serba transparan tanpa ada dinding penyekat yang membatasi satu keluarga dengan keluarga yang lain. Dapur yang menjadi pembatas juga turut memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Karo. Dengan ini ingin ditonjolkan bahwa masyarakat Karo merupakan masyarakat yang transparan atau mau terbuka bagi orang lain. Lima batu sebagai lambang marga silima. Dan masih banyak lagi hal-hal yang ingin disampaikan melalui karya yang dahsyat ini. Intinya bahwa segala sesuatu yang ditampilkan akan memberikan gambaran dan makna tertentu.

B. REFLEKSI
Dewasa ini banyak peninggalan adat istiadat atau budaya masa lalu kurang terpelihara. Seandainya masih berdiri atau ada pun kemungkinan hanya merupakan puing-puingnya saja, atau telah di reduplikasi atau sudah ditambah dengan properti lain (mis. Besi/ Semen) dewasa ini.
Demikian pula pada rumah adat si waluh jabu ini, banyak rumah-rumah ini sudah ambruk karena tidak dirawat lagi mungkin karena kurangnya perhatian khusus. Sebenarnya bila kita mampu memberikan perhatian khusus dengan merawatnya bukan tidak mungkin bahwa rumah ini akan menjadi salah satu jalur pariwisata yang laris, setidaknya menjadi ajang untuk mencoba mengungkap “keajaiban” yang terkandung dari arsitekturnya.
Memang harus diakui bahwa perawatan ini memungut biaya yang sangat besar tetapi akan lebih besar manfaatnya. Kita dapat mengenang masa lalu dan menerapkan semangat bergotong-royong di masa kini demi tercapainya suatu keselarasan hidup di masa depan.
Pengenalan akan seni dan budaya masing-masing manusia harus diperkenalkan sejak dini. Dengan hal tersebut kita akan terbantu untuk memberikan suatu sumbangsih yang besar. Posted on Mei 23, 2010 by tantabangun

This entry was posted in Adat Istiadat Karo. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *