TOKO SIWAH SADA GINTING DAN KEDAI PA JAGAM


Dahulu, “Toko Siwah Sada Ginting dan Kedai Pa Jagam” yang berlokasi tidak jauh dari Titi Benggali dikenal oleh masyarakat umumnya dan khususnya masyarakat Karo sebagai tempat ngetem / stasiun pembantu untuk daerah Padang Bulan untk bus tujuan dataran tinggi Karo atau Kabupaten Karo tentu ada sejarahnya sehingga pada waktu itu semua penumpang untuk tujuan daerah tersebut, memulai perjalanannya melalui Stasiun Pembantu Siwah Sada Ginting, tapi kenapa sampai demikian mungkin banyak masyarakat Karo khususnya generasi muda Karo yang tidak mengetahuinya. Oleh sebab itu saya ingin memberi masukan kepada kita kenapa Toko Siwah Sada Ginting dan Kedai Pa Jagam menjadi salah satu tempat pemberhentian untuk tujuan ke Kabupaten Karo dimana mungkin masukan tersebut berguna bagi kita semua khususnya masyarakat Karo.
Seingat saya, sebelum terjadi peristiwa G30S tahun 1965, Stasiun Sei Wampu (dulu disebut demikian, bukan Terminal Sei Wampu) adalah merupakan salah satu Stasiun untuk bus tujuan ke arah Kabupaten Langkat, Aceh, Dairi, Karo, Simalungun (Saribodolok, Haranggaol), Kuta Cane dan sekitarnya. Sedangkan untuk daerah Kabupaten Simalungun (P.Siantar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Sibolga), Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) dan Kabupaten Asahan (Tanjung Balai) serta ke daerah Pekanbaru, Sumatera Barat dan sekitarnya di Stasiun Sisingamangaraja dekat Stadion Sepak Bola Jalan Sisingamangaraja.
Kembali ke Stasiun Sei Wampu Medan, pada tahun 60′an seperti fasilitas umum lainnya banyak dikuasai (?) organisasi pemuda dari berbagai partai politik yang anggotanya menggantungkan hidupnya sebagai mandor, tukang sapu/ cuci bus dan lain sebagainya yang kebetulan pada tahun sebelum G30S tersebut di kuasai oleh pemuda Marhaen yang identik dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) Ali Surahman dan bukan PNI Osa Osep yang kebetulan anggotanya sebagian besar dari suku Karo di daerah tersebut, yang salah satu sebagai “Mandor” (Kepala Operasional) untuk bus antar kota Medan – Kabanjahe PP yang sekarang disebut Trayek AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi), sehingga pada waktu itu semua calon penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Tanah Karo dan sekitarnya semua naik bus dari Stasiun Sei Wampu Medan, sehingga bus-bus yang penumpangnya masih sedikit setelah keluar dari Stasiun masih “ngetem” beberapa menit di luar Stasiun dan selanjutnya ngetem lagi di depan Pajak Peringgan dan baru bus tersebut berangkat menuju Kabupaten Karo (Berastagi, Kabanjaeh, Kuta Buluh, Tiga Binanga dan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa pada waktu operasi bus hanya 1 (satu) trip yaitu Kabanjahe – Medan pulang pergi dan bukan seperti sekarang paling tidak 2 (dua) trip setiap hari, karena pada waktu itu kondisi jalan tidak semulus pada saat ini.
Pada saat pristiwa G30S tersebut terjadi gejolak disetiap sektor, termasuk sektor tranportasi khususnya di Stasiun Sei Wampu, dimana Pemuda Pancasila yang identik partai politik IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) melakukan “penyerangan/ menguasai” atau bentrok dengan Pemuda Marhaen di Stasiun Sei Wampu yang anggotanya sebagian besar dari suku Batak Toba dan sebagian kecil suku Tamil yang mengakibatkan terjadi luka-luka yang cukup serius antar kedua belah pihak, sehingga kususnya mandor dari suku Karo dari Pemuda Marhaen harus hijrah ke Padang Bulan Medan dan kemudian “membangun” Stasiun Pembantu di Padang Bulan yang kebetulan lokasinya memunginkan untuk parkir/ ngetem di depan Toko Siwah Sada Ginting.  Sejak pristiwa tersebut kalau tidak salah pada bulan November 1965, semua bus untuk tujuan Tanah Karo antara lain : PO. Liberty; PO. Tani; PO. Selamat Jalan; PO. Pelita; PO. Sutra; PO. Saudara; PO. Swift; PO. Sebayang; PO; Selian; PO. Pinem dan lain sebagainya tidak ada yang berani masuk Stasiun Sei Wampu dengan alasan keamanan para awak yang sebagian besar dari suku Karo. Penumpang untuk tujuan Medan hanya sampai di Pasar Peringgan dan bus langsung putar arah ke Stasiun Pembantu Siwah Sada Ginting Padang Bulan Medan, sehingga penumpang untuk tujuan Binjai, Pangkalan Berandan dan sekitarnya harus naik becak atau angkutan kota ke Stasiun Sei Wampu. Sedangkan bus dari Sidikalang, Haranggaol, Kuta Cane dan sekitarnya tetap masuk Stasiun Sei Wampu seperti biasa, yang tidak masuk hanyalan bus-bus yang berasal dari Kabupaten Karo yang pada waktu itu “dianggap” identik dengan Pemuda Marhaen.
Walaupun demikian masih ada satu perusahaan otobus dari Tanah Karo yang berani masuk dan mengangkut penumpang di Stasiun Sei Wampu yaitu perusahaan otobus PO. Sinabung Jaya, walaupun crew nya sebagian besar dari suku Karo. Hal ini dapat terjadi karena pada waktu itu abang tua saya Drs. Kueteh Sembiring (alm) alumnus pertama suku Karo dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan seangkatan dengan Bapak Prof. Dr. Emil Salim duduk sebagai Ketua Umum IPKI Provinsi Sumatera Utara, yang salah satu organisasi kepemudaanya adalah Pemuda Pancasila. Pada waktu itu hanya PO. Sinabung Jaya (karena intruksi dari Drs. Kueteh Sembiring) yang secara rutin malayani trayek Kabanjahe – Medan PP yang sampai di Stasiun Sei Wampu. Walaupu perusahaan tersebut sampai di Sei Wampu, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penumpang untuk tujuan Kabupaten Karo dan sekitarnya di Medan tidak lagi naik bus dari Stasiun Sei Wampu tapi langsung menunggu bus di Pajak Peringgan atau Stasiun Pembantu Siwah Sada Ginting Padang Bulan Medan, kecuali penumpang yang berasal dar Binjai atau Pangkalan Berandan dan sekitarnya. Walaupun PO. Sinabung Jaya sampai di Stasiun Sei Wampu, tapi perusahaan ini tetap bergabung berdasarkan ” jam trip” dengan perusahaan lainnya tersebut di atas.baik di Stasiun Kabanjahe maupun Stasiun Berastagi. Hanya dari Medan, PO. Sinabung Jaya karena dianggap tidak patuh/ membelot maka terpaksa membangun Stasiun Pembantu di Padang Bulan tepatnya “Kedai Pa Jagam’ lebih kurang 100 m sebelum Siwah Sada Ginting atau dekat Konsul Belgia yang juga berlokasi disebelah kiri jalan arah Pancurbatu. Saya tidak tahu persis apakah Kedai Pa Jagam maupun Toko Siwah Sada Ginting di jalan Jamin Ginting tersebut masih beroperasi atau tidak demikian juga dengan Kedai Pa Jagam…….. mungkin ahli warisnya yang dapat menjawabnya, yang penting tulisan tersebut dapat sebagai salah bahan masukan kepada kita semua yang ingin mengetahui seluk beluk transportasi angkutan penumpang Kabanjahe – Medan PP pada tahun 1960 s/d 1970.
Demikianlah, semoga bermanfaat dan mohon diberikan masukan untuk menyempurnakan riwayat tersebut di atas, terima kasih.
Rophian Sembiring Gurukinayan (Direksi PO. Sinabung Jaya) – Jakarta.

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *