ADA DUNIA DI BAWAH

Ada Dunia di Bawah

( Gua Pintu Air di Bahorok )

Sabtu, 8 November 2008 | 09:56:48

“Seseorang dapat mencintai sesuatu secara sehat apabila ia mengenal objeknya”.

Itu Soe Hok Gie yang bilang. Dia adalah seorang aktivis kemahasiswaan tahun enampuluhan yang akhirnya mati keracunan gas di puncak Gunung Semeru tahun 1969. Dia mencintai alam, dan alamlah kemudian yang memanggilnya.

Penggalan kata Soe Hok Gie tersebut cukup memberi inspirasi bagi kami untuk melakukan perjalanan ke objek-objek yang luar biasa. Itu juga yang mengilhami saya bersama Dedi, Arif dan Manto memilih melewatkan akhir pekan dengan menelusuri gelapnya Gua Pintu Air di Bahorok.

Off Road di Jalan Utama
Sudah tengah hari ketika kami tiba di Kota Bahorok, Kabupaten Langkat, setelah sekitar 4 jam duduk di atas Bus Pembangunan Semesta trayek Terminal Pinang Baris Medan–Bukit Lawang. Setelah membayar ongkos Rp 7.000 tiap orang, kami turun dari bus yang tampak sudah uzur itu.

“Merdeka!” teriak Arif sambil sedikit meregangkan ototnya. Maklum, selama perjalanan, tak ada kenyamanan sedikit pun di dalam bus. Kondisi jalan bak jalur off rod. Padahal jalan yang kami lalui adalah satu-satunya jalan menuju objek wisata Bukit Lawang yang sudah tersohor dengan pusat rehabilitasi orang utannya (Pongo Pygmeus Abelii).

Dari Bahorok, kami menuju Dusun Tanjung Naman dengan menumpang becak mesin. Waktu tempuh sekitar 20 menit. Ongkos Rp 10.000 per orang. Kondisi jalan menuju Dusun Tanjung Naman tak lebih baik dari jalan yang baru kami lalui. Kebun karet dan kelapa sawit menghiasi pemandangan sepanjang jalur ini.

Bangku Persaudaraan
Dusun Tanjung Naman adalah desa terakhir yang kami lalui untuk sampai di Gua Pintu Air. Dusun ini didiami masyarakat suku Karo, Jawa dan Melayu, yang hampir semuanya hidup dari bertani. Dusun ini dihuni oleh sekitar 50 kepala keluarga. Setelah beramah-tamah sejenak dengan penduduk yang kebetulan berpapasan, kami melanjutkan perjalanan. Penduduk sudah terbiasa dengan pendatang yang ingin melakukan penelusuran gua di dusun ini. Maklum, Dusun Tanjung Naman merupakan pusat kegiatan penelusuran gua di Sumatera Utara yang sudah cukup dikenal luas. Menurut hasil eksplorasi yang dilakukan Korps Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Universitas Sumatera Utara (KOMPAS-USU) pada tahun 1999 bersama Mapala Universitas Indonesia, terdapat delapan gua yang berada di sekitar dusun ini. Gua Pintu Air sendiri adalah salah satu dari enam gua horisontal yang mereka telusuri.

Dari Tanjung Naman, Gua Pintu Air dapat dicapai sekitar satu jam berjalan kaki. Tiga puluh menit pertama merupakan ujian terberat yang harus kami lalui sebelum mencapai gua. Dengan keringat yang menjagung, kami terus memperpendek jarak hingga akhirnya melampaui tanjakan ”sakit hati”. Di penghujung tanjakan, pada sebuah bukit kecil, kami berhenti sejenak untuk menikmati panorama yang cukup menawan. Tempat ini sebenarnya kebun karet yang biasa dijadikan penduduk sebagai tempat peristirahatan bila ingin ke ladang atau pulang dari ladang.

”Ayo, mari duduk. Ini adalah bangku persaudaraan,” kata seorang pemikul getah karet yang kebetulan istirahat di tempat itu. Dari puncak bukit ini, kami dapat melihat Kota Bahorok di kejauhan.

Selanjutnya kami menuruni jalan setapak menuju Sungai Pengkurukan, sebuah anak sungai yang memiliki arus vadose yang mengalir melalui lorong Gua Pintu Air dan Gua Pasar. Aliran itu akhirnya akan bergabung dengan Sungai Bekail. Sungai ini sendiri merupakan anak Sungai Wampu yang terkenal dengan wisata arung jeramnya.

Setelah berjalan sekitar tiga puluh menit, kami tiba di entrance (mulut gua) Pintu Air. Daerah sekitar pintu masuk gua ditumbuhi paku-pakuan, dan bukit di atasnya masih dibalut hutan alam yang lebat. Tetapi lahan di depannya sudah berubah menjadi kebun karet. Sebagian masih berupa lahan tidur yang dulunya pastilah hutan yang sudah digunduli. Tak jauh dari mulut gua terdapat Pondok Bang Arun. Pondok inilah yang biasa dijadikan base camp para penelusur gua dan di sini kami akan bermalam. Mulut gua Pintu Air terletak pada koordinat 03º28’13,6”LU 98º 08’ 43,1”BT.

Merangkak di Air Dingin
Selepas makan siang dan melepas penat selama perjalanan, kami mulai start melakukan penelusuran Gua Pintu Air. Sudah pukul 13.00 WIB ketika cahaya senter kami mulai menerobos kegelapan. Walau pada saat itu debit Sungai Pengurukan kecil, kami tidak mau ambil risiko. Life jacket dan helmet harus tetap menempel di badan untuk antisipasi apabila terjebak banjir dadakan. Dedi, sebagai trip leader berjalan di depan, diikuti Arif yang dengan antusias mendengarkan setiap pemaparan dari Dedi tentang proses pembentukan speleothem (ornamen gua) dan fauna gua. Rupanya ini adalah pengalaman pertama baginya berada di perut bumi.

Memasuki Gua Pintu Air, kami disambut tumpukan batang-batang pohon yang terbawa pada saat banjir besar. Baru sekitar 20 meter dari mulut gua, tubuh kami sudah harus terapung-apung dalam genangan air dingin. Di bagian atas tampak stalagtit-stalagtit bak gigi raksasa menghiasi langit-langit gua. Sepertinya gigi-gigi itu hendak mengunyah kami. Beberapa ekor katak berwarna coklat kemerahan berloncatan karena merasa terganggu.

”Seperti di TV saja,” bisik Arif ketika kami sudah berada sekitar 300 meter ditelan gua. Kami dihadapkan pada sebuah fenomena bawah tanah yang mengagumkan. Sebuah ornamen berbentuk tirai pipih terjuntai pada dinding gua. Sekilas tampak seperti geraian tirai di etalase toko. Cahaya head lamp kami membuat permukaannya yang berlapis pasir menjadi berkilau-kilau. Manto pun meminta waktu sejenak untuk mengabadikan fenomena itu.

Sejenak saja, selepas prosesi pemotretan, kami mendengar Arif berteriak terkejut. Ternyata saat mencoba merangkak ke lorong-lorong kecil di luar lorong utama, tak sengaja tangannya menyentuh seekor laba-laba di dinding lorong. Laba-laba (Dolomendes sp) yang berwarna coklat kehitaman mirip laba-laba serigala itu ternyata sedang memburu seekor jangkrik (Ceutrophilus maculatos). Jangkrik ini memiliki sungut yang panjang sebagai radar pengganti mata yang tidak dapat melihat dalam gelap. Sambil melanjutkan penelusuran, Dedi mengingatkan Arif bahwa suara dapat merontokkan ornamen gua dan mengganggu habitat gua.

Perlahan tapi pasti kami sudah semakin jauh dari mulut Gua Pintu Air. Suhu di gua sepanjang kurang lebih 1.091 meter ini serasa semakin dingin saja. Pada jarak sekitar 600 meter dari mulut gua, dengan cahaya head lamp, kami dapat melihat gelondongan kayu hampir di atap gua. Pemandangan ini cukup membuat bulu kuduk merinding. Hal ini berarti ketinggian air pernah mencapai titik tersebut. Berarti bahaya besar akan mengancam bila terjadi banjir dadakan. Kami harus segera menuju exit gua atau memanjat ke dinding yang lebih tinggi dari batas permukaan air yang pernah ada.

Debit air vadose Gua Pintu Air yang pada saat itu kecil membuat kami tidak kesukaran untuk menelusurinya. Sepanjang penelusuran, lebih banyak stalagtit (ornamen berbentuk kerucut menggantung di langit-langit gua dan dinding gua) dibanding stalagmit (ornamen berbentuk kerucut terletak di dasar gua) yang ditemui. Stalagmit hanya ditemukan pada teras-teras gua. Hal ini terjadi karena endapan yang jatuh pada arus vadose akan ikut terlarut. Tetapi endapan yang jatuh pada teras gua akan membentuk ornamen baru.

Menjelang exit, kami kembali disuguhi pemandangan yang dahsyat. Sebuah flow stone, jenis ornamen gua yang menyerupai air terjun membeku, bergelantung pada dinding gua. Pada flow stone raksasa ini banyak terdapat mikro gourdam (ornamen berupa petakan-petakan sawah) pada permukaannya. Tak dapat kubayangkan butuh berapa lama untuk menghasilkan ornamen sebesar itu. Di sekitar air terjun yang terasa beku, kami menyaksikan koloni kelelawar dari keluarga Philostomatidae. Jumlahnya sangat banyak. Sebagian beterbangan dengan suara yang bising, mungkin merasa terusik. Sebagian lagi begelantungan dengan mulut yang komat-kamit menandakan kewaspadaan atas kehadiran kami. Aroma guano (kotoran kelelawar) terasa sangat menyengat di tempat ini.

Sekitar 30 meter menjelang exit, ada cahaya terang dari atap gua. Sebuah jendela besar terlihat kecil dari bawah karena tertutupi teras gua. Debit air menjelang exit semakin besar karena ada banyak anak sungai yang menyatu dengan Sungai Pengkurukan selama melintasi Gua Pintu Air. Anak sungai ini membentuk lorong tersendiri sebelum masuk ke lorong utama.

Tapal Batas
Pukul 18.30 WIB kami tiba di exit. Lega rasanya dapat melihat cahaya lagi walaupun saat itu mulai gelap. Pintu keluar gua dihiasi akar-akar yang bergelantungan, menyentuh kepala saat kami melaluinya. Dengan tubuh yang menggigil, kue kering ludes dalam sekejap.

Di sebelah pintu keluar gua, ada sebuah tapal batas dari semen bertuliskan BPN, PT SLS 189, entah apa artinya. Mungkinkah itu menandakan lahan perusahaan semen yang akan beroperasi di daerah ini? Kalau benar, maka ke depannya Gua Pintu Air hanya akan tinggal dalam cerita dan laporan kami. Dengan rasa penasaran, kami kembali ke base camp, tetap melalui lorong  gua.
Esok harinya, setelah mengulangi penelusuran sekali lagi sambil melengkapi dokumentasi Manto, kami pun bergegas pulang. Bayangan kehancuran laboratorium alami Gua Pintu Air masih saja muncul setiap kami mengagumi setiap ornamennya. Semoga saja izin perusahaan semen itu tak pernah keluar. Itulah kutukanku selama-lamanya.

teks oleh remondias tarigan

Terdapat (3) Tanggapan

Anton Lois Fikal | 15/10/09. 17:52:46

Saya Sudah Pernah Menjelajahi Gua Pintu Air… dan Saya senang Sekali Akan Keadaan Di dalam Gua Dan sekitarnya.. Bener2 Karya TUHAN yg Luar Biasa.. Saya dan temen2 sering Berpetualang Menjelajahi Tempat2 alam Yg indah dan Mengagumkan,,
Saya Mempunyai sebuah community Adventure Yg Base camp nya terletak di Medan,
Saya Harap Di Kemudian Hari Kita Bisa Berjumpa dan Berkerja sama untuk membuat indonesia menjadi Truly Asia In the World..
Kunjungi Kita di Fb
search The Green family Adventure
Bergabunglha bersama kita
Best regards
Anton Lois Fikal

ramon | 19/09/09. 04:05:45

saya sering ke goa patu rizal n goa pintu air.. luar biasa pemandangan nya,,

Jewi jap | 30/05/09. 13:46:26

Kedengarannya seperti trip petualangan yang cukup seru, saya sendiri pingin juga mencobanya. jadi tolong bantu ngasih sedikit info ya.
1. Di base camp ada disediain peralatan untuk caving gak(yang disewakan gitu)? ato peralatannya musti kita bawa sendiri?
2. Ada tour guide yang bisa antarin guide kita gak?
thanks.

This entry was posted in Jelajah Objek Wisata Karo. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *