Tipi, salah satu tokoh dalam film Turang.
Film Turang menawarkan perspektif lain dalam sejarah revolusi Indonesia: bagaimana heroisme ditunjukkan oleh keluarga biasa. Kini, film ini diputar kembali dalam rangka peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika.
Film karya sutradara Bachtiar Siagian yang diproduksi pada 1957 ini mengisahkan perjuangan warga dan tentara Indonesia melawan agresi Belanda di tanah Karo, Sumatra Utara, pada masa Revolusi.
“Itu bukan di Berastagi. Masuk lagi ke dalam, ke atas gunung,” ujar pegiat film Hafiz Rancajale mengenai lokasi film Turang yang dilakukan di Desa Seberaya dan beberapa desa lainnya di Kabanjahe, Kabupaten Karo.
“Kalau kita pikirkan, peralatan zaman dulu itu kan gede-gede semua. Kamera gedenya minta ampun,” tambah Fafiz, yang juga sutradara film dokumenter Bachtiar—bercerita tentang sosok Bachtiar Siagian.
IKLAN
Tantangan dalam proses pembuatan film inilah yang menurut Hafiz patut untuk dicatat, selain keberanian sutradara dalam melibatkan aktor-aktor lokal sebagai pemeran.
Paling banyak dibaca
Sempat ‘hilang’ puluhan tahun, bagaimana ‘Turang’ yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?
Di balik pujian dan kritikan terhadap Jumbo, film animasi terlaris se-Asia Tenggara – ‘Mengungkap bagaimana anak memproses duka kehilangan orang yang dicintai’
China balas AS dengan membatasi ekspor unsur tanah jarang – Apa itu unsur tanah jarang dan apa kegunaannya?
Dokter di Garut jadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, korban diperkirakan lebih dari satu orang – ‘Saya merasa risih, USG berlangsung lama’
Akhir dari Paling banyak dibaca
Sebanyak 95% pemeran dalam film Turang adalah pemain lokal, menurut Bunga Siagian, putri Bachtiar Siagian.
Pengambilan gambar di lokasi asli, dengan pendekatan realistis, dan melibatkan aktor-aktor lokal adalah semangat yang dibawa gaya neorealisme dalam film Turang.
Film bergaya seperti ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa dengan cara yang realistis dan naturalistik.
Turang diputar pertama kali di Istana Negara di depan Presiden Sukarno. Pada 1960, film ini meraih predikat film terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional—yang kelak akan jadi Festival Film Indonesia.
Mengapa film Turang menghilang?
Menghilangnya Turang, bersama dengan film-film Bachtiar Siagian lainnya dan film-film yang diproduksi sutradara-sutradara ‘kiri’, tidak dapat dilepaskan dari Peristiwa 1965.
Mereka yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh dan ditangkap, termasuk para anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang punya afiliasi dengan PKI.
Bachtiar sendiri menghabiskan waktu 12 tahun dipenjara di Pulau Buru karena keterlibatannya di Lekra.
Karya-karya yang dihasilkan para seniman yang terlibat dengan Lekra pun mengalami nasib yang tak kalah malang dari para penciptanya, “kalau tidak dimusnahkan, ya disensor,” kata Bunga Siagian.
Turang mengisahkan perjuangan warga dan sekelompok tentara republik di tanah Karo, Sumatra Utara, saat melawan agresi Belanda pada masa Revolusi.
Dalam penelitiannya, Bunga juga menemukan dokumen Perusahaan Film Negara (PFN) yang menginstruksikan penyingkiran dan pemusnahan film-film bertema komunisme.
Dalam teorinya peraturan tersebut hanya menyasar film-film yang diproduksi PFN, padahal Turang produksi perusahaan swasta.
“Tapi kan secara otomatis juga yang di luar PFN, orang-orang film, juga berpikir begitu. Itu kan karakternya Orde Baru,” kata Hafiz.
“Yang disebar Orde Baru ketakutan itu. Terornya.”
Tidak ada orang yang ingin kedapatan punya hubungan dengan para seniman atau menyimpan karya-karya yang dianggap punya kaitan dengan ideologi komunisme.
Faktor lainnya yang juga berperan dalam menghilangnya banyak arsip film adalah buruknya sistem pendokumentasian film. Baru pada akhir 1970-an, Indonesia punya pusat penyimpanan film.
Pada 1975 lembaga pengarsipan film, Sinematek Indonesia, mulai dirintis oleh tokoh-tokoh film seperti Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani.
“Jadi, kebayang sebelumnya film-film itu enggak tahu siapa yang simpan. [Ada juga yang] disimpan secara mandiri sama produser-produsernya,” tambah Bunga.
Turang adalam film karya sutradara Bachtiar Siagian yang diproduksi pada 1957.
Untungnya masih ada para pengusaha bioskop keliling alias pengusaha layar tancap.
Salah satu pengusaha layar tancap ini juga yang pada 2000-an mendatangi Sinematek dan menyumbangkan beberapa koleksinya karena tak sanggup memelihara koleksi filmnya.
Termasuk yang disumbangkan itu sebuah film karya Bachtiar.
“Ada satu film judulnya Violetta yang ada di Sinematek, itu pun sumbangan dari satu produser layar tancap,” kata Bunga.
Tapi nasib Turang tetap jadi misteri.
‘Primadona’ di Festival Film Asia Afrika
Pada Februari 1960, Turang menyabet penghargaan dalam Pekan Apresiasi Film Nasional—yang kelak akan jadi Festival Film Indonesia—dalam kategori bergengsi: film terbaik dan sutradara terbaik.
Tapi sebelum itu, Turang sudah jadi ‘primadona’ dalam Festival Film Asia Afrika pertama yang digelar di Tashkent, Uzbekistan, pada 1958.
Ini adalah festival yang digelar sebagai perpanjangan Konferensi Asia Afrika di Bandung yang membawa semangat antikolonialisme dan pembentukan tata dunia baru.
Akademisi dari Concordia University Montreal, Elena Razlogova, menulis dalam papernya bahwa Turang adalah “The most celebrated picture at Tashkent.”
Penonton memenuhi kapasitas bioskop dan melihat layar dengan takjub melihat cerita Rusli dan Tipi—karakter dalam film Turang—yang dialognya telah disulih suara dalam bahasa setempat.
“Semua film yang diputar di festival itu, diterjemahkan ke dalam bahasa lokal secara langsung. Jadi, live-translation gitu,” kata Bunga.
Setelah pemutaran film tersebut, produser turang Abubakar Abdy didekati delegasi dari Soviet dan Korea Utara yang berminat untuk membeli hak distribusi film.
Siapa sangka, pemutaran di Festival Film Asia Afrika ini pula yang akhirnya ‘menyelamatkan’ nasib Turang kelak.
Mencari Turang si ‘anak hilang’
Penemuan kembali Turang tak bisa dilepaskan dari minat Bunga yang telah lebih dari satu dekade berupaya untuk melacak jejak film-film ayahnya.
Pada 2022, kesempatan itu datang ketika dia ambil bagian dari pameran seni kontemporer internasional Documenta di Kota Kassel, Jerman.
“Saya ketemu seniman video dari Tashkent. Karena saya tahu ini film pernah dikirim ke Tashkent, lalu saya minta sama dia, ‘Hey, kamu boleh enggak bantuin saya nyari film papa saya.'”
Setelah lebih dari satu tahun, Bunga yang sibuk bekerja sebagai peneliti, kurator, dan seniman, kemudian mendapatkan kabar dari temannya itu bahwa di pusat arsip film Rusia Gosfilmofond, Moskow, ada berkas film berjudul Turang.
Penemuan kembali Turang tak bisa dilepaskan dari minat Bunga yang telah lebih dari satu dekade berupaya untuk melacak jejak film-film ayahnya.
“Tapi saya enggak yakin, apakah itu filmnya atau bukan. Karena mereka cuma nyimpan, tapi enggak ada nama sutradara,”
Untuk meninjau berkas juga tidak mudah sebab ada sederet urusan administrasi, termasuk keuangan yang harus dipenuhi.
“Karena saat itu Perang Ukraina, jadi mereka tuh curiga sama institusi Eropa. Jadi, benar-benar enggak gampanglah. Mereka sangat tertutup,”
Tapi berkat kerja kolektif dan solidaritas yang melibatkan banyak aktivis kebudayaan dan akademis dari berbagai pada akhirnya Turang bisa ditemukan kembali.
“Gosfilmofond mengirim preview-nya ke kami. Dan benar itu filmnya!”
Pada Februari 2025, Turang kembali hidup.
Kisah Tipi dan Rusli diputar kembali di hadapan para penonton di Festival Film Internasional Rotterdam di Belanda—bersama dengan pemutaran film dokumenter Bachtiar karya Hafiz Rancajale.
Akhirnya Turang pulang
Turang ‘selamat’ karena diikutkan dalam Festival Film Asia Afrika pertama di Tashkent.
Festival itu sendiri adalah bagian dari proyek pembentukan dunia baru, dunia ketiga, yang dicetuskan Konferensi Asia Afrika di Bandung 70 tahun yang lalu.
Dalam rangka peringatan itulah, Bunga menawarkan inisiatif terbuka untuk berbagai komunitas menyelenggarakan kegiatan nonton bareng Turang.
“Periodenya aku bikin sama kan, tanggal 19 sampai 30 April, di bulan yang sama sama KAA,”
Mekanisme terbuka semacam ini sengaja dipilih agar Turang tidak hanya dirayakan di pusat-pusat perfilman atau kebudayaan.
“[Biar] bisa dirayakan sama orang-orang di luar Jakarta. Terdesentralisasi,” kata Bunga.
Ajakan terbuka pemutaran film Turang
“Ke depannya ada rencana buat upload di YouTube tentu saja,”
Sejauh ini minat untuk menyelenggarakan pemutaran Turang telah datang dari berbagai komunitas.
“Dari Palu, Lombok, Bali, Makassar, Malang, Batu, Jogja, tentu saja Bandung. Banyak sih,”
Di antara para peminat, terselip pesan yang bikin Bunga terharu, “Saya dapat email dari seseorang yang bilang, ‘gimana ya cara saya dapat undangan nonton karena ayah saya main di film itu?'”
“Aku kirim saja beberapa screenshot bagian [adegan] bapaknya.”
Siapa Bachtiar Siagian?
Bachtiar Siagian (19 Februari 1923-19 Maret 2002) adalah salah satu sutradara besar di Indonesia.
Putri Bachtiar, Bunga Siagian, menyebut ayahnya “terlibat sebagai pejuang kemerdekaan”.
“Dia masuk ke hutan, dan segala macam. Jadi, punya jaringan bersama masyarakat Karo yang waktu itu terlibat sangat aktif pada masa Revolusi Sosial di Sumatra,” kata Bunga.
Kelak jaringan warga dan seniman yang ditemuinya semasa perjuangan inilah yang jadi modalnya untuk membuat film Turang. Tapi untuk sampai di film ini, Bachtiar mulai dari nol.
Pegiat film dan sutradara film dokumenter Bachtiar, Hafiz Rancajale, menyebut pada kurun 1950-an hingga 1960-an Bachtiar bersama sutradara-sutradara ‘kiri’ lainnya adalah tokoh besar dalam dunia film, “bahkan dalam dunia kebudayaan”.
“Dia membuat kelompok teater. [Pada zaman Jepang] dia juga bertemu dengan sutradara Jepang. Dia diajak membuat film, kemudian mengenal mulai teori-teori film, teori-teori film dari Rusia, dari buku (Vsevolod Illarionovich) Pudovkin,” kata Hafiz.
Sejak 1955 dia telah membuat sedikitnya 13 film cerita dan beberapa film dokumenter.
Keterlibatannya dalam Lekra yang akhirnya menuntunnya ke beberapa penjara. Mulai dari Salemba di Jakarta hingga Pulau Buru di Maluku. Bachtiar tak pernah diadili dan dibebaskan pada 1977.
Jaringan warga dan seniman yang ditemui Bachtiar semasa perjuangan inilah yang jadi modalnya untuk membuat film Turang.
Untuk menyambung hidup, Bachtiar tetap berkarya, yakni dengan membuat film dokumenter dengan institusi negara, seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian.
Bachtiar tak pernah menggunakan nama aslinya saat membuat film-film dokumenter ini.
Para bekas narapidana politik biasanya dilabeli “ET” atau “eks-tapol” pada kartu penduduk mereka. Label ini kerap menjadi sumber diskriminasi bagi penyandangnya.
“Orang-orang seperti Pak Misbach Yusa Biran, Asrul Sani, mereka membantu kawan-kawan ini. Yang berbeda cuma ideologi, perkawanannya tetap jalan,” tutur Hafiz.
“Sampai tahun 2002 dia bisa hidup dan membesarkan anak-anaknya dan dia berkawan dengan banyak kawan gitu,”
Bagaimana nasib para sutradara ‘kiri’?
Di Sinematek Indonesia terdapat daftar tokoh penting dalam sejarah sinema Indonesia. Namun, nama Bachtiar Siagian dan tokoh perfilman ‘kiri’ lainnya tak ada dalam daftar itu.
“Nama Bachtiar Siagian enggak ada. Nama Basuki Effendi enggak ada. Nama Kotot Sukardi enggak ada. Bahkan nama orang Belanda masuk [daftar],” kata Hafiz agak geram.
Padahal nama-nama yang disebut di atas katanya adalah nama-nama yang sangat penting dalam sejarah sinema Indonesia pada 1950-an hingga 1960-an.
“Tokoh-tokoh ini adalah tokoh-tokoh yang penting di zamannya. Tapi memang, ya dalam dalam kutip seperti dihilangkan, seperti dihilangkan,”
Beberapa karya para sutradara ini, kata Hafiz hanya sebagian saja yang selamat.
“Tentu saja ada beberapa yang terselip ya. Satu-dua gitu di Sinematek. Tapi memang enggak utuh ya.”
Apakah isi Turang ‘berbahaya’?
Film Turang berdurasi sekitar 90 menit.
Film dalam format hitam putih ini menceritakan interaksi laskar pemuda-pejuang dengan sebuah keluarga yang berusaha melindungi salah satu prajurit yang terluka.
Tipi, demikian gadis dalam film ini, diceritakan merawat luka Rusli yang harus bersembunyi dari kejaran Belanda.
Tapi nahas, akibat ulah seorang mata-mata, ayah Tipi ditangkap karena dianggap melindungi laskar.
Di ujung film, desa juga dihujani tembakan dan bom hingga akhirnya pasangan ini tak bisa selamat.
Pemutaran film Turang di International Film Festival Rotterdam 2025
Film tak hanya menyajikan adegan pertempuran intens di pengujung film, tapi juga aneka nyanyian dan lagu-lagu di beberapa bagian.
Tidak ada pidato atau monolog berkepanjangan selain dialog-dialog pendek yang bisa dianggap sebagai ekspresi kecintaan anggota laskar dan keluarga sederhana ini pada republik dan anti-Belanda.
“Mereka [sutradara film] tidak memusuhi pemerintah,” kata Hafiz.
Sementara itu Bunga menyebut film Turang menarik karena menitik beratkan pada peran warga biasa.
Bunga Siagian (kedua dari kanan dengan baju hitam) dalam sebuah diskusi film
“Sepanjang film kita melihat cerita bagaimana pemeran utamanya merawat tentara yang terluka, kemudian mereka berkebun, mereka bersosialisasi sebagai warga, dan segala macam. Jadi itu kehidupan sehari-hari di sebuah desa.”
Menurutnya tidak ada glorifikasi pada peran tentara dan Revolusi di dalam film.
“Penutupan film [Turang], tidak seperti film-film lain terutama pada masa Orde Baru, di mana tentara menang. Tentara pada akhirnya tewas. Satu pasukan meninggal semua. Kalah dalam berperang.”
Dengan demikian, menurut Bunga, film Turang tidak meletakkan militer dalam posisi yang sentral.
sumber: bbc