Virus paramyxovirus penyebab penyakit ‘mumps’ atau gondongan dilaporkan menginfeksi ribuan anak di sejumlah wilayah di Indonesia. Merebaknya virus yang menyerang kelenjar air liur di sekitar leher ini disebut karena cakupan vaksinasi yang rendah dan keengganan orang tua untuk memvaksin anaknya.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan penyakit yang menular lewat cipratan air liur dari mulut dan hidung ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin campak, gondongan, dan rubella (MMR).
“Kalau ada sekarang kasus-kasus itu berarti vaksinasinya tidak bagus, maksudnya cakupan vaksinasinya tidak bagus dan program vaksinasi di daerah itu tidak berjalan dengan baik,” kata Windhu kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Rabu (30/10).
Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aji Muhawarman mengatakan “kemungkinan [vaksinasi rendah] itu ada. Tapi itu harus dijelaskan berbasis data”.
Sebelumnya, dilaporkan puluhan siswa di Tangerang Selatan terjangkit cacar air dan gondongan dalam dua bulan terakhir. Di Jakarta, tercatat 1.234 kasus gondongan dari Januari hingga Juni 2024.
Kasus ini juga dilaporkan terjadi di beberapa sekolah di Bandung dan Cimahi, Jawa Barat. Virus ini juga menyebar di Jawa Timur, dengan 2.001 kasus di Kabupaten Malang, 215 kasus di Kota Kediri, 907 kasus di Banyuwangi dan 1.596 di Jombang.
Kasus mumps juga dilaporkan menyebar di Kota Sorong, Papua Barat Daya, ketika enam anak mengalami keluhan pembengkakan pada bagian rahang disertai demam pada September silam.
BBC News Indonesia merangkum beberapa hal yang perlu diketahui terkait penyakit gondongan. Mulai dari apa saja gejalanya, cara penularan, hingga bagaimana penanganan jika terinfeksi. Dan, apakah mumps tergolong penyakit berbahaya?
‘Enggak mau makan, sakit menelan, bengkak di leher‘
Sejumlah anak di Kota Bandung, Jawa Barat, terjangkit penyakit gondongan. Salah satunya, Salsa, bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Suatu saat, usai melakukan aktivitas berenang, Salsa mengeluh pusing kepada ibunya, Ani, yang semula mengaku tidak terlalu khawatir sebab pusing yang dialami Salsa tidak terlalu parah.
Ani masih membiarkan anak keduanya itu bersekolah. Namun gejala yang dialami Salsa bertambah parah pada Oktober.
“Dia itu menangis pas pulang sekolah. Saya kira [diganggu] sama teman-temannya. Tahunya panas [demam tinggi] sama pusing, terus sakit menelan,” tutur Ani ke wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (30/10).
“Dia enggak mau makan karena sakit menelan.”
“Besoknya baru ada tanda-tanda bengkak di bagian leher. Pagi-paginya susah mangap. Jadi pas mau sikat gigi tuh dia kesakitan,” ujar Ani kemudian.
Seorang anak memegang lehernya yang sakit akibat gondongan.
Ani baru mengetahui anaknya terinfeksi virus mumps setelah berobat ke dokter.
Selama sepekan, sekitar dagu dan bawah telinga putrinya bengkak.
Namun bengkak itu lambat laun mengempis. Demikian halnya, pusing dan demam pun mereda.
Ani menduga, anaknya terjangkit gondongan karena belum divaksin campak (measles), gondongan (mumps), dan rubella, atau disebut vaksinasi MMR.
“Enggak [divaksin]. Saya ingat kakaknya juga enggak [divaksin], soalnya mahal,” ungkap Ani.
Selain Salsa, menurut Ani, ada sejumlah siswa lain yang mengalami gondongan di sekolah anaknya itu.
Pihak sekolah sampai meliburkan kegiatan sekolah selama sepekan dan memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Ani menduga, anaknya terjangkit gondongan karena belum divaksin campak (measles), gondongan (mumps), dan rubella, atau disebut vaksinasi MMR.
Penyakit ini ternyata menjangkiti sekolah-sekolah lain di Kota Bandung, beberapa di antaranya mengalami wabah gondongan sejak Agustus lalu.
Salah satu kepala sekolah di Bandung melaporkan sebanyak 45 dari 650 siswanya terinfeksi penyakit yang disebabkan virus paramyxovirus ini.
“Kondisi saat ini ada sekitar 20 siswa yang masih sakit gondongan dan mereka semuanya diharuskan istirahat di rumah selama 14 hari,” ujar Tri, kepala sekolah tersebut, melalui keterangan tertulis, pada Rabu (30/10).
Untuk mengantisipasi penularan lebih jauh, sekolah menerapkan PJJ untuk semua siswa selama satu pekan. Sementara untuk siswa yang masih sakit gondongan, PJJ dilanjutkan sampai dinyatakan sembuh oleh dokter.
“Kami mengeluarkan surat edaran kepada orang tua siswa tentang mengharuskan ananda yang sakit gondongan untuk istirahat dulu di rumah selama 14 hari dan boleh kembali ke sekolah dengan membawa surat keterangan sehat dari dokter dan dinyatakan sudah boleh kembali ke sekolah,” sebut Tri.
Tri menambahkan, sekolah melakukan sterilisasi area sekolah dengan disinfektan dan terus mengedukasi siswa serta warga sekolah untuk menjaga pola hidup sehat.
Kasus ini, katanya, telah dilaporkan ke dinas kesehatan dan pendidikan setempat.
Selain Kota Bandung, gondongan juga mewabah di Kota Cimahi, Jawa Barat.
Berdasar data Dinas Kesehatan Kota Cimahi, terdapat laporan penyakit gondongan sebanyak 234 kasus pada September 2024.
Puluhan siswa di SMPN 8 Tangerang Selatan terjangkit cacar air dan gondongan.
Di saat yang bersamaan, puluhan siswa di SMPN 8 Tangerang Selatan terjangkit cacar air dan gondongan. Kepala Sekolah SMPN 8, Muslih merinci sebanyak 53 siswa terjangkit cacar air dan 18 siswa gondongan.
“Per kemarin [29 Oktober] itu 53 [cacar] dan 18 [gondongan], bertambah tiga. Nah yang [masih perawatan] sakit itu ada 22 [cacar air] dan lima [gondongan],” kata Muslih, ketika ditemui wartawan Muhammad Iqbal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (30/10).
Muslih menjelaskan, kasus gondongan dan cacar air di sekolahnya bermula pada pekan terakhir September 2024 lalu, kala sekolah mengadakan ujian tengah semester (UTS).
Pihak sekolah, lanjut Muslih, memberlakukan percampuran peserta UTS yang terdiri dari murid kelas 7, 8 dan 9.
“Pada saat ulangan itu ada yang sakit ceritanya, yang sakit kemudian pada saat itu enggak terjadi apa-apa, istilahnya enggak terjadi masalah segala macam, enggak terjadi apa-apa,” kata dia.
Kepala Sekolah SMPN 8, Muslih merinci sebanyak 53 siswa terjangkit cacar air dan 18 siswa gondongan.
Tak lama berselang, siswa yang sakit terus bertambah hingga pada puncaknya pada pekan kedua Oktober.
Muslih mengatakan jumlah siswa yang tidak masuk sekolah akibat mengalami sakit lebih dari 100 orang.
“Karena saya menganggap sudah banyak, di Senin anak anak saya [liburkan] sehari. Sekolah disemprot disinfektan, dan Selasa-nya saya disuruh masuk. Nah kemudian setelah itu kita cek kembali ternyata yang enggak masuk itu ada 117 orang,” kata Muslih.
Pihaknya segera berkoordinasi dengan puskesmas setempat serta Dinas Pendidikan Kota Tangsel. Hasilnya, Puskesmas meminta pihak sekolah untuk menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama dua minggu.
“Oleh Puskesmas Kranggan saya diminta untuk semacam tracking,” kata dia.
“Data itu kita kasih ke puskesmas akhirnya puskesmas membuat surat semacam surat rekomendasi atau surat himbauan ke saya untuk diberlakukan PJJ selama 14 hari dari tanggal 17 sampai tanggal 31 besok,” sambungnya.
Meski menjangkit puluhan siswanya, Muslih memastikan, tak ada siswa yang menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
“Semuanya isolasi di rumah,” kata dia.
‘Tidak ada kematian karena penyakit ini makanya saya mengabaikan’
Susi adalah satu dari ratusan orang tua yang anaknya terjangkit penyakit cacar atau gondongan di sekolah itu. Dia mengakui bahwa anaknya memang tidak mendapatkan vaksin MMR.
“Enggak sempat, justru saya waktu itu terlewatkan vaksin [MMR], setelah [vaksin] yang dasar-dasar itu karena kan waktu itu saya masih agak-agak ngeri ya. Katanya, vaksinnya lebih baik yang dasar aja jadi simpangsiur.”
“Ya sudah lah saya putuskan untuk kembali ke orang zaman dulu, yang dasar-dasar saja sudah cukup, jadi enggak saya lanjutkan dengan vaksin-vaksin lanjutannya,” katanya.
Susi menegaskan bahwa dirinya tidak anti terhadap vaksin. Alih-alih menolak vaksinasi, pertimbangannya saat itu adalah lantaran dirinya ” belum terlalu paham” terkait pentingnya vaksinasi ini.
“Dan tidak ada kematian karena penyakit ini [MMR] makanya saya mengabaikan.”
Seorang anak di Kota Kediri, Jawa Timur, tengah sakit gondongan dengan gejala pembengkakan di pipi belakang, Selasa (01/10).
Penyakit gondongan juga menyerang beberapa wilayah lain di Pulau Jawa. Di Jakarta, dari Januari-Juni 2024 jumlah kasus gondongan mencapai 1.234 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 876 kasus.
Di Kabupaten Malang tercatat ada 2.001 kasus gondongan dari Januari hingga September 2024, di mana 1.061 kasus terjadi pada laki-laki dan sisanya perempuan. Lonjakan tertinggi terjadi pada September, mencapai 792 kasus.
Sementara itu, kasus gondongan di Jombang mencapai 1.596 kasus dari Januari hingga Oktober 2024 dan di Kota Kediri tercatat ada 215 kasus gondongan.
Kemudian, di Banyuwangi terdapat 907 kasus gondongan hanya dari September hingga Oktober.
Di Kota Yogyakarta, tercatat 169 kasus gondongan sepanjang 2024 yang sebagian besar menjangkiti anak sekolah dasar. Setahun sebelumnya, tak ditemukan satu pun kasus mumps di kota tersebut.
Di Kota Sorong, Papua Barat Daya, kasus mumps tercatat terjadi ketika enam anak mengalami keluhan pembengkakan di bagian rahang yang disertai demam pada September silam.
Secara global, Gondongan merupakan penyakit endemik di seluruh dunia. Rata-rata lebih dari 500.000 kasus gondongan dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setiap tahunnya.
Namun, jumlah kasus gondongan secara global sulit diperkirakan, karena bukan penyakit yang wajib dilaporkan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Mengapa penyakit ini merebak di Indonesia?
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan merebaknya penyakit gondongan di beberapa wilayah menunjukkan cakupan vaksinasi yang rendah.
“Penyakit itu kan penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi atau vaksinasi. Kalau muncul kasus-kasus itu berarti program vaksinasi di daerah itu tidak berjalan dengan baik,” kata Windhu.
Dia mengatakan seharusnya penyakit gondongan yang pernah juga dia alami saat masih kecil tidak muncul kembali jika vaksinasi dilakukan secara maksimal.
Faktor lainnya, kata Windhu, dipengaruhi oleh keengganan orang tua agar anak mereka mendapatkan vaksin.
“Vaksinasi cakupannya rendah itu juga kan karena ada orang tua yang enggak mau vaksinasi, masih ada saja yang anti-vaksin,” kata Windhu.
Lalu mengapa penyakit ini hanya merebak di perkotaan?
Menurut Windhu, itu dipengaruhi oleh kepadatan penduduk di perkotaan yang memudahkan terjadinya penularan.
“Di perkotaan densitasnya tinggi. Satu orang terkenal saja, semuanya bisa terkena,” katanya.
Senada, dokter spesialis anak, dr Anggraini Alam, mengatakan penyakit ini mudah menyebar karena kini banyak tempat berkumpul yang mempermudah penyebaran.
“Ditambah juga, orang tua sekarang sangat mengagung-agungkan sekolah. Padahal anak sakit masih disuruh ke sekolah. Kalau kita tahu anak sakit itu jangan pergi sekolah,” ujarnya.
Vaksin campak, gondongan, dan rubella atau dikenal MMR.
Saat dikonfirmasi tentang cakupan vaksinasi ini, Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aji Muhawarman, tak memungkiri kemungkinan vaksinasi rendah.
“Tapi itu harus dijelaskan berbasis data. Ini mesti cek ke data di Tangsel atau daerah lainnya di dinkes (dinas kesehatan) setempat,” kata Aji.
Aji menambahkan bahwa saat ini Kemenkes sedang berproses untuk segera menerbitkan surat edaran (SE) Kewaspadaan Penyakit Cacar Air (varicella) dan Gondongan (mumps) oleh Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) kepada seluruh kepala dinas kesehatan, rumah sakit dan puskesmas di Indonesia.
“Fasyankes diimbau agar terus melakukan pemantauan dan surveilans secara ketat dan berjenjang kepada Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi, serta kepada Dirjen P2P melalui Public Health Emergency Operation Centre di nomor Telp./WhatsApp 0877-7759-1097 atau e-mail: poskoklb@yahoo.com maupun laporan di aplikasi SKDR [Sistem Kewaspadaan Dini & Respon],” ujar Aji.
Aji pula “menyayangkan dan prihatin dengan sikap orang tua” yang enggan memberikan vaksinasi kepada anaknya.
“Imunisasi bisa menjadi pelindung yang efektif dari berbagai penyakit menular berbahaya,” tegasnya.
Dia bilang pihaknya berharap masyarakat, khususnya orang tua, untuk melengkapi imunisasi anak-anaknya agar terlindungi dari kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit, sehingga anak-anak bisa tumbuh berkembang dengan sehat untuk meraih masa depan mereka.
“Selain buat anaknya sendiri, imunisasi juga dapat menciptakan kekebalan komunitas di sekitarnya,” cetusnya.
Apa itu gondongan, penyebab, dan gejalanya?
Dokter spesialis anak, dr Anggraini Alam, menjelaskan bahwa gondongan adalah penyakit yang disebabkan oleh virus paramyxovirus.
Virus ini menginfeksi kelenjar parotis (kelenjar yang memproduksi air liur) sehingga memicu pembengkakan.
Dia mengatakan peningkatan kasus gondongan ini menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang kini tidak punya kekebalan tubuh atas gondongan, yang salah satunya didapat dari vaksin.
“Vaksinasi [gondongan] belum diwajibkan, hanya dianjurkan dan merupakan vaksinasi tambahan,” kata Anggraini.
“Memang baru secara privat, artinya kita harus mengeluarkan uang sendiri dan harganya cukup mahal karena jadi satu jadi MMR yang bikin mahal.”
Pembengkakan di pipi akibat peradangan kelenjar parotis.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mencatat gejala umum bagi orang yang terinfeksi gondongan yaitu pembengkakan rahang yang menyakitkan, demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan, dan sakit kepala.
CDC AS juga mencatat orang yang terinfeksi gondongan tidak langsung sakit. Butuh waktu dua hingga empat minggu untuk menunjukkan tanda-tanda infeksi.
Dilansir dari situs Kemenkes, gejala gondongan biasanya baru akan muncul 12-25 hari setelah terinfeksi virus, berupa:
• Pipi bengkak, bisa hanya satu sisi atau kedua sisi, akibat pembengkakan kelenjar parotis;
• Nyeri saat mengunyah atau menelan makanan;
• Demam hingga 39°C, mulut kering, sakit kepala;
• Nyeri sendi dan perut, mudah lelah, dan hilang nafsu makan.
Kemenkes mengatakan pada beberapa penderita, gejala gondongan dapat lebih ringan atau menyerupai gejala pilek. Beberapa penderita bahkan tidak mengalami gejala apa pun.
Apakah gondongan menular dan berbahaya?
Epidemiolog Windhu Purnomo menyebut gondongan adalah penyakit menular yang penularannya mirip seperti Covid-19.
“Penularannya melalui droplet, mirip-mirip dengan Covid, tapi tidak secepat Covid,“ katanya.
Kemenkes mencatat penyebaran virus ini bisa dengan mudah terjadi saat:
• Menghirup percikan lendir saat penderita batuk, bersin, dan berbicara;
• Melakukan kontak langsung dengan penderita, misalnya berciuman;
• Menyentuh benda-benda yang ada di sekitar penderita, lalu menyentuh hidung dan mulut tanpa mencuci tangan terlebih dahulu;
• Berbagi alat makan dan minum dengan penderita.
CDC AS menyampaikan bahwa seseorang yang terinfeksi gondongan dapat menyebarkan virus ini beberapa hari sebelum kelenjar ludah membengkak hingga lima hari setelah pembengkakan.
Virus gondongan dapat ditularkan melalui air liur atau tetesan.
Windhu mengatakan gondongan bersifat self-limited disease, artinya tubuh akan sembuh dengan sendiri. Gondongan juga memiliki tingkat kasus meninggal yang rendah.
“Virus itu beda dengan mikroba lain seperti bakteri. Virus bukan barang hidup. Jadi dia bisa hilang sendiri, sepanjang dia tidak menghasilkan namanya infeksi sekunder atau komplikasi,” katanya.
Jika terjadi komplikasi walaupun kemungkinannya rendah, Windhu mengatakan, virus dapat menyebar ke bagian tubuh bawah yang menyebabkan orkitis atau peradangan pada testis.
“Kalau semakin parah bisa berdampak ke infertilitas [gangguan reproduksi],” kata Windhu.
Sementara itu, jika virus itu menyebar ke tubuh bagian atas, dapat menyebabkan radang selaput otak atau meningitis.
Siapa yang rentan terserang gondongan?
Kelompok yang rentan terserang gondongan adalah anak-anak hingga remaja.
Alasannya, menurut CDC AS, karena kelompok ini kerap melakukan kontak dekat satu sama lain, seperti di lingkungan sekolah hingga tempat bermain.
Senada, Kemenkes menjelaskan, kelompok usia dua hingga 12 tahun adalah kelompok yang rentan dengan virus ini, utamanya, mereka yang yang belum mendapat vaksin MMR.
Selain itu, virus ini juga mudah menjangkiti mereka yangmemiliki daya tahan tubuh lemah, dan tinggal di wilayah yang memiliki kasus gondongan.
Bagaimana mencegah gondongan dan apa penanganan jika terinfeksi?
Cara paling efektif untuk mencegah gondongan adalah dengan vaksinasi yang diberikan sebanyak dua kali, yaitu pada usia 18 bulan dan usia lima sampai tujuh tahun.
Jika imunisasi pertama belum sempat dilakukan di usia 18 bulan, vaksin masih dapat diberikan hingga anak berusia tiga tahun.
Bagaimana dengan orang dewasa?
Vaksin MMR masih disarankan untuk mereka yang berisiko tinggi terpapar gondongan.
Upaya lain, kata Windhu adalah dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), di antaranya adalah cuci tangan dengan sabun, konsumsi makanan sehat, olahraga rutin, dan jaga kebersihan lingkungan.
Dokter spesialis anak dr Anggraini Alam mengatakan gondongan secara umum adalah ringan dan akan sembuh sendiri.
Lalu bagaimana jika sudah terinfeksi gondongan?
Dokter spesialis anak, dr Anggraini Alam, mengatakan mereka dapat mengonsumsi makanan bergizi, memperbanyak minum air putih, dan beristirahat dengan cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
“Penyakit ini secara umum adalah ringan dan akan sembuh sendiri,” kata Anggraini.
“Terapi utamanya adalah untuk mengurangi nyeri, sehingga obat-obatan untuk nyeri dan dikompres biar nyaman.”
“Lalu lebih sering mengunyah atau menghirup asamnya jeruk nipis sehingga banyak air liur yang dikeluarkan,” ujarnya kemudian.
Anggraini menambahkan, mereka yang terinfeksi juga harus melakukan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas.
Apakah pakai blau bisa sembuh?
Anak laki-laki mengalami sakit di lehernya.
Apakah Anda pernah melihat seseorang mengoleskan cairan biru ke leher yang bengkak? Hal itu dulu kerap dijumpai dan dipercaya ampuh untuk mengobati gondongan.
Blau adalah zat padat berwarna biru tua yang dulu digunakan untuk membersihkan noda pada baju.
Anggraini menjelaskan blau tidak terbukti menyembuhkan gondongan. Namun kearifan lokal itu lebih seperti penanda yang efektif untuk mengurangi penyebaran penyakit ini.
“Kalau ada blau, tidak boleh dekat-dekat. Enggak berefek pada kesembuhan. Di Thailand dan sekitarnya mereka gambar pakai macan,“ katanya
Bagaimana sejarah gondongan?
Perpusatakaan Nasional Kedokteran AS mencatat penyakit gondongan bermula pada abad ke-5 SM, saat Hippokrates menggambarkannya sebagai “pembengkakan di dekat telinga, dan beberapa di antaranya mengalami nyeri bilateral atau unilateral serta pembengkakan pada testis”.
Akan tetapi, isolasi dan kultur virus baru dapat dilakukan pada 1945. Kemudian, vaksinasi gondongan pertama kali dilisensikan pada tahun 1967.
Tanpa imunisasi, kasus gondongan diperkirakan mencapai 100-1.000 kasus per satu juta orang, dengan epidemi setiap empat hingga lima tahun.
Finlandia adalah negara pertama yang menyatakan bebas gondongan pada 2000, setelah program vaksinasi MMR dua dosis nasional untuk anak-anak, yang menghasilkan cakupan vaksinasi yang tinggi.
Di Amerika Serikat, kasus gondongan telah menurun hingga 99% sejak vaksin diperkenalkan pada tahun 1967.
Namun, tidak seperti campak dan rubella, gondongan belum sepenuhnya hilang di Amerika Serikat.
Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, dan wartawan di Tangerang Selatan, Muhammad Iqbal, berkontribusi untuk liputan ini
sumber: bbc.