MILITER ISRAEL JADIKAN TIGA-PEREMPAT GAZA SEBAGAI ‘ZONA EVAKUASI’ – APA ARTINYA DAN SIAPA DIUNTUNGKAN?

SUMBER GAMBAR, REUTERS
Keterangan gambar,Warga sipil di Rafah terpaksa mengevakuasi diri mereka setelah pasukan Israel melancarkan serangan terhadap HamasInformasi artikel
Penulis,Ahmed Nour dan Abdirahim Saeed

Lebih dari tiga-perempat teritori Gaza telah dirancang sebagai zona-zona evakuasi oleh militer Israel sejak perang melawan Hamas dimulai Oktober silam, demikian menurut temuan analisis BBC Arabic.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah mengeluarkan perintah evakuasi secara berkala bagi penduduk Gaza sejak melancarkan serangan balasan terhadap Hamas yang menggempur Israel bagian selatan pada 7 Oktober 2023.

Serangan Hamas mengakibatkan 1.200 orang meregang nyawa dan 252 lainnya dijadikan sandera. Adapun serangan balasan Israel menewaskan lebih dari 35.000 orang di Gaza sejauh ini, menurut kementerian kesehatan Hamas.

Temuan analisis BBC memperlihatkan total luas area yang ditetapkan sebagai zona evakuasi mencapai 281 kilometer persegi. Luas ini sama dengan 77% dari teritori Gaza.

Kepada BBC Arabic, IDF menyebut petunjuk evakuasi pihaknya melindungi warga sipil dengan mengarahkan mereka daerah-daerah yang lebih aman.

PBB dan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan lainnya bersikeras tidak ada area aman bagi sekitar dua juta penduduk sipil Gaza. Organisasi-organisasi ini juga mempertanyakan kelayakan “zona kemanusiaan” yang dirancang IDF di wilayah Gaza.

Sejak perang dimulai, IDF sudah mengeluarkan puluhan peringatan evakuasi di banyak area Gaza. Ini adalah bagian dari operasi militer mereka terhadap Hamas.

Mulai pertengahan Mei ini, hampir seperempat teritori Gaza saja yang tidak menjadi zona evakuasi.

Populasi Gaza sebenarnya sudah padat. Sebelum perang, bentangan luas daerah kantong yang berbatasan dengan Laut Mediterania di satu sisi dan Israel dan Mesir di sisi lainnya mencapai 47 kilometer panjang dengan lebar 10 kilometer.

Pada 7 Oktober 2023 – hari pertama konflik – IDF mengarahkan warga sipil di berbagai wilayah Gaza untuk mencari tempat berlindung sebelum melancarkan serangan-serangan udara perdana mereka.

Masih pada bulan Oktober, IDF memerintahkan warga sipil di wilayah utara dan tengah untuk pindah ke selatan Wadi, Gaza – sebuah palung sungai, termasuk Kota Gaza yang populasinya padat.

IDF mengumumkan zona-zona evakuasi baru pada bulan November yang meliputi lebih banyak daerah sentral dan sebagian teritori selatan.

Pada awal Desember, IDF mulai meluncurkan peta-peta evakuasi di mana Gaza dibagi menjadi dua blok supaya petunjuknya lebih tepat. Langkah ini diambil setelah mendapat tekanan internasional.

Pada bulan Desember dan Januari, peringatan-peringatan evakuasi menjalar ke daerah selatan termasuk Khan Younis dan sekitarnya.

Pada awal April, IDF memperbarui peringatan untuk tidak kembali ke daerah-daerah utara Gaza.

Pada Mei, hampir setengah dari Rafah juga dimasukkan ke daftar zona evakuasi seiring pasukan darat IDF bergerak maju ke dalam Gaza dari bagian timur. Warga sipil pun didorong untuk pindah ke “zona kemanusiaan tambahan” – meliputi al-Mawasi, sebuah kota tepi pantai, hingga wilayah-wilayah terdekat yakni Deir al-Balah dan Khan Younis.

IDF juga baru-baru ini menghimbau orang-orang di Jabaliya dan Beit Lahia di Gaza utara dan sekitarnya untuk mengevakuasi diri ke penampungan-penampungan di Kota Gaza bagian barat. Himbauan ini seiring serangan paling anyar IDF terhadap Hamas.

Sejak Oktober, tidak ada satu pun petunjuk evakuasi pasukan Israel menyebutkan kapan zona-zona evakuasi kembali aman atau kapan para penduduk bisa kembali pulang ke rumah.

BBC meminta tanggapan dari militer Israel tentang skala zona-zona evakuasi.

IDF menegaskan peringatan-peringatan evakuasi bertujuan untuk melindungi warga sipil, tetapi tidak mengomentari temuan kami secara spesifik.

“IDF berkomitmen terhadap hukum internasional dan beroperasi sesuai hukum internasional,” tulis IDF dalam pernyataan yang dikirim ke BBC.

Menurut Unrwa, sekitar 1,7 juta orang terlantar di penjuru Gaza – mayoritas dari mereka harus mengungsi beberapa kali.

Dua tentara Israel dan tank di dekat perbatasan Gaza berlanjut, 16 Mei 2024.

Orang-orang angkat kaki dari Rafah

Pada 7 Mei, Israel mengambil alih sisi Gaza dari penyeberangan Rafah dengan Mesir setelah pasukan IDF melaju ke area tersebut.

Militer memerintahkan penduduk sipil melakukan evakuasi ke Rafah timur untuk keselamatan mereka sebelum melancarkan serangan.

Sekitar 1,5 juta penduduk sipil terlantar memenuhi tempat-tempat penampungan di Rafah sebelum IDF memperlebar operasinya, menurut PBB.

PBB mengatakan hampir 600.000 orang Palestina bermigrasi sejak tank-tank Israel menyeruak masuk ke dalam kota.

Satu gambar satelit yang diambil pada 8 Mei memperlihatkan sebuah area di Rafah bagian tengah yang tadinya dipenuhi tenda-tenda pengungsi kini sepi dan terbengkalai.

IDF telah memerintahkan warga sipil untuk pindah ke “zona kemanusiaan tambahan” di al-Mawasi, tanah pertanian sempit di pesisir yang pertama kali dijadikan “zona evakuasi” pada Oktober.

Luas zona ini sekarang adalah 60 kilometer persegi.

IDF mengatakan zona ini mencakup “rumah sakit-rumah sakit darurat, tenda, dan tambahan persediaan makanan, air, obat-obatan, dan lain-lain.”

Gambar satelit yang diambil tanggal 8 Mei memperlihatkan apa yang tampak seperti satu rumah sakit darurat baru yang dibangun di Deir al-Balah.

Seorang perempuan Palestina menangis setelah mengidentifikasi siapa korban meninggal di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir al-Balah menyusul pemboman Israel, 23 Mei 2024.

Pihak PBB mempertanyakan gagasan mengarahkan warga sipil ke al-Mawasi.

“Al-Mawasi khususnya adalah daerah yang banyak pasir dan gurun,” tutur Louise Wateridge, pejabat komunikasi Unrwa, kepada BBC Arabic.

Dia menambahkan area-area kemanusiaan yang dirancang IDF memiliki keterbatasan dari segi infrastruktur dan persediaan.

Fidaa Alaraj, koordinator Oxfam coordinator di Gaza, mengatakan situasi kemanusiaan kian buruk di al-Mawasi.

“[al-Mawasi] sangat padat… tenda-tenda di mana-mana dan sekarang tepat di pinggir pantai,” jelasnya.

“Tidak ada cukup makanan, air, dan bahan bakar untuk bertahan,” tambah Alaraj.

Alaraj, warga Palestina yang berasal dari Gaza utara, mengaku dirinya sendiri terlantar beberapa kali sejak pecahnya perang.

BBC Arabic mewawancarai orang-orang Palestina lain yang terpaksa berpindah-pindah beberapa kali.

Seorang perempuan pengungsi dari Rafah mengatakan tidak ada air ataupun listrik saat tiba di al-Mawasi.

Hamdan, warga Gaza lain yang terpaksa menjadi pengungsi, mengatakan kepada BBC Arabic bahwa dirinya sudah mengungsi empat kali sejak konflik dimulai.

“Kami tiba di al-Mawasi dan tidak mendapat tenda, dan tenda-tenda yang ada sangatlah mahal. Karena tidak ada toilet, kami terpaksa mengubur tong di dalam tanah untuk kami gunakan sebagai jamban.”

“Ini mahal, dan hidup sangat susah. Tidak ada higienitas sama sekali,” imbuhnya.

Reportase tambahan oleh Lamees Altalebi dan Paul Cusiac
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.