SUMBER GAMBAR, ROMEO GACAD/AFP
Keterangan gambar,
Seorang pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam acara kampanye, 30 Maret 2004.
Jumlah partai Islam yang lolos ke DPR semakin sedikit setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal memenuhi ambang batas parlemen 4%. Pengamat menilai ini terjadi karena kumulasi berbagai hal, termasuk kegagalan kaderisasi, konflik internal, terpecahnya suara pemilih, serta kegagapan menggaet pemilih muda.
Dari 18 partai politik yang mengikuti pemilihan umum legislatif 2024, hanya delapan yang lolos ke DPR RI dengan perolehan suara di atas 4%.
Dari delapan yang lolos, ada dua partai yang identik dengan kelompok Islam, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ada pula Partai Amanat Nasional (PAN).
PPP gagal ke Senayan karena persentase perolehan suaranya hanya menyentuh 3,87%.
Sejak PPP berdiri pada 1973, ini pertama kalinya mereka tidak terlibat dalam pembagian kursi DPR.
“Kita harus evaluasi dalam rangka perbaikan ke depan, dalam rangka merespons perubahan politik yang ada di lapangan,” kata Achmad Baidowi, ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, pada BBC News Indonesia pada Kamis (21/3).
Selain PPP, tiga partai Islam lain juga gagal mencapai ambang batas parlemen: Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Ummat, dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia.
Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan partai-partai Islam yang ada memang “tidak pernah menjadi partai papan atas”.
Apa masalahnya?
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP, Sandiaga Salahuddin Uno (kiri) didampingi seorang caleg PPP berdialog dengan warga pendukungnya di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (04/02).
Kegagalan kaderisasi dan konflik di tengah menjamurnya partai politik
Sebagai salah satu partai tertua dan satu-satunya partai Islam peninggalan era Orde Baru, PPP sebenarnya punya modal besar saat Indonesia memasuki Reformasi pada 1998, kata Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Seharusnya dia bisa pakai itu sebagai jalan untuk memantapkan posisi politiknya di era Reformasi. Karena paling tidak dia sudah punya bekal-bekal kader, politisi-politisi yang sudah punya ikatan dengan PPP sebelum era Reformasi,” kata Aisah.
Namun, sejak dimulainya Reformasi, PPP tidak bisa “mengapitalkan kekuatan politik Islam” dan, kata Aisah, justru terjebak menjadi “pemain middle”.
Lahir pada 5 Januari 1973, PPP merupakan gabungan dari empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Kelahirannya adalah hasil dari usaha pemerintah Orde Baru untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.
Selain PPP, ada pula PDI yang merupakan gabungan partai-partai golongan nasionalis. Sejak 1999, PDI kubu Megawati Soekarnoputri berubah nama menjadi PDI-P.
Karena itu, sejak pemilu legislatif 1977 hingga 1997, hanya ada tiga partai politik yang berpartisipasi, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PDI.
Namun, dalam enam pemilu legislatif di era Reformasi, persentase perolehan suara PPP nyaris selalu menurun, dari 10,72% di 1999 hingga 3,87% pada tahun ini.
Di sisi lain, meski raupan suaranya sempat anjlok pada periode 1999-2009, kinerja PDI-P kembali terangkat terutama setelah kadernya, Joko Widodo, menjadi presiden selama dua periode pada 2014-2024.
Golkar pun naik kembali persentase suaranya pada pemilu 2024, setelah terus turun pada periode 1999-2019.
“Golkar posisinya mirip dengan PPP. Dia muncul sebelum era Reformasi. Kemudian di era Reformasi juga punya tantangan perpecahan [internal],” kata Aisah.
“Tapi Golkar tetap survive, dan dari konteks sejarah pemilu ke pemilu kan [dia] masuk ke dua atau tiga besar gitu ya. Beda dengan PPP yang kemudian terjebak di situasi middle political power di parlemen.”
Kunci masalahnya, menurut Aisah, ada di kaderisasi PPP, entah dalam menghasilkan pemimpin partai atau anggota parlemen yang mumpuni.
PPP disebut kesulitan menelurkan figur baru yang menonjol. Di saat PDI-P punya sosok seperti Jokowi dan Ganjar Pranowo serta Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) punya Prabowo Subianto, PPP justru merekrut Sandiaga Uno jelang pemilu 2024. Ia seakan jadi “pemain naturalisasi”.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sandiaga Uno berkampanye di Gorontalo pada Jumat (2/2).
“Kalau naturalisasi di sepak bola masih ada garis keturunan orang Indonesianya ya. Kalau ini kan kalau kita melihat Sandiaga, dari mana PPP-nya?” kata Aisah.
Masalah kaderisasi tak hanya terjadi di PPP. Kata Aisah, partai-partai Islam lain juga kerap menemui tantangan serupa, termasuk PBB yang selama ini kerap hanya memunculkan sosok Yusril Ihza Mahendra.
Partai Gelora dengan Anis Matta sebagai ketua umum dan Fahri Hamzah sebagai wakil ketua umum, serta Partai Ummat dengan Amien Rais sebagai ketua majelis syura pun dirasa tak memiliki kader mumpuni yang cukup banyak untuk bertarung di pemilu legislatif 2024, kata Aisah.
Selain itu, spesifik untuk PPP, konflik internal mau tak mau membuat mereka melempem, kata Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia.
Sepanjang era Reformasi, PPP memang sempat beberapa kali menghadapi gejolak internal, termasuk saat Suryadharma Ali secara sepihak mendukung Prabowo di pilpres 2014, dualisme kepemimpinan antara kubu Djan Faridz dan Muhammad Romahurmuziy, serta pencopotan Suharso Monoarfa dari jabatan ketua umum pada 2022.
“Konflik-konflik internal yang terjadi di PPP itu membuat konsentrasi partai juga menjadi terpecah dan membuat perjuangan untuk bisa memenangkan partainya itu menjadi melelahkan,” kata Ujang.
Selain itu, tambahnya, kehadiran banyak partai baru membuat suara masyarakat terpecah dan PPP pun kehilangan massanya, termasuk ke PKB yang “lahir dari rahim NU” dan partai-partai lain yang bergolongan nasionalis.
Pada 2022, NU mengeklaim jumlah anggotanya di Indonesia mencapai kira-kira 150 juta.
Sementara itu, hasil studi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. pada 2023 menunjukkan mayoritas pemilih dari NU justru menempatkan PDI-P sebagai partai favorit, dengan persentase 21,9%.
Partai Gerindra jadi partai pilihan favorit kedua, dengan porsi 13,6%. PKB justru hanya duduk di posisi ketiga dengan 11,6%.
“Pemilih NU yang tidak memilih PKB itu kebanyakan justru memilih partai nasionalis, terutama PDIP. Nah, kenapa bukan PPP?” kata Aisah.
“Makanya menurut saya berarti PPP gagal menarik ikatan dengan orang-orang NU. Partainya tidak berfungsi secara efektif untuk melakukan kaderisasi, rekrutmen, plus penguatan ikatan dengan konstituennya.”
Lebih lanjut, PPP pun kesulitan meraih dukungan dari para pemilih muda, yang mendominasi pemilu 2024, kata Ujang.
Baliho PPP di kantor pusatnya di Jakarta dan empat perempuan duduk di depannya, 1999.
Achmad Baidowi, ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, menyadari hal ini. Karena itu, menurutnya PPP harus berbenah.
“Kita harus evaluasi dalam rangka perbaikan ke depan, dalam rangka merespons perubahan politik yang ada di lapangan,” kata Baidowi.
“Karena, ke depan itu tentu situasi politik akan berubah dengan adanya bonus demografi. Kita sudah mempelajari.”
Namun Romahurmuziy, yang kini menjabat ketua Majelis Pertimbangan PPP, tetap merasa perolehan suara partainya seharusnya “jauh melampaui” ambang batas parlemen 4%.
“DPP PPP diperintahkan menyiapkan langkah-langkah untuk melakukan gugatan ke Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi dalam rangka mengembalikan suara PPP yang digembosi di beberapa dapil, justru setelah terjadinya coblosan,” kata pria yang akrab disapa Romi ini.
Tantangan pelik partai-partai cilik
Tak mudah bagi partai baru seperti Gelora dan Ummat untuk bisa menembus ambang batas parlemen 4% di pemilu legislatif pertamanya, kata Aisah Putri Budiatri dari BRIN.
“Yang paling menjadi kunci untuk bisa lolos parliamentary threshold bagi partai baru adalah sejauh mana sih partai baru itu punya modal finansial dan modal sosial yang cukup untuk menembus 4%,” katanya.
“Itu sangat tidak mudah, karena pertandingannya melawan partai-partai dengan anggota legislatif petahana, yang pasti sudah punya basis finansial sama basis massa lebih mapan.”
Dalam konteks dua partai ini, ideologi bisa jadi bukan faktor utama, tambahnya, karena yang tak kalah penting adalah kehadiran individu dengan kompetensi, pengalaman politik, dan kemampuan finansial yang kuat untuk melawan para petahana di pemilu legislatif.
Apalagi, banyak calon anggota legislatif dari dua partai itu yang merupakan politisi baru.
“Yang terkenal di ruang publik ya dua sampai tiga orang gitu, padahal yang menentukan kan calegnya untuk bisa menembus 4%,” kata Aisah.
Amalinda Savirani, dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, sebelumnya pun mengatakan “hampir mustahil” partai-partai baru bisa meraup persentase suara 4%.
Apalagi, katanya, partai baru menghadapi beban berat untuk memenuhi sejumlah syarat administratif, di luar usaha untuk menggaet banyak pemilih.
Sebagai catatan, partai baru wajib memiliki kepengurusan di 75% dari jumlah total kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.
“Jadi ini tentang infrastruktur partai politik yang gila, yang membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif,“ kata Amalinda.
Konsistensi PKS sepanjang era Reformasi
Sejak pertama mengikuti pemilu legislatif pada 2004, persentase suara PKS tak pernah kurang dari 6%.
Trennya pun nyaris selalu naik. Persentasenya sempat turun ke 6,77% di 2014 dari 7,89% pada lima tahun sebelumnya, sebelum naik kembali hingga menyentuh 8,42% tahun ini.
Menurut Pipin Sopian, juru bicara PKS, ini bisa terjadi karena proses pembinaan kader partai yang terstruktur dan konsisten, yang terus dilakukan bahkan di luar musim pemilu.
Proses pembinaan itu dianggap sukses membentuk militansi para kader PKS, terutama yang berlandaskan pemahaman terhadap nilai-nilai partai.
“Misalnya pemahaman bahwa berpolitik itu adalah bagian dari ibadah,” kata Pipin.
“Kemudian kita melihat bahwa politik ini adalah pengabdian kepada masyarakat, pelayanan kepada masyarakat, bukan hanya sekadar soal kekuasaan, tetapi setiap orang harus bertanggung jawab, harus terlibat, berkontribusi dalam politik.”
Struktur partai yang solid dari pusat ke wilayah dan ranting, kata Pipin, juga memudahkan partai mengeksekusi target yang berasal dari satu komando.
Selain itu, PKS disebut selalu menjalankan kampanye gagasan alih-alih identitas.
“Kami tidak membawa kampanye identitas seperti, ‘Oh, pilih partai Islam,’ dan sebagainya. Kalau Anda perhatikan, kampanye kami tidak pernah membawa itu. PKS selalu membawa kampanye gagasan,” kata Pipin.
“Orang mau memilih karena identitas atau bukan itu monggo, itu hak setiap orang. Tetapi kami punya preferensi, bahwa kami berharap bisa dipilih oleh pemilih yang rasional, pemilih yang punya cara pandang bahwa kalau mau memilih, maka lihat program kerjanya.”
Menurut Pipin, di awal kehadiran PKS, banyak orang menganggap bahwa partai ini “homogen” atau bahkan diisi oleh satu kelompok radikal.
Padahal, anggota PKS berasal dari berbagai latar belakang, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis), tambahnya.
Perlahan, PKS berusaha mengubah stigma itu, termasuk dengan melakukan “peremajaan” terhadap lambang, mars, dan struktur partai agar dapat merangkul semua pihak.
“PKS tidak hanya [berisi] satu, dua kelompok, tetapi semuanya bisa,” ujar Pipin.
“Siapa pun bisa bergabung selama ikut dalam visi-misi dan AD/ART partai.”
sumber: bbc