SELAMA PULUHAN TAHUN ACEH MENYAMBUT BAIK PENGUNGSI ROHINGYA. LANTAS, MENGAPA SEKARANG MENOLAK?

Penolakan Rohingya oleh warga Aceh dianggap tidak manusiawi, namun sebagian mengatakan itu wajar. CNA berbincang dengan warga dan pengungsi, dan melihat bagaimana pemerintah mencoba mencari solusi.

LHOKSEUMAWE, Indonesia: Selama dua minggu, Mohammad Ershad bersama istri dan dua putranya dijejalkan bersama 218 orang lainnya di dalam lambung kapal nelayan.

Untuk menghindari deteksi aparat, penyelundup memerintahkan mereka, para pengungsi Rohingya, untuk mendekam di bawah dek selama hampir sepanjang perjalanan 1.800km mengarungi Laut Andaman yang ganas dari Bangladesh menuju Indonesia.

Mereka makan dan tidur di ruang penyimpanan ikan yang gelap, lembab dan penuh sesak. Ershad mengenang, air laut terkadang merembes masuk ke dalam lambung kapal berukuran 3×10 meter itu. Ditambah lagi, kompartemen yang mereka tempati berbau asap pembuangan dan solar dari ruang mesin.

Ketika kapal memasuki perairan Indonesia, kapten dan krunya telah lama kabur, meninggalkan mereka terombang-ambing mengikuti arah ombak.

Kondisi para pengungsi lemas dan dehidrasi, belum makan apa-apa dalam empat hari terakhir, kata Ershad, 28, kepada CNA. Meski lemah, mereka semua melonjak bangkit ketika tahu kapal terapung ke pesisir desa Ujong Kareung, bagian paling utara Aceh, pukul 10 malam, 21 November lalu.

Para pengungsi tidak sabar untuk segera turun dari kapal, sampai-sampai banyak dari mereka meninggalkan barang-barang dan membuat kapal terbalik ke satu sisi, ujar Ershad lagi.

“Kami datang ke Indonesia karena Indonesia sangat baik kepada Rohingya,” kata Ershad.

Para pengungsi berharap akan kebaikan dan simpati dari warga setempat, tapi yang mereka dapat malah penolakan.

“Mereka mencoba mengembalikan kami ke kapal. Mereka ingin mendorong kembali kapal ke laut,” kata Ershad, yang mengaku ketika itu diteriaki, didorong, dan diancam dengan kekerasan oleh warga desa.

Para pengungsi akhirnya diperbolehkan menetap hanya setelah pemerintah lokal berjanji merelokasi mereka dari desa tersebut dalam waktu 24 jam. Pada pukul 6 pagi keesokan harinya, mereka diangkut ke sebuah bangunan tua di kota Lhokseumawe, 213km jauhnya dari Ujong Kareung.

Lantas apa yang membuat sikap warga Aceh berubah terhadap pengungsi Rohingya?

PENINGKATAN KEDATANGAN SEJAK NOVEMBER

Sejak 14 November, lebih dari 1.600 pengungsi Rohingya tiba di Aceh, termasuk wanita dan anak-anak dengan yang paling kecil berusia satu tahun. Jumlahnya naik dua kali lipat dibanding kedatangan mereka ke provinsi tersebut pada 2022, dan perjalanan mereka berisiko kematian. BBC melaporkan setidaknya satu anak meninggal dunia karena dehidrasi di tengah lautan.

Gelombang kedatangan terakhir, yang terdiri dari 50 orang, tiba dengan kapal ke kabupaten Aceh Timur pada 14 Desember lalu. Kepada media setempat, seorang pengungsi mengaku awalnya ada 129 orang bersama mereka tapi terpaksa harus pindah ke kapal yang lebih kecil karena kapal mereka rusak di perairan dekat Thailand. Artinya, ada setidaknya 79 pengungsi lainnya yang tengah menuju Indonesia.

Pengamat mengatakan, lonjakan kedatangan para pengungsi ini terjadi seiring meningkatnya ketegangan di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Sejak puluhan tahun di negara itu, Rohingya menjadi sasaran persekusi. Faktor lainnya adalah memburuknya kondisi kehidupan di Bangladesh, tempat hampir satu juta Rohingya mengungsi.

Gelombang kedatangan mereka juga berkaitan dengan berakhirnya musim penghujan di Teluk Benggala, ketika gelombang di Laut Andaman menjadi lebih tenang. Tahun ini, musim penghujan dimulai pada Juni dan berakhir pertengahan Oktober.

“KAMI TINGGAL DALAM KEGELAPAN”

Sekitar 500 pengungsi Rohingya telah direlokasi ke gedung tak terpakai milik kantor imigrasi Lhokseumawe. Sementara ratusan lainnya dirumahkan di bangunan panti asuhan kosong di Kabupaten Pidie.

Beberapa lainnya tinggal di tenda-tenda yang tersebar pada beberapa lokasi di Aceh.

Seorang pria Rohingya menerbangkan layang-layang saat anak-anak menonton di sebuah kamp pengungsian sementara di Lhokseumawe, Aceh. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Di Lhokseumawe, satu ruangan 3×3 meter bisa ditempati hingga 15 orang. Sementara ruang utamanya mampu menampung lebih dari 100 pengungsi.

Setiap sore, terlihat antrean pengungsi mengular ingin memakai kamar mandi. Sementara di sekeliling, anak-anak Rohingya bermain di lapangan yang tanahnya berubah menjadi lumpur setelah diguyur hujan.

Tapi kondisi di kamp pengungsi Indonesia masih lebih baik dibanding di Bangladesh, ujar Imam Hussein, pengungsi Rohingya berusia 25 tahun.

“Di sini, saya merasa aman,” kata Imam, yang datang ke Indonesia bersama istri dan dua anaknya bulan lalu. “Di Bangladesh, ada preman-preman yang meminta uang. Saya lebih memilih Indonesia dibanding Bangladesh.”

Keluarga Imam meninggalkan Myanmar pada 2017 ketika negara itu melancarkan serangan brutal terhadap warga etnis Rohingya. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang dibunuh dan rumah-rumah dibakar,” kata dia.

Orang tuanya masih di Bangladesh karena mereka tidak mampu membayar ongkos US$1.000 (Rp15,4 juta) untuk pergi ke Indonesia.

Imam Husein, 25, datang ke Indonesia bersama istri dan kedua anaknya dengan menumpang perahu bersama lebih dari 200 pengungsi lainnya pada 15 November lalu.

Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), puluhan ribu warga Rohingya terbunuh dalam serbuan militer Myanmar pada 2016 dan 2017, dan lebih dari 700.000 lainnya terpaksa lari ke Bangladesh. Banyak negara melabeli serbuan tersebut sebagai genosida.

Eksodus Rohingya menciptakan salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia, yakni di Cox’s Bazar dan Bashan Char, Bangladesh, yang masing-masing menampung 939.000 dan 30.000 pengungsi Rohingya.

Kepada CNA, beberapa pengungsi mengatakan kondisi di pengungsian Bangladesh dari tahun ke tahun semakin memburuk.

“Banyak perkelahian di Bangladesh… Kami tidak punya kebebasan… Orang-orang Rohingya tidak punya (akses ke) pendidikan,” kata Hamid Hussain, 21, warga Rohingya yang ke Aceh bulan lalu dengan orang tua dan dua saudara kandungnya.

Hamid mengatakan, berbagai tindak kejahatan seperti pencurian, pemerasan dan perdagangan manusia marak terjadi di kamp-kamp pengungsi Bangladesh.

Selain itu, para pengungsi juga harus menghadapi kondisi cuaca ekstrem seperti Topan Mocha yang menghantam utara Myanmar dan selatan Bangladesh pada Mei lalu. Bencana topan memaksa ribuan pengungsi dan warga setempat untuk evakuasi.

“Saya kira banyak orang yang hidup dalam kegelapan di Bangladesh. Tidak hanya keluarga saya. Semua orang hidup dalam kegelapan di Bangladesh,” kata Hamid memberikan perumpaan.

“KAMI HANYA BISA MEMBANTU SEMAMPUNYA”

Sejak pengungsi Rohingya pertama kali datang ke Indonesia di awal 2000-an, mereka diperlakukan selayaknya saudara sesama Muslim yang sedang membutuhkan bantuan di Aceh, sebuah provinsi yang menerapkan Syariah Islam sebagai peraturan perundangannya.

“Mereka memberi kami makanan, tempat tinggal, pakaian, semuanya. Mereka membantu kami mencapai pantai dan merawat luka-luka kami. Orang-orang ini sangat baik,” kata Alex Alomgir, yang tiba di Aceh pada Januari lalu bersama dengan 183 pengungsi Rohingya lainnya.

Tapi sikap warga Aceh perlahan berubah.

Dua perempuan Rohingya sedang mengaji Alquran di tempat penampungan sementara di Pidie, Aceh. (Foto: Wisnu Agung Prasetyo)

Sebelum akhirnya terdampar di desa Ulee Madon, kabupaten Aceh Utara, pada 16 November lalu, kapal yang membawa 249 pengungsi Rohingya sempat dua kali ditolak mendarat oleh warga kabupaten Bireun.

Menurut pengungsi dan warga setempat, dalam dua kali penolakan itu para nelayan mencegah kapal Rohingya mencapai bibir pantai dan mendereknya kembali ke perairan lepas.

Pelaku penyelundup manusia yang mengawaki kapal juga sudah duluan kabur, jadi kapal itu hanya berserah pada gelombang laut yang membawa mereka ke arah timur hingga mencapai kabupaten Aceh Utara.

Saiful Fuadi, tokoh adat yang menaungi 10 desa termasuk Ulee Madon, mengatakan warga desa enggan menampung para pengungsi.

“Tapi mereka mendarat di malam hari ketika warga tertidur. Pada pagi hari, pantai sudah penuh dengan mereka,” kata dia.

Tokoh adat Aceh, Saiful Fuadi, di desa Ulee Madon, tempat 249 pengungsi Rohingya tiba pada 16 November.

Saiful mengatakan, masyarakat desa akhirnya setuju memberikan para pengungsi makanan dan pakaian kering, dengan syarat pemerintah daerah harus segera memindahkan mereka.

“Karena kasihan kami masih membantu dengan memberi kebutuhan mereka, tapi mereka tidak bisa tinggal di sini. Kami tidak bisa melaut jika mereka di sini. Itu akan membuat kami tidak nyaman,” kata dia.

Kami kasihan sama mereka. Tapi kami tidak bisa terus membantu. Apalagi jika mereka terus berdatangan. Kami hanya bisa membantu semampunya.”

Warga di desa Lapang Barat, kabupaten Bireun, merasakan hal yang sama ketika 256 pengungsi mendarat di pantai mereka pada 19 November lalu.

“Pemerintah bertanya apakah mereka bisa menempatkan pengungsi di sini,” kata kepala desa Muchtar.

Muchtar, Kepala Desa Lapang Barat, Aceh, di lokasi pendaratan 256 pengungsi Rohingya pada 19 November lalu. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

“Kami katakan, mereka bisa tinggal untuk empat kali makan. Kami tidak sanggup jika tinggal lebih lama… bukannya kami menolak. Kami tidak sanggup (mengakomodasi mereka). Tidak ada tempat permanen. Dan mereka akan mengganggu orang melaut.”

Tapi tidak semua orang di Aceh berpandangan sama. Badan PBB yang mengurusi pengungsi disambut baik di desa Batee, kabupaten Pidie. Di tempat ini, tenda-tenda didirikan sebagai tempat tinggal 233 Rohingya yang terdampar pada 15 November.

Keberadaan para pengungsi menarik perhatian warga yang penasaran. Setiap sore, mereka berbondong-bondong datang untuk melihat pengungsi Rohingya dan kapal yang mereka tumpangi, yang sampai saat ini masih tertambat di pantai.

Warga berbondong-bondong ke desa Batee di Aceh untuk melihat 233 pengungsi Rohingya yang mendarat pada tanggal 15 November lalu. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

“Tidak apa-apa,” kata Abdul Rahman, 17, ketika ditanya apa perasaannya menjadi perhatian warga setempat. “Mereka baik. Kadang memberikan saya makanan.”

Tapi menurut Aris Munandar, penjaga keamanan di kamp pengungsi itu, sambutan baik masyarakat perlahan mulai luntur.

“Ada orang-orang yang tidak senang desa mereka jadi kamp pengungsian, terutama karena orang-orang Rohingya sudah di sini selama berminggu-minggu,” kata dia.

PERLUNYA CAMPUR TANGAN PEMERINTAH

Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951, tapi telah menerima para pengungsi dari Myanmar dan negara-negara yang dilanda perang lainnya seperti Afghanistan dan Suriah. Para pengungsi diperbolehkan tinggal sampai badan pengungsi PBB UNHCR bisa menemukan negara lain yang mau menerima mereka secara permanen.

Meskipun mengadopsi prinsip non-refoulement – yang berarti tidak akan mendeportasi pengungsi dan pencari suaka kembali ke negara mereka -, namun sebagai negara yang tidak menandatangani Konvensi Pengungsi, Indonesia tidak berkewajiban memberi kewarganegaraan kepada 12.000 pengungsi yang saat ini mereka tampung.

Para pengungsi juga dilarang memiliki pekerjaan secara sah di Indonesia karena status imigrasi mereka. Artinya, penghidupan mereka sepenuhnya bergantung kepada UNHCR dan donasi dari lembaga-lembaga amal.

Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan akan menampung para pengungsi untuk sementara waktu dengan alasan kemanusiaan namun tetap akan melindungi kepentingan nasional.

Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pada 14 Desember lalu mengatakan pemerintah telah mengundang tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara dan Riau, untuk berembuk soal di mana tempat penampungan sementara akan dibangun.

“Perlu dicatat bahwa meskipun kita menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, namun tidak boleh mengabaikan kepentingan nasional kita sendiri, mengingat kepentingan kita adalah dengan populasi negara kita yang besar,” katanya.

Pada 11 Desember lalu, Mahfud kepada wartawan mengatakan: “Tapi rakyat Indonesia yang di dalam juga banyak yang mempersoalkan, ‘loh pak kami juga lapar, kami juga miskin’. Ya sama-sama ditolong (masyarakat dan pengungsi). Namanya negara itu tugasnya kan melindungi hak asasi manusia juga. Memastikan semuanya aman. Memastikan tidak ada korban.”

Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951, namun telah mengizinkan para pengungsi untuk tinggal sementara. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Awal bulan ini, Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin mengatakan kemungkinan para pengungsi akan ditempatkan di pulau Galang dekat Batam.

Sementara itu, penjabat gubernur Aceh Achmad Marzuki kepada wartawan mengatakan bahwa penolakan oleh masyarakat setempat “bisa dipahami”.

“Kita sangat paham situasi masyarakat. Bagaimana ketidaknyamanan masyarakat seandainya di kebun mereka atau di pekarangan mereka ada masuk pengungsi 200-300 orang yang memerlukan akses segala macam, jadi kita sangat paham itu,” kata dia pada 11 Desember lalu.

“Tugas pemerintah adalah mencari cara seberapa cepat kita dapat menemukan lokasi baru.”

Indonesia juga tengah menyelidiki bagaimana para pengungsi itu bisa diselundupkan masuk ke Aceh, kata Presiden Joko Widodo.

“Pemerintah Indonesia akan menindak tegas pelaku tindak pidana perdagangan orang,” kata Jokowi bulan ini.

Pemerintah Indonesia mengatakan masyarakat internasional harus bekerja sama untuk mengatasi akar dari krisis pengungsi ini, yakni kekerasan yang terus terjadi di Myanmar.

“Indonesia akan melakukan semua kemampuannya untuk membantu agar konflik di Myanmar dapat segera diselesaikan dan demokrasi segera dipulihkan,” kata juru bicara kementerian luar negeri Indonesia Lalu Muhammad Iqbal pada 12 Desember lalu.

Sementara Ershad, pengungsi Rohingya, mengatakan tidak ada yang paling dia dambakan selain perdamaian di Myanmar.

“Myanmar adalah rumah saya. Ketika pembantaian warga Rohingya berhenti, ketika ada perdamaian dan stabilitas di Myanmar, jelas saya akan pulang,” kata dia.
sumber: channelnewsasia.

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.