SUMBER GAMBAR, ANTARA FOTO
Keterangan gambar,
Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat agar tetap waspada dan menggunakan masker saat berpergian maupun berkumpul bersama.
Pakar epidemiologi memperkirakan jumlah kasus Covid dapat melonjak menjadi 1.000 hingga 2.000 per hari setelah liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat agar tetap waspada dan menggunakan masker saat berpergian maupun berkumpul bersama.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko, memprediksi jumlah kasus Nataru tahun ini akan melampaui jumlah kasus pada Lebaran kemarin.
“Kenaikan kasusnya akan lebih banyak dari yang lalu. Tapi tidak sebanyak pada waktu pandemi. Terjadinya kenaikan kasus di mana-mana, menunjukkan imunitas negara manapun itu sedang menurun,” ujarnya kepada BBC News Indonesia, Jumat (22/12).
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan kasus aktif hingga Jumat (22/12) mencapai 2.761, dengan 453 kasus baru dan sembilan orang di antaranya meninggal. Ia mengatakan angka itu masih relatif rendah jika dibandingkan dengan standar level 1 WHO.
“Kalau sekarang 2.800 per minggu masih jauh di atas level 1 WHO yang 56.000 kasus per minggu. Jadi masih dalam kondisi yang tidak terlalu mengkhawatirkan,” kata Budi dalam konferensi pers pada Jumat (22/12).
Meski begitu, ia memperkirakan Covid dengan varian baru JN.1 akan mencapai puncaknya pada Januari mendatang, hingga mendominasi varian-varian lain sebelum akhirnya menurun pada Februari 2024.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan virus Covid-19 varian JN.1 sebagai varian of interest (varian yang diperhatikan) pada Selasa (19/12) dan mengatakan bukti saat ini menunjukkan risiko terhadap kesehatan masyarakat dari jenis tersebut rendah.
Para epidemiolog dan Kementerian Kesehatan mengimbau agar masyarakat tetap taat menjalani protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan menggunakan masker, dan melengkapi dosis vaksinasi, serta menjaga daya tahan tubuh
‘Ternyata Covid tidak benar-benar sepenuhnya hilang’
Jemima, 23, seorang peneliti sektor transportasi, sempat dirawat di rumah sakit selama empat hari karena tertular Covid-19 dari keluarganya. Ia baru menyelesaikan isolasi mandiri selama 10 hari dan dinyatakan sembuh total pada Senin (18/12).
“Tante saya yang tinggal satu rumah kena Covid, tapi tidak tahu tertular dari mana. Karena kami juga tidak ke luar negeri atau jalan-jalan. Dan saya yang pertama ketularan,” kata Jemima.
Pada awalnya, gejala yang timbul menyerupai flu, seperti radang, batuk-pilek dan demam, sehingga Jemima tidak terlalu khawatir. Ia memutuskan ke dokter setelah merasa sesak napas dan mual-mual.
“Dari Senin sampai Kamis, saya dirawat di rumah sakit dan satu ruangan dengan pasien-pasien lain yang [menderita] Covid. Tapi kami cuma berdua di ruangan itu,” ungkapnya.
Meskipun ia sudah sembuh, Jemima merasakan napasnya menjadi lebih pendek dibandingkan sebelum terkena Covid dan indra penciumannya masih belum kembali. Sehingga, ia menganjurkan agar masyarakat tetap waspada.
“Ternyata Covid tidak benar-benar sepenuhnya hilang. Meskipun dia lebih ringan daripada sebelumnya, itu tetap ada dan membuat tidak enak badan hingga menganggu hari-hari kita. Jadi lebih baik jaga diri,” ujar Jemima.
Walau ia baru sembuh, ia tetap akan datang ke acara kumpul keluarga dalam rangka perayaan Natal, kendati satu anggota keluarganya sempat terkena Covid setelah dia.
Berbeda dengan Jemima, Tunggal Pawestri dan suaminya terkena Covid saat berlibur di Taipei, Taiwan pada akhir November. Ia menduga penyakit itu menjangkitinya saat menghabiskan waktu di Singapura sebelum berangkat ke Taipei.
Tunggal pun juga mengira ia hanya terkena flu biasa karena gejala Covid yang mirip dengan flu. Namun, setelah ia mulai merasakan demam dan sakit perut, ia dan suaminya memutuskan untuk periksa ke rumah sakit di Taipei.
“Saya tes PCR yang satu jam keluar, dan langsung hasilnya positif Covid. Dan di sana tidak ada karantina, jadi memang kita disuruh kembali ke hotel untuk isolasi mandiri. Saya istirahat selama tiga sampai lima hari dan nanti periksa lagi dengan antigen,” kata Tunggal.
Tunggal mendapatkan dua jenis obat, satu yang mengandung Paracetamol dan yang kedua untuk meredakan sakit tenggorokan.
Sayangnya, ia terpaksa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya obatnya, sebab di Taiwan tes PCS dan obat-obatan tak disubsidi oleh negara – seperti di Indonesia.
“Jadi pengobatan saya habis biaya kurang lebih Rp4 juta. Untuk tes PCR, periksa dokter dan obat. Dan itu saya pikir tidak mungkin semahal itu kalau di Indonesia,” katanya.
Tunggal Pawestri pergi ke rumah sakit di Taipei setelah ia menyadari dirinya mengalami gejalan batuk-pilek, demam dan sakit perut. Ternyata ia positif Covid-19.
Sejak itu, ia menjadi lebih patuh dalam menerapkan protokol kesehatan. Ke mana pun ia pergi, Tunggal tetap mengenakan masker dan membawa pembersih tangan alias hand sanitizer untuk melindungi kesehatannya.
Untuk para pelaku perjalanan, ia juga menyarankan agar mereka tetap disiplin menggunakan masker di pesawat dan di ruang tertutup agar melindungi diri dari risiko tertular Covid saat berlibur.
“Saya merasa ancamannya tetap ada, terutama, kita tidak hanya memikirkan diri sendiri yang mungkin memiliki imun yang baik.
“Seharusnya kita memikirkan kelompok rentan, seperti orang tua yang risikonya lebih tinggi atau orang yang punya komorbid. Kita sudah belajar itu selama bertahun-tahun [dalam pandemi],“ kata Tunggal.
Mengapa kasus meningkat meski Indonesia berstatus endemi?
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan kasus Covid pada musim liburan Nataru, selain banyaknya kerumunan orang-orang yang berlibur dan kumpul keluarga.
Meskipun ada mudik dan acara-acara berkumpul, menurut Miko – begitu dia biasa disapa – jumlah kasus pada Lebaran 2023 masih cukup terkendali karena imunitas masyarakat masih tergolong kuat. Sementara saat ini imunitas dari vaksin terakhir sudah melemah.
“Sekarang statusnya imunitas orang Indonesia sedang menurun. Terjadi kenaikan kasus bermakna di semua negara Eropa kemudian di Asia juga ada kenaikan di Singapura dan Malaysia. Artinya, negara-negara itu cakupan imunisasinya [rendah] dan orang terinfeksi Covid sudah banyak,” ujar Miko.
Pemerintah Indonesia melonggarkan pembatasan pandemi untuk perjalanan, aktivitas berskala besar, dan fasilitas umum, termasuk yang berlaku pada transportasi udara atau pesawat atau angkutan umum.
Selain itu, varian Covid-19 yang terbaru – yakni JN.1 – lebih cepat menular jika dibandingkan dengan varian EG.2 dan EG.5 yang telah beredar sebelumnya. Sehingga, peningkatan kasus diperkirakan akan didominasi oleh JN.1 pada Januari mendatang.
Miko mengatakan bahwa kini masyarakat tak lagi menerapkan protokol kesehatan secara ketat sejak pemerintah mengubah status pandemi menjadi endemi. Oleh sebab itu, ia khawatir jumlah kasus akan meningkat menjadi 1.000 hingga 2.000 per hari usai musim liburan akhir tahun.
“Pernyataan presiden mencabut status pandemi, walaupun salah istilahnya, menurut saya status yang dicabut adalah epidemi di negara kita. Wabah di negara kita sudah selesai di Maret 2023.
“Kalau status wabahnya hilang bukan berarti penyakitnya hilang. Kami selalu mengingatkan agar hati-hati, Covid masih ada. Jadi tetap masih ada,” tegas Miko.
Senada, epidemiolog dari Universitas Udayana, Pande Putu Januraga, mengatakan Covid-19 masih ada bersama kita dan cara penularannya pun masih sama. Sehingga, masyarakat masih perlu waspada.
“Meskipun tingkat penularan dan kemampuan menyebabkan gejala berat Covid-19 sudah jauh menurun di awal pandemi dan kita sudah masuk periode endemi, kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dan gejala berat harus mendapat perhatian,” kata Pande.
Ia mengatakan bahwa semua varian yang masuk variant of interest harus mendapat perhatian karena kemungkinan memiliki sifat yang berbeda dan mempengaruhi tingkat transmisi dan keparahan.
“EG.2 atau EG.5 adalah varian dominan dan JN.1 baru masuk, jadi banyak yang belum kita ketahui di masyarakat mengenai tingkat keparahannya,” ungkapnya.
Pande menjelaskan bahwa pandemi merupakan wabah yang meluas di dunia, sementara endemi adalah kondisi distribusi penyakit di masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda stabilisasi jumlah kasus yang ditemukan.
“Misalnya, malaria bisa saja dianggap endemi di papua karena selalu ada dan ketika merebak di Bali disebut epidemi atau wabah karena sebelumnya tidak ada. Jadi karena Covid-19 endemi, maka ada kasus terus,” tutur Pande.
Bagaimana cara mengantisipasi agar tidak tertular Covid?
Tri Yunis Miko, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, mengatakan gejala yang timbul dari EG.2, EG.5, dan JN.1 tergolong ringan jika dibandingkan dengan gejala-gejala pada wabah sebelumnya sekitar dua tahun yang lalu.
“Kalau menurut saya, sekarang gejalanya cenderung lebih ringan karena semua orang di seluruh dunia sudah mendapatkan imunisasi dari infeksi Covid,” katanya.
Meski begitu, ia memperingatkan bahwa berat atau ringannya gejala yang dialami pasien yang terjangkit Covid tak bisa dipastikan sebab tergantung dengan kondisi badan masing-masing dan potensi memiliki komorbid yang belum terdeteksi.
“Karena komorbid lainnya seperti hipertensi, sakit jantung, misalnya penyumbatan sedikit saja pada koroner itu akan memperberat jantungnya akibat Covid. Apalagi jika ada kelainan imunitas,” jelas Miko.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar masyarakat tetap menggunakan masker, menjaga jarak serta meningkatkan imunitas tubuh dengan mengonsumsi makanan sehat dan melengkapi vaksinasi.
Miko menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan masker dan vaksin. Akan tetapi protokol kesehatan yang ketat dan vaksinasi dapat mengurangi risiko terkena Covid dengan gejala berat.
“Lebih baik kita mencegah sebelum mengobati karena mencegah itu jauh lebih baik dibanding mengobati,” ujar Tri.
Pakar epidemiolog dari Universitas Udayana, Pande Putu Januraga, menyarankan agar masyarakat paling tidak menerapkan langkah-langkah mendasar untuk melindungi diri dari Covid-19 selama liburan Nataru.
“Back to basic, lengkapi imunisasi, vaksin booster jika berisiko. Menggunakan masker tidak ada ruginya dan cuci tangan dengan benar,” ujar Pande.
Bagaimana kesiapan pemerintah menghadapi kenaikan kasus Covid?
Untuk mengantisipasi pergerakan 100 juta penduduk yang akan berpergian untuk liburan Nataru, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan telah mendirikan 2.000 pos pelayanan dengan 15.000 orang yang melayani di titik-titik kritis.
“Di jalan tol, di stasiun-stasiun kereta api, di bandara dan pelabuhan. Di mana terjadi pergerakan masif masyarakat. Diharapkan kalau ada masalah kesehatan, kita dapat merespon dengan baik,“ ujar Budi dalam konferensi pers pada Jumat (22/12).
Terkait peningkatan kasus Covid-19, Budi mengatakan saat ini jumlah kasus masih di tingkat yang relatif aman. Berdasarkan hasil pemeriksaan 77 sampel dari 453 kasus baru, Kemenkes menemukan sekitar 43% dari sampel tersebut merupakan varian JN.1
“Itu kita wajib waspadai, dan ini datangnya dari luar negeri, varian JN.1 yang banyak terjadi di luar negeri. Tapi kita melihat di negara tetangga kita sudah terjadi penurunan. Jadi seharusnya dalam waktu yang tidak lama lagi itu terjadi di kita,“ jelas Budi.
Ia memperkirakan bahwa varian JN.1 akan meningkat sebanyak 19% pada minggu pertama Desember dan akan terus naik hingga mencapai puncak 80-90% pada Januari.
“Harusnya di Januari puncaknya tercapai, dua sampai empat minggu maskimal sudah terjadi. Mudah-mudahan nanti kita lihat, kalau puncaknya sudah terjadi. Februari sudah turun kembali [angka kasus Covid],“ kata Budi.
Dari segi peralatan, ia mengatakan Indonesia masih memiliki ketersediaan vaksin sebanyak dua juta dosis.
“Vaksinasi masih ribuan ordernya, dan saya rasa masih cukup minimal sampai tiga sampai enam bulan masih cukup. Untuk vaksin yang kita beli tahun ini, jadi masih bisa dipakai,” ujarnya.
Ia juta memastikan bahwa peralatan rumah sakit seperti tabung oksigen sudah lengkap dan siap tersedia untuk menampung pasien Covid-19 yang perlu dirawat.
Ketika ditanya apakah pemerintah akan menjadikan tes Covid sebagai syarat melakukan perjalanan, Budi mengatakan pemerintah tidak akan memberlakukan syarat itu karena hanya memberatkan masyarakat.
Melainkan, karena sekarang Indonesia berstatus endemi, ia menyatakan bahwa pemerintah akan menyerahkan ke masyarakat untuk upaya memahami dengan sendirinya protokol kesehatan agar tidak tertular penyakit.
Hal ini mencakup menggunakan masker saat kurang enak badan atau saat berada di keramaian.
“Kita kembalikan ke masyarakat. Sekarang posisi pemerintah karena ini sudah endemi adalah seperti itu, jadi kita lebih memberdayakan masyarakat untuk menjaga kesehatan mereka dan keluarganya,“ ujar Budi.
Epidemiolog Tri Yunis Miko mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan meningkatkan kembali status wabah Covid-19 jika jumlah kasus mencapai 5.000 hingga 15.000.
“Jadi kasusnya itu sudah menunjukkan pemerintah Indonesia perlu hati-hati. Saya belum melihat gerakan yang tepat pada pemerintah Indonesia, seolah-olah penyakit Covid masih diabaikan,“ kata Tri.
sumber: bbc