Dua orang warga Kota Sabang saat melihat kapal yang digunakan pengungsi Rohingya mengarungi lautan dan berlabuh di pesisir Le Meulee, Kota Sabang, Aceh. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
Warga di Pulau Weh ramai-ramai menolak kehadiran pengungsi etnis minoritas Muslim-Rohingya. Mengapa demikian?
VOA — Gelombang penolakan kehadiran pengungsi etnis Muslim-Rohingya terus terjadi di sejumlah wilayah di Aceh. Penolakan itu terjadi seiring dengan meningkatnya arus kedatangan pengungsi Rohingya di provinsi tersebut mulai pertengahan November, tak terkecuali di Pulau Weh.
Satu kapal reyot yang membawa 139 pengungsi Rohingya berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Kota Sabang, Aceh, pada 2 Desember. Semula mereka ditampung di Balohan. Namun, setelah muncul penolakan warga, untuk sementara waktu para pengungsi ini ditampung di sebuah lokasi di kawasan Dermaga CT-1 milik Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), di Kota Sabang.
Wak Dolah yang merupakan masyarakat Kota Sabang dengan tegas menolak kehadiran pengungsi Rohingya di Pulau Weh. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
Wak Dolah adalah salah satu masyarakat yang menolak kedatangan di Pulau Weh lantaran mendaratnya para pengungsi etnis Rohinga di Pulau Weh memiliki unsur kesengajaan.
“Kalau terdampar itu lima sampai tujuh orang. Ini bukan terdampar lagi. Sudah banyak masuk ke Aceh, termasuk ke Sabang dua kali (November-Desember). Ini yang paling lama (masih di Sabang) yang kemarin mendarat di Le Meulee yang sebelumnya dibawa keluar dari sini,” katanya kepada VOA, Jumat (15/12).
Menurut Wak Dolah saat ini seluruh warga Pulau Weh menolak kedatangan pengungsi etnis Rohingya karena beragam alasan. Namun, yang paling utama adalah karena mereka kesal dengan perilaku para pengungsi Rohingya.
“Mereka bukan lagi cari suaka, misalnya sudah masuk satu kapal. Bakal ada yang masuk lagi nanti. Sudah enak soalnya makan dikasih, semuanya dikasih. Kadang-kadang makanan itu mereka bilang sedikit dan dibuang. Itu di Sabang sudah lebih dari 10 hari. Buang air besar sembarangan jadi semua orang di Sabang complain,” jelas Wak Dolah.
Menurutnya diperlukan kerja sama lintas kelompok seperti nelayan, TNI, dan polisi di Pulau Weh untuk mencegah berlabuhnya pengungsi Rohingya ke Aceh. “Namun saya heran kemarin tiba-tiba Rohingya datang dan tidur di pantai. Keesokannya atau pas kejadian itu tiba-tiba UNHCR (organisasi PBB untuk urusan pengungsi) sudah di tempat, berarti ada apa sebenarnya?” katanya.
Seakan mewakili warga Pulau Weh, Nedi meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil tindakan tegas terkait maraknya pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh.
“Saya mohon ke Pak Jokowi tegas menghadapi Rohingya, jangan sampai seperti Malaysia, itu contoh. Jadi kalau bisa secepat mungkin, Pak Jokowi itu langsung ambil tindakan tegas. Pesan saya kepada Presiden Jokowi untuk tegas dan secepat mungkin mengeluarkan Rohingya dari Sabang. Harus segera dipulangkan,” ujarnya.
Sejumlah perempuan Muslim Rohingya saat beristirahat di pantai setibanya di Blang Raya, Pidie, Aceh, 10 Desember 2023.
Warga Kota Sabang lainnya, Suprati, bahkan mengancam tidak akan berpartisipasi dalam Pemilu 2024 apabila pengungsi Rohingya tidak dikeluarkan dari Pulau Weh. “Kami sudah beri waktu 14 hari. Ini harus keluar mereka. Mau tidak mau harus keluar. Kalau mereka tidak keluar, kami tidak akan ikut pemilu,” kata Suprati kepada VOA.
KontraS: Stigma dan Hoaks Picu Ketidaksukaan Warga Lokal
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan penolakan warga itu terjadi karena adanya informasi negatif dan stigma yang terus beredar di masyarakat, baik dari media sosial maupun oknum-oknum yang terus mereproduksi ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya.
“Sejumlah informasi yang tidak benar itu disampaikan termasuk video-video yang sengaja dibuat untuk memojokkan pengungsi Rohingya. Kebanyakan video itu tidak benar atau hoaks sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang salah,” jelasnya kepada VOA.
Belum lagi lambatnya pemerintah lokal dan pusat mencegah kedatangan mereka sejak awal. “Hal ini tentu saja membuat masyarakat kebingungan. Padahal jika merujuk pada peraturan terkait penanganan pengungsi Rohingya sudah jelas pihak-pihak itu dengan segera bergerak untuk penanganan pengungsi,” kata Husna.
“Setelah dipotong biaya operasional, keuntungannya dibagi untuk kapten kapal, nakhoda, operator mesin, dan koordinator utama yang berada di kamp Cox’s Bazar Bangladesh,” jelasnya.
Joko juga menjelaskan sebelum keberangkatan para pengungsi Rohingya terlebih dahulu bisa memilih ke mana akan berlabuh seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun karena ketatnya penjagaan perairan Thailand dan Malaysia, mereka umumnya mengalihkan tujuannya ke Indonesia.
“Sedangkan keterlibatan warga negara Indonesia dalam kejahatan penyelundupan manusia ini adalah membantu mengeluarkan para etnis Rohingya dari kamp atau tempat penampungan di Aceh. Lalu, membawanya menuju Malaysia melalui Tanjung Balai di Sumatra Utara atau Dumai, Riau dengan biaya Rp5-10 juta per orang,” jelas Joko.
Pengungsi Rohingya yang baru tiba terdampar di perahu karena masyarakat sekitar memutuskan untuk tidak mengizinkan mereka mendarat setelah memberikan air dan makanan di Pineung, Aceh, 16 November 2023.
Saat ini Polda Aceh hanya fokus terhadap pengamanan dan pemberian bantuan kemanusian untuk pengungsi Rohingya, sembari menunggu penanganan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan UNHCR.
Menurut Joko, kedatangan imigran Rohingya ke Aceh sudah menjadi momok sehingga menimbulkan reaksi penolakan dari masyarakat setempat. “Kami dari kepolisian, khususnya Polda Aceh dan polres jajaran, hanya fokus pada pengamanan etnis Rohingya yang terdampar agar tidak terjadi konflik dengan warga,” pungkasnya.
Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sejak pertengahan November 2023 mencapai 1.543 orang, tersebar di Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe. [aa/em]
sumber: voa