PUTUSAN MK: MK TOLAK GUGATAN PERKARA BATAS USIA CAPRES-CAWAPRES – PUTUSAN KONTROVERSIAL ANWAR USMAN TETAP MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM

SUMBER GAMBAR, ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA
Keterangan gambar,
Gibran Rakabuming Raka (kanan) maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024 mendampingi calon presiden Prabowo Subianto (kiri)

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, tentang batas usia syarat calon presiden dan wakil presiden seperti yang tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 169 huruf q itu telah dimaknai atau ditambahkan normanya oleh MK melalui putusan nomor 90 sebagai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sehingga membuka pintu bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto dalam Pemilu Presiden 2024.

Dalam gugatannya, Brahma, menilai frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945.

Sehingga dia minta agar diubah menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”.

“Amar putusan, menyatakan permohonan provisi tidak dapat diterima. Dalam pokok perkara, menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo dalam pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/11).

Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo memimpin sidang pada Rabu (29/11)

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim MK:

Pertama, karena putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat sejalan dengan pendirian MKMK dalam putusannya nomor 2/2023.

Oleh karena itu, jika menurut pemohon adanya putusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etik dan berkesimpulan putusan MK nomor 90 mengandung intervensi dari luar, konflik kepentingan, dan cacat hukum, serta menimbulkan ketidakpastian hukum – menurut MK dalil pemohon itu tidak dapat dibenarkan.

Sebab bagaimanapun, menurut MK, putusan MK nomor 90 itu tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

“Maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh pemohon dan dengan pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar putusan-putusan sebelumnya… sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya,” ujar hakim konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh.

Kedua, Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa syarat batas usia minimum menjadi capres dan cawapres tidak dicantumkan dalam UUD 1945.

Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 hanya mensyaratkan capres dan cawapres harus seorang warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.

Kemudian tidak pernah mengkhianati negara serta mampu secra rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Adapun persyaratan lain, sambung hakim Daniel Yusmic, terbuka untuk diatur dalam undang-undang, termasuk batasan minimal usia capres dan cawapres.

Di Indonesia, sambungnya, saat pemilu presiden dan wakil presuden masih terpisah dengan pengaturan pemilu anggota legislatif pada tahun 2004, 2009, dan 2019, ditetapkan bahwa batasan minimum usia capres-cawapres adalah sekurang-kurangnya 35 tahun.

Tapi ketika pemilu presiden dan wakil presiden disatukan dengan pemilu anggota legislatif – dalam rezim pemilu serentak – tahun 2019, persyaratan usia capres-cawapres dinaikkan menjadi paling rendah 40 tahun.

“Merujuk pada hal itu, batas usia minimal untuk menjadi capres dan cawapres terbuka ‘disesuaikan’ dengan kebutuhan dinamika bernegara sepanjang diatur oleh undang-undang.”

“Berdasarkan penjelasan di atas, Mahkamah dapat memahami jika banyak kalangan menghendaki perubahan, termasuk untuk menurunkan batas usia capres dan cawapres.”

“Misalnya bagi yang menghendaki penurunan batas usia minimal terdapat banyak varian seperti minimal 35 tahun, 30 tahun, 25 tahun, 21 tahun, bahkan minimal 17 tahun.”

Dengan banyaknya pilihan yang disertai argumentasi, Mahkamah berkata tidak dapat dan tidak mungkin akan menentukan batasan usia minimal yang mana yang dapat dikatakan konstitusional untuk menjadi capres dan cawapres.

Oleh karenanya, MK kembali menyerahkan kewenangan pengaturannya kepada pembentuk undang-undang.

Petugas stan KPU DKI Jakarta melayani warga yang mengajukan pindah lokasi memilih dalam Pemilu 2024 saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (26/11/2023).

Ketiga, meskipun pemaknaan baru dalam putusan MK nomor 90 terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dan alasan berbeda atau concurring opinion sejumlah hakim konstitusi, pemaknaan baru itu ditegaskan dalam putusan.

Selain itu setelah pengucapan putusan MK nomor 90 telah terjadi peristiwa hukum yakni penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.

“Sekalipun telah terdapat pemaknaan baru terhadap norma pasal 169 huruf q UU Pemilu, jika diperkukan pembentuk undang-undang tetap memiliki wewenang untuk merevisi batas usia minimal menjadi capres dan cawapres,” jelas hakim Daniel Yusmic.

MK sebut capres atau cawapres setidaknya pernah menjabat sebagai gubernur

Kendati demikian, MK sebetulnya sependapat jika capres-cawapres setidaknya pernah menjabat sebagai gubernur.

Pasalnya jabatan presiden dan wakil presiden sangat penting dan strategis serta kompleks. Maka syarat untuk menjadi capres-cawapres harus benar-benar sesuai dengan bobot jabatannya.

Meskipun tidak ada jabatan yang sepadan dengan jabatan presiden, tetapi setidaknya mesti dicari “jabatan yang levelnya tidak jauh jaraknya dengan jabatan presiden yang berasal dari pemilu”.

“Misalnya, DPR bisa mempertimbangkan jabatan gubernur sebagai alternatif untuk disepadankan dengan syarat batas usia minimal capres-cawapres.”

“Terlebih provinsi ibarat sebuah miniatur negara dalam skala yang lebih rendah.”

Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin sidang uji Pengujian Formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan), dan M Guntur Hamzah (kiri) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Alasan lainnya adalah dengan pernah menjabat sebagai bupati, walikota, dan gubernur, bisa menjadi pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin.

Sehingga diharapkan “dia sudah sangat siap dan matang dalam memimpin.”

Terlebih lagi dalam menghadapi tantangan global yang cepat berubah, oleh karena itu sosok calon presiden dan calon wakil presiden haruslah figur yang matang secara emosional, kata hakim MK.

Kemudian kompeten secara fisik dan mental, dan intelek dalam pemikiran.

“Dan haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa.”

“Karenanya jika diperlukan perubahan terhadap rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi capres atau cawapres maka berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat sebagai gubernur yang persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy).”

Apa isi gugatan Brahma dan bagaimana jalannya pemeriksaan MK?

Dalam pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (08/11), yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, para hakim memberikan masukan dari kelengkapan data, penulisan gugatan dan kedudukan hukum.

Setelah mendengar segala masukan itu, kuasa hukum pemohon Brahma, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan akan segera melakukan perbaikan dalam waktu cepat, termasuk memasukkan hasil putusan MKMK yang menyatakan terjadi pelanggaran kode etik berat dan menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, saat memutus perkara nomor 90.

Pada kesempatan yang sama, Viktor bertanya pada hakim konstitusi, apakah putusan perkaranya dapat dilakukan secara cepat “karena tujuan kami ingin mendapatkan suatu kepastian hukum”.

Hakim Konstitusi Suhartoyo memimpin jalannya sidang pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (08/11).

“Saat ini sedang menjadi polemik di masyarakat, dimana legitimasi pemilu akan dipertanyakan terkait sanksi etik [MKMK] kemarin,” katanya di Gedung MK.

Mendengar itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan akan menjalankan persidangan secara normal, menegaskan pihak nya “tidak akan terdikte”.

“Tapi, silakan saja dan apa yang Anda inginkan. Maksudnya supaya juga dipertimbangkan percepatannya itu, nanti akan kami sampaikan ke hakim-hakim yang lain,” kata Suhartoyo.

Bagaimana nasib Prabowo dan Gibran?

Terlepas apa pun hasil putusan perkara batas usia yang saat ini tengah berlangsung di MK, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan pencalonan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabumin Raka, sudah tidak memiliki landasan legitimasi secara hukum.

Sehingga, menurutnya, Gibran kini tidak memenuhi syarat menjadi cawapres.

“Bahkan kalau pun tidak dikabulkan, atau dikabulkan lewat dari tanggal 13 November [batas penetapan pasangan calon], dengan putusan MKMK kemarin, Gibran sudah tidak punya landasan legitimasi, karena ada pelanggaran etik yang besar,” tegas Bivitri.

Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) membawa poster mahkamah keluarga dalam unjuk rasa di Kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (20/10).

Bivitri kemudian melanjutkan bahwa tak adanya landasan legitimasi ini akan jadi “batu sandungan” bagi pasangan Prabowo-Gibran, bahkan mulai dari masa kampanye hingga nanti jika terpilih.

“Legitimasi Prabowo-Gibran tidak kuat karena basisnya adalah sebuah putusan yang ternyata kalau menggunakan logika hukum adalah cacat hukum,” kata Bivitri.

Mengapa cacat hukum? Bivitri menjelaskan MKMK tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan nomor 90, melainkan menyatakan terjadi pelanggaran etik berat yaitu terjadinya benturan kepentingan.

“Dengan menggunakan logika hukum, berdasarkan putusan yang cacat hukum maka pencalonan itu juga tidak sah,” ujar Bivitri.

Maka untuk itu, untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, Bivitri mengatakan terdapat dua langkah yang harus dilakukan oleh MK.

Pertama adalah mempercepat pembahasan perkara-perkara batas usia yang kini sedang diperiksa. Percepatan itu dapat dilakukan secara hukum dan juga memiliki preseden di perkara sebelumnya.

“Secara hukum ini adalah pengujian norma, bukan seperti litigasi, tidak perlu didengar DPR, dan segala macamnya. Sepanjang hakim sudah memutuskan suatu argumentasi hukum untuk suatu perkara, bisa langsung diputus saja,” tambah Bivitri.

Bivitri mencontohkan permohonan yang diajukan oleh Refly Harun pada pemilu tahun 2009, meminta agar “saat datang ke TPS (tempat pemungutan suara) cukup hanya dengan KTP, tidak harus membawa formulir A5. Itu satu hari loh diputus oleh MK.”

Upaya kedua, tambah Bivitri, adalah MK menyatakan bahwa putusan dari perkara-perkara yang sedang berlangsung di MK itu berlaku sejak Pemilu 2024, walaupun proses pesta demokrasi sedang berlangsung.

“Itu lazim bagi MK menyatakan putusan berlaku sejak kapan. Makanya harus diputus sebelum 13 November, penetapan pasangan capres-cawapres… untuk memberikan kepastian hukum dalam Pemilu 2024,” ujar Bivitri.

Terkait dengan pandangan Bivitri itu, BBC News Indonesia telah menghubungi Komisioner KPU untuk meminta tanggapannya, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari mereka.

Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) membawa poster tolak politik dinasti dalam unjuk rasa di Kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (20/10).

Adapun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden akan dilaksanakan pada 13 November 2023, sehingga KPU membuka kesempatan perubahan nama pasangan calon hingga tanggal tersebut.

“Sepanjang tidak ada perubahan apa-apa, batasnya 13 November 2023,” ujar Hasyim seperti dikuti dari kantor berita Antara.

Sebelumnya, Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik mengatakan bahwa pihaknya tetap menjalankan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebab hingga sampai kini tidak ada pembatalan dari putusan MK tersebut.

“Pasca putusan MKMK sampai saat ini tidak ada pembatalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan KPU tidak memiliki kapasitas mengomentari putusan MKMK,” kata Idham kepada wartawan, Rabu (08/11).

Idham juga mengatakan bahwa Gibran telah memenuhi syarat sebagai bakal cawapres Prabowo dan kini semua pasangan calon hanya tinggal menunggu penetapan daftar calon tetap (DCT) capres-cawapres.

“Sudah memenuhi syarat, dan tinggal menunggu ditetapkan oleh KPU menjadi pasangan calon tetap dan sehari kemudian mengikuti pengundian nomor urut capres cawapres,” tuturnya.

Dia menyatakan bahwa tiga pasangan bakal capres dan cawapres telah memenuhi syarat dokumentasi administrasi pencalonan.

Seperti diketahui, penetapan DCT capres-cawapres akan dilakukan pada 13 November 2023. Kemudian, pada 14 November dilakukan pengundian nomor urut.

Selain itu, KPU juga telah secara resmi merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres, melalui PKPU Nomor 23 Tahun 2023, dengan memasukkan amar putusan MK nomor 90.

Dalam PKPU itu, dari yang awalnya berbunyi ” … berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, berubah menjadi ” … berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.”.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari menandatangani perubahan ini pada 3 November 2023 lalu.

MKMK, ‘putusan itu berlaku untuk Pilpres 2029’

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie sebelumnya mengatakan jika ketentuan batas usia capres-cawapres kembali mengalami perubahan oleh MK, maka aturan itu baru akan berlaku pada Pilpres 2029 mendatang.

“Tentu saja permainan sudah jalan. Aturan main kalau diubah melalui putusan MK berlaku untuk pertandingan berikutnya 2029, kalau sekarang sudah jalan pertandingannya,” kata Jimly setelah membaca putusan pelanggaran etik terhadap Ketua MK Anwar Usman, Selasa (07/11).

“Ini perlu saya sampaikan agar memberi kepastian. Pakar analisanya macam-macam kan, cuma (berlaku 2029) untuk menimbulkan kepastian. Bangsa kita harus ada arah yang jelas,” ujarnya lagi.

Jimly juga mengatakan bahwa MKMK menyetujui bahwa hakim Anwar Usman untuk tidak diikutisertakan dalam putusan itu.

“Permintaan pelapor BEM UNUSIA agar tidak mengikutsertakan Hakim Terlapor dalam pemeriksaan perkara Nomor 141PUU-XXX/2023 dapat dibenarkan,” kata Jimly dalam kesimpulan putusannya.

Selain itu, Jimly menegaskan bahwa UU yang telah mengalami perubahan karena putusan MK dapat diuji kembali.

MKMK telah menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.

“Menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan keseataraan, independensi dan kepantasan dan kesopanan,” kata Jimly Asshidiqqie saat pembacaan putusannya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (07/11).
sumber: bbc

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.