Uraemon – Entah kenapa akhir-akhir ini banyak sekali gerakan gencar dan masif yang mengalihkan isu utama yang menjadi keresahan banyak orang.
Hanya ada satu isu utama, yaitu MK yang dianggap terlalu tunduk dan memberikan jalur khusus kepada Gibran. Padahal di media sosial sudah ada meme yang menyindir soal jalur Dasco dan jalur Hashim. Ini ditambah lagi dengan jalur MK.
Dari pengamatan saya di berbagai media dan media sosial, fokus mereka seakan melindungi Gibran dari serangan terkait MK. Dibuatlah beberapa narasi, yaitu perpecahan hubungan antara PDIP dan Jokowi, narasi pemimpin dunia yang umurnya di bawah 40 tahun, dll.
Mereka gagal dan mungkin tidak mau menjawab ada apa dengan MK, isu dinasti politik dan nepotisme.
Prabowo sendiri pernah melawan anggapan negatif tentang dinasti politik Presiden Jokowi ketika Gibran menjadi cawapres. Prabowo anggap tidak ada yang salah jika tujuannya adalah berbakti kepada rakyat dan negara Indonesia.
“Kita dinasti merah putih, kita dinasti patriot. Kita dinasti yang ingin mengabdi untuk rakyat. Kalau dinasti Pak Jokowi ingin berbakti kepada rakyat, kenapa? Salahnya apa?” kata Prabowo.
Ini adalah contoh alasan yang dibuat untuk menutupi isu yang sebenarnya. Prabowo tidak pernah buka suara soal MK yang memberikan jalur khusus instan kilat kepada Gibran. Itu akar masalahnya. Mereka membahas masalah di batang, ranting dan daun, bukan di bagian akar.
Apa salahnya dinasti politik demi berbakti kepada rakyat? Ini pertanyaan yang paling konyol sepanjang pengamatan saya. Justru dinasti politik itu menandakan bahwa kepentingan keluarga jauh lebih utama dibanding kepentingan negara.
Family is number one. Makanya demi keluarga, apapun dilakukan, meskipun harus mempreteli konstitusi seolah itu adalah mainan Lego yang bisa dibongkar pasang kapanpun mereka mau.
Hanya orang haus kekuasaan yang berani bilang demi berbakti kepada rakyat, MK berbuat sesuatu yang sangat melenceng. Berbakti kepada rakyat hanyalah slogan kosong untuk mempengaruhi rakyat yang bisa dibuai dengan gampang.
Semua orang berhak ikut pilpres, tapi bukan dengan mengutak-atik aturan yang sudah ada, apalagi menambahkan frasa ‘asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah’. Mahkamah Keluarga adalah efek dari kemarahan rakyat, bukan sekadar perubahan istilah. Frasa ini sangat luas, bisa ditambahkan seenaknya untuk mengakomodir kepentingan seseorang.
Ini bahaya sekali dan harus dilawan meskipun kita sudah bisa menebak hasil akhirnya.
Sekian dan terimakasih.
sumber: seword