𝗠𝗔𝗔𝗙𝗞𝗔𝗡 𝗞𝗔𝗠𝗜 𝗖𝗢𝗔𝗖𝗛 𝗦𝗧𝗬 𝗔𝗧𝗔𝗦 𝗕𝗔𝗧𝗔𝗟𝗡𝗬𝗔 𝗣𝗗 𝗨-𝟮𝟬, 𝗡𝗘𝗚𝗘𝗥𝗜 𝗜𝗡𝗜 𝗠𝗘𝗠𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗕𝗨𝗛!

Widodo SP. – Gila! Nggak enak banget suasana hati saya pagi ini. Saya terbangun dalam kondisi masih kecewa berat atas tragedi hilangnya kesempatan menggelar Piala Dunia U-20. Ingatan bawa semalam saya berangkat tidur dengan perasaan sedih, melebihi kalau orang diputus pacar, juga masih jelas terbayang.

Sebagai pecinta Timnas Indonesia, air mata saya bahkan sempat tak terbendung ketika melihat gambar-gambar atau postingan di media sosial yang menunjukkan betapa kecewanya para pemain timnas Indonesia usia muda saat mendengar keputusan FIFA kali ini.

Jujur saja, saya bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya pelatih Shin tae-Yong (STY) yang sudah menyiapkan tim untuk piala dunia selama beberapa tahun ini, tetapi impiannya untuk mencoba mengadu kekuatan anak asuhnya dengan tim-tim terbaik dunia harus musnah dalam hitungan hari karena situasi di negeri sedang tidak memungkinkan, yang dipicu oleh gelombang penolakan terhadap Israel.

Meski FIFA tidak menyebut soal Israel (masa’ mau disebut juga, nggak sekalian sebut FPI dan HTI?), tapi jelas bahwa gelombang penolakan itu menjadi catatan FIFA, yang menilai Indonesia tidak mengamankan penyelenggaraan Piala Dunia.

Duh, saya kok Kasihan ya melihat nasib sTY. Niatnya untuk membenahi sepak bola negeri ini harus mendaki jalan yang sangat terjal. Batalnya PD U-20 di Indonesia ini bahkan menorehkan catatan hitam dalam CV kepelatihan STY, karena batal membawa Timnas Indonesia bertarung di Piala Dunia, yang sama sekali bukan kesalahan dia.

Dengan masih ada bayang-bayang sanksi lanjutan dari FIFA akibat batalnya PD U-20, bagi saya kok mendingan coach STY resign saja, lalu pulang kembali ke negerinya. Setidaknya dia bisa lebih tenang hidupnya dan lebih enjoy dalam melatih sepak bola di negerinya. Coach STY, maafkan kami atas situasi ini. Kelakuan para politisi dan kelompok (yang terlihat) agamis memang mbuh!

Urusan olahraga memang seharusnya tidak boleh bercampur dengan politik. Begitu pula agama tidak bisa dipaksakan masuk atau dipakai sebagai senjata dalam berpolitik seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Meskipun pada kenyataannya, dalam memperebutkan posisi sebagai pengurus elit atau ketua federasi olah raga, saya kok melihat tetap ada unsur politik dimainkan.

Seorang yang sedang mengemban jabatan politis pun kita lihat masih sering menduduki posisi teratas dari induk olahraga tertentu yang ada di negeri ini.

“Apa nggak ada manusia lain yang kompeten?” begitu pikiran yang kerap muncul.

“Toh hasil dari model pemimpin kayak begitu juga kerap ambyar.”

Akhirnya, jangan suruh negeri ini belajar dari pengalaman dengan mengambil hikmahnya. Simpan dulu nasihat itu, karena dalam urusan politisasi agama pun, juga intoleransi, negeri ini sudah mendapat contoh sangat bagus, tapi tidak juga belajar kok.

Kali ini, kita mau kasih pelajaran dulu bagi para pencampur aduk urusan bola dengan politik. Hukum dengan berat dan kasih sanksi sosial, bila perlu bubarkan kelompoknya, karena kalau bubarkan partai kan jauh lebih sulit. Barulah setelah mereka merasakan hukumannya, kita boleh berkata:

“Begitulah jadinya dengan orang yang suka mencampur adukkan urusan olahraga dan politik. Jangan pernah diulangi atau dicontoh, ya.”

Begitulah kura-kura…
sumber: seword

This entry was posted in Berita. Bookmark the permalink.