Ruskandi Anggawiria – Menyaksikan begitu kuatnya ambisi Anies Baswedan meraih kepercayaan publik, mungkin diilhami keberhasilan dia memperdaya warga Jakarta yang 58 persen memilihnya ketika pilgub 2017 yang penuh aroma politisasi identitas.
Untuk mengingat kembali, bagaimana seorang kandidat pemimpin sedemikian rupa mendapat amunisi dari kaum intoleran, bahkan demi ambisi itu tega mengkriminalisasi lawan politik, kita lihat kembali sekelumit cerita itu. Publik harus sadar, mereka sedang diincar oleh lelompok pemecah belah bangsa, dan ingin menempatkan boneka untuk duduk di singgasana kekuasaan.
Ketika cagub petahana dituding menista Al-qur’an, para penegak hukum seperti menghindari resiko profesi, bahkan mereka tidak berani sekedar mendudukan persoalan sesuai proporsinya. Karena tuntutan para intoleran itu, yang justru ada di belakang kepentingan politik, sejak dari tahap penyidikan hingga pengadilan, apparat seperti beradu cepat dan demi menyelamatkan karir mereka, tidak masalah jatuh korban seorang tidak berdosa.
Bukti ketidakberdayaan hukum melawan kaum intoleran, tampak dalam penjatuhan vonis hakim, yang tidak melihat kesalaham di pihak pelapor, yakni ada upaya memaksakan kasusnya sebagai penistaan, padahal merekalah akhirnya yang terbukti menistakan orang tidak berdosa.
Sunguh aniaya mereka yang bersekongkol dengan kejahatan, maka tak heran jika Tuhan pun murka dengan cara-Nya. Dia terbukti menyediakan ruang bagi si teraniaya, dan para pecundang itu satu demi satu mendapat balasannya.
Ramainya Pilkada Jakarta tahun 2017 bukan karena adanya kandidat non-Muslim yang maju sebagai kepala daerah. Ada banyak kandidat non-Muslim diluar Jakarta yang ikut bertarung dalam Pilkada (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) tetapi adem-ayem. Biasa-biasa saja, tidak seheboh Jakarta.
Ramainya Pilkada Jakarta juga bukan karena adanya seorang keturunan Tionghoa yang ikut menjadi kontestan dalam bursa pemilihan kepala daerah karena ada sejumlah daerah (seperti Singkawang di Kalimantan Barat) dimana kandidat Tionghoa juga ikut berlaga dalam Pilkada.
Pilkada Jakarta menjadi ramai sesungguhnya karena ada sekelompok elit politik, tokoh agama, dan pedagang besar yang bernafsu menguasai Jakarta dengan beragam motif dan kepentingan tentunya.
Kelompok politik ingin mengontrol jalannya roda pemerintahan sesuai dengan selera mereka. Kaum pebisnis tentu saja ingin dagangan mereka lancar tidak ada yang menghambat jalannya perbisnisan. Sementara sekelompok elit agama, terutama elit Muslim, ingin Jakarta menjadi kota yang menerapkan norma-norma atau standar-standar keagamaan / keislaman sesuai yang mereka imajinasikan.
Imajinasi liar yang dipaksakan kaum intoleran itulah yang akhirnya mengoyak rasa kemanusiaan, mencederai hukum, dan menjadi trauma berkepanjangan bagi bangsa ini.
sumber: seword.